class='date-header'>Senin, 23 Januari 2012

I.Pendahuluan
Sebelum Islam masuk ke Aceh, Hindu (mistisme) merupakan agama masyarakat Aceh. Hinduisme sebagai pandangan hidup bagi masyarakat Aceh tercermin dari aktivitas ritual dan tradisi setempat. Akan tetapi mulai abad ke – 7 H/13 M, Islam menjadi agama mayoritas bagi masyarakat Aceh, dan berdirinya kerajaan Samudra Pasai (Sultan Malikus Shalih w. 1297) sebagai kerajaan Islam kedua di Aceh menandai bahwa kekuasaan politik di Aceh telah dikuasai oleh masyarakat Islam Aceh.

Sebelum masyarakat Islam Aceh menguasai politik, muslim Islam Aceh merupakan komunitas pinggiran yang berada dibawah pengaruh kekuasaan raja Hindu yang sudah berkembang sebelumnya. Hal ini terlihat dari catatan Marcopolo yang mengunjungi Aceh pada tahun 1292 M. menurut Marcopolo, pada saat ia datang, Sumatera terbagi dalam delapan kerajaan kecil dan semua kerajaan tersebut menyembah berhala kecuali Pereulak, karena Peureulak selalu didatangi oleh pedagang muslim[1].

Kerajaan Peureulak inilah yang merupakan kerajaan Islam pertama di Aceh yang didirikan pada tanggal 1 Muharram 225 H. yang diikuti dengan berkembangnya lembaga pendidikan Islam “ Dayah Cot Kala”. Lembaga pendidikan inlah menjadi dasar pengembangan ilmu keislaman di Aceh yang kemudian terus berkembang menjadi sumber perkembangan Islam di Nusantara.        

Islam masuk ke Aceh melalui pedagang Islam dari Arab. Disamping berdagang, mereka juga memperkenalkan Islam kepada penduduk pribumi yang ketika itu mayoritas beragama Hindu dengan cara berdakwah dan perkawinan.
Pembumian Islam di Aceh oleh bangsa Arab bukan oleh India, Persi dan Gujarat sebagaimana anggapan sejarawan lain dalam kajian ini didasarkan kepada teori yang dikembangkan oleh Sayyid Muhammad Naquib Al-Attas.

Menurut Al-Attas, masuknya Islam di Nusantara mesti berpegang pada “teori umum mengenai islamisasi Nusantara”, di mana yang menjadi dasarnya adalah karakteristik internal Islam di dunia Melayu-Indonesia yang ada saat ini. Dalam hal ini Al-Attas mengatakan bahwa konsep-konsep,  istilah – istilah kunci dalam literatur Melayu – Indonesia, tidak ada hubungannya dengan India, namun berhubungan langsung dengan Arab. Meskipun ada beberapa istilah Persia, namun asalnya Arab juga. Dengan demikian, jelah bahwa Islam di Nusantara dibawa langsung dari Arab[2].

Kedatangan pedagang Arab ke Aceh, kalangan sejarawan melaporkan bahwa tidak terlepas dari popularitas kerajaan Sriwijaya yang mengalami masa puncaknya pada abad ke  9 – 10 M di samping pengaruh geografis di mana posisi Aceh sangat strategis bagi pelayaran lintas dunia. Daerah ini menjadi pintu utama perdagangan yang terletak di selat Melaka dan memiliki terusan sempit dalam rute perdagangan laut negeri – negeri Islam ke Cina.

Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa ketika masyarakat Aceh mengalami akulturasi budaya dengan bangsa Arab serta migrasi agama besar – besaran masyarakat Nusantara ke agama Islam pada abad ke – 15 M yang disebabkan oleh melemahnya kerajaan Sriwijaya, Majapahit dan Mataram, Islam sebagai keyakinan bagi masyarakat semakin kuat pengaruhnya terhadap budaya di Aceh.

Dominasi nilai – nilai Islam dalam budaya lokal Aceh memberitahukan kepada kita bahwa, masyarakat Aceh sangat cenderung kepada Islam kendatipun Islam merupakan agama baru bagi mereka. Pertanyaannya, bagaimana konsep Islamisasi masyarakat Aceh yang dilakukan para pendakwah?.  Tentang hal ini, Sayyed Muhammad Naquib Al –Attas dalam buku Islam dan sekularisme melaporkan bahwa Islamisasi kawasan Sumatera (Aceh) dilakukan dengan  pendekatan persuasif (sufistik).

Dengan  metode tersebut, dakwah dilakukan secara lunak (soft) sehingga tidak mengherankan bila masyarakat saat itu menerima Islam tanpa merasa keluar dari agama mereka sendiri. Dakwah dilakukan dengan cara Islamisasi budaya yaitu budaya lokal tetap dipertahankan, akan tetapi aspek normatif budaya  disesuaikan berdasarkan ajaran Islam.

Di antara budaya lokal yang dipertahankan dan tetap berlaku sampai sekarang di Aceh adalah penggunaan padi, beras, rumputun, tepung, boeh kruet dan lain – lain (item-culture) dalam kegiatan “Peusijeuk (Trait complex culture)” yang mana bahan-bahan tersebut juga digunakan dalam civitas budaya pra-Islam di Aceh. Ketika Islam datang, aktivitas menggunakan bahan – bahan tersebut diIslamkan dengan menerapkan falsafah “tawasshul (culture)” yang merupakan salah satu thariqah (cultural universal) untuk  mendekatkan diri manusia kepada Allah swt. dan upaya mendekatkan diri kepada Allah swt. adalah anjuran Islam (sistem universal Islam).

Fenomena Islamisasi demikianlah yang menyebabkan antara hukum Islam dan budaya Aceh tidak bisa dipisahkan meskipun bisa dibedakan. Inilah yang melatari falsafah “hukoem ngeun adat lage zat ngeun sifeut” yaitu budaya dalam aspek normatif adalah diberdasarkan ajaran Islam. Oleh sebab itulah budaya Aceh dinamakan sebagai budaya Islam.

Dampak yang paling besar dari proses Islamisasi masyarakat Aceh dengan cara persuasif adalah tradisi politik Arab diadopsi oleh kerajaan Aceh khususnya menyangkut dengan gelar penguasa yang digelari sebagai “Sultan” dimana sebelum Islam, gelar penguasa kerajaan digelari dengan gelaran ”raja”.

Berdasarkan rekonstruksi sejarah di atas menunjukkan, Islamisasi Aceh  secara sufistik oleh para pendakwah dari Arab telah menjadikan masyarakat Aceh sebagai bangsa yang inklusif. Hal demikian terlihat dari kebijakan penguasa kerajaan Aceh dengan menggantikan gelaran penguasa dari “raja” menjadi “sultan”. Oleh sebab itu, Islamisasi budaya dan arabisasi politik di Aceh merupakan rujukan penting dalam meneliti keaneka ragaman kebudayaan di Aceh.   

Di Aceh, ada sebuah tradisi yang dilaksanakan bertepatan tanggal 12 Rabiul Awwal hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Tradisi tersebut dinamakan dengan “Kanduri Mulod” yang dilakukan di dalam 3 (tiga) bulan yaitu Rabiul Awwal sebagai mulod awai, Rabiul Akhir atau mulod teungoh, dan Jumadil Awwal yang diistilahkan dengan mulod akhe.

Untuk membahas eksistensi tradisi tersebut ada beberapa pertanyaan yang harus terjawab dalam kajian ini. Pertanyaan  - pertanyaan tersebut muncul  berdasarkan pandangan (worldview) masyarakat Aceh bahwa “adat dan hukum Islam adalah integrative dalam aspek normatif”, maka pertanyaannya adalah apa landasan hukum Islam tentang tradisi “Kanduri Mulod”?, dan berdasarkan karakteristik masyarakat Aceh yang inklusif, apakah tradisi tersebut berasal dari Aceh atau merupakan hasil dari akulturasi tradisi Aceh dengan tradisi Arab sehingga menjadi sebuah tradisi bagi masyarakat Aceh?.  

Pertanyaan – pertanyaan ini penting diangkat, karena hukum Islam juga dianggap sebagai “parameter” dalam melihat Islami atau tidak sebuah masyarakat. Joseph Shacht menegaskan bahwa “hukum Islam merupakan manifestasi yang paling tipikal dari pandangan hidup yang Islami. Ia merupakan pusat dan inti dari Islam itu sendiri”[3].

Begitu juga dengan persoalan budaya (adat) yang didasarkan kepada pengertian menurut Soemardjiman dan Soelaiman Soemardi (1964:113). Mereka menjelaskan bahwa kebudayaan adalah semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat yang merupakan elemen pendukung budaya tersebut[4].      

Pertanyaan – pertanyaan tersebut akan terjawab dalam kajian singkat ini dengan mengumpulkan sumber hukum Islam yang berasal dari Al-Quran dan Hadis, dan menelusuri budaya Islam di Aceh dan di Arab khusus yang berkaitan tentang tradisi Maulid Nabi SAW. Hasil dari penelusuran tersebut dianalogikan dengan tradisi yang berlaku di Aceh. Dalam kajian ini, mengingat literatur yang sangat terbatas, maka penyajian secara inferential lebih dominan dibandingkan  referential.   

II.Kebudayaan Islam : Maulid Nabi Muhammad SAW.
Landasan Peradaban Islam adalah kebudayaan Islam terutama wujud idealnya, sedangkan landasan kebudayaan Islam adalah agama. Dalam Islam, tidak seperti pada masyarakat yang menganut agama “bumi”, agama bukanlah kebudayaan tetapi dapat melahirkan kebudayaan. Kalau kebudayaan merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa manusia, maka agama Islam adalah wahyu dari Allah SWT.

Nurcholish Madjid menjelaskan hubungan agama dan budaya. Menurutnya, agama dan budaya adalah dua bagian yang dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Agama bernilai mutlak, tidak berubah karena perubahan waktu dan tempat. Sedangkan budaya, sekalipun berdasarkan agama dapat berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Sebagian besar budaya di dasarkan kepada agama;  dan tidak pernah terjadi sebaliknya. Oleh karena itu agama adalah primer dan budaya adalah sekunder. Budaya bisa merupakan ekspresi hidup keagamaan, karena ia sub-ordinat terhadap agama, dan tidak pernah sebaliknya[5].

Tentang ajaran agama Islam, Harun Nasution melaporkan, Islam pada hakikatnya mengandung dua kelompok ajaran. Kelompok pertama, karena merupakan wahyu dari Tuhan, bersifat absolut, mutlak benar, kekal, tidak berubah dan tidak bisa diubah. Kelompok kedua, karena merupakan penjelasan dan hasil pemikiran pemuka atau ahli agama, pada hakikatnya tidaklah absolut, tidak mutlak benar, dan tidak kekal. Kelompok kedua ini bersifat relatif, nisbi, berubah, dan dapat diubah sesuai dengan perkembangan zaman[6].   

Berdasarkan penjelasan tentang hubungan agama dengan budaya serta bentuk – bentuk ajaran agama oleh para pakar di atas. maka memunculkan pertanyaan dalam kajian ini, apakah peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW. termasuk dalam kategori agama atau budaya?. Untuk menjelaskan posisi ini, dalil – dalil Al-Quran dan Hadis yang dijadikan sebagai landasan Maulid Nabi SAW. menjadi referensi primer untuk dianalisis.    

Sudah menjadi konsensus di kalangan pakar hukum Islam, peringatan Maulid Nabi SAW. adalah merujuk kepada QS. Yunus : 58, artinya: “ Katakanlah (Muhammad), “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan”[7], dan kepada Hadis Rasulullah SAW. yang diriwayatkan oleh Muslim yaitu “ Pada setiap hari senin yang merupakan hari kelahirannya, Rasulullah SAW. selalu berpuasa, dan suatu ketika Nabi SAW. ditanyakan oleh sahabat tentang puasa hari senin dan beliau menjawab, ”Pada hari itulah aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku”, (HR. Muslim).

Melihat kepada dua sumber dasar (nash) di atas sebagai pedoman umat Islam dalam memperingati kelahiran Nabi SAW. khususnya sumber dari Al-Quran yaitu pada kalimat “hendaklah dengan itu mereka bergembira” teridentifikasi bahwa dilalah tersebut bersifat umum (ijmali). Umum yang dimaksud disini bukan pada aspek normatif, tapi pada bentuk mengekspresi kegembiraan itu sendiri.

Sedangkan sumber yang kedua, dengan sangat jelas terpahami kepada kita bahwa bentuk ekspresi syukur Rasulullah SAW. kepada Allah SWT. karena telah menciptakan dan mewahyukan ajaran Islam kepadanya pada hari senin adalah dengan berpuasa pada hari tersebut. Karena umat Islam menjadikan hadis itu sebagai dasar hukum pelaksanaan Maulid Nabi SAW., maka hadis tersebut juga bersifat dhanni dalam mememahinya (skriptural/subtantif?).       

Berdasarkan hasil analisis sumber hukum (nash) yang dijadikan sebagai legalitas peringatan Maulid Nabi SAW. jelaslah kepada kita bahwa sumber hukum tersebut adalah bersifat dhanni. Ketika nash bersifat dhanni, maka dengan metode   ijtihad [8]- lah hukum diterapkan. Karena obyek ijtihad adalah Nash dhanni dan  subyek ijtihad adalah manusia, maka hasil dari proses ini akan berbeda – beda (nisbi, relatif, dinamis) yang disebabkan oleh perbedaan metode pemikiran, pemahaman, waktu dan tempat.

Karena hukum Maulid Nabi SAW. bersumber dari proses ijtihadi, maka posisinya dikatagorikan sebagai sumber ajaran agama yang kedua sebagaimana yang dilaporkan oleh Harun Nasution yaitu ajaran yang bersumber dari penjelasan dan hasil pemikiran pemuka atau ahli agama dimana kriterianya tidak bersifat absolut, tidak mutlak benar, relatif, nisbi, berubah, dan dapat diubah sesuai dengan perkembangan zaman. Sumber ajaran agama yang kedua inilah yang dinamakan sebagai budaya berdasarkan pengertian budaya itu sendiri yaitu hasil cipta, rasa, dan karsa manusia. Umat Islam meyakini bahwa pemikiran yang dicurahkan oleh pakar agama berdasarkan ajaran Islam, maka hasil dari pemikiran tersebut dinamakan sebagai budaya Islam.

Berdasarkan hasil analisis tersebut, maka perayaaan Maulid Nabi SAW. dikatagorikan sebagai kebudayaan Islam yang merupakan hasil ciptaan umat Islam, bersumber dari ajaran Islam dan bertujuan untuk mengekspresikan rasa syukur mereka kepada Allah SWT. karena Dia telah menurunkan hamba-Nya Muhammad sebagai pembawa rahmat untuk seluruh alam.

Maulid Nabi SAW. sebagai salah satu budaya Islam (sekunder) dan bukan  sebagai agama (syari’at/primer) diperkuat oleh adanya perbedaan perspektif umat Islam tentang hal itu. Beberapa ulama Salafi dan Wahhabi tidak merayakan budaya tersebut karena dianggap bid'ah karena Nabi SAW. tidak pernah melakukannya. Mereka berpendapat bahwa kaum muslim yang merayakan budaya tersebut merupakan implikasi dari kesalahan dalam menafsirkan Nash sehingga keluar dari esensi Nash itu sendiri. Namun demikian, terdapat pula ulama yang berpendapat bahwa peringatan Maulid Nabi SAW.  bukanlah hal bid'ah, karena merupakan salah satu bentuk mengungkap rasa cinta kepada Nabi Muhammad SAW.
Budaya dihasilkan dari karya, cipta dan karsa manusia. Kaitannya dengan budaya Islam adalah budaya yang dihasilkan dari karsa ulama yang didasarkan kepada upaya mereka dalam memahami ajaran Islam Al-Quran dan Hadis yang bertujuan untuk diamalkan. Dengan demikian, perbedaan perspektif tentang Maulid Nabi SAW. adalah bagian dari sunnatullah (alamiah).

Maulid Nabi SAW. sebagai sebuah budaya Islam, dalam pelaksanaannya akan mengalami keberagaman. Keberagaman ini dipengaruhi oleh faktor tempat dan tradisi – tradisi lokal meskipun tujuannya adalah sama.
Untuk kepentingan analisis, Soerjono Soekanto membagi kebudayaan dari berbagai segi. Dari sudut struktur dan tingkatannya dikenal adanya super cultural yang berlaku bagi seluruh masyarakat. Suatu super cultural biasanya dapat dijabarkan dalam cultures yang mungkin didasarkan pada kekhususan daerah, golongan, etnik, dan profesi. Dalam suatu cultural mungkin berkembang lagi kebudayaan – kebudayaan khusus yang tidak bertentangan dengan kebudayaan induk. Hal ini disebut subcultural. Apabila kebudayaan khusus tadi bertentangan dengan kebudayaan induk, gejala itu disebut counter culture[9].

Berkaitan dengan Maulid Nabi SAW. sebagai budaya Islam, maka yang menjadi super cultural-nya adalah legalitas Maulid Nabi SAW. berdasarkan hukum Islam kedua (ijtihad sebagai metode isthimbath hukum Islam). Sedangkan cultural-nya adalah bentuk dan cara kegiatan Maulid Nabi SAW. yang dilaksanakan berdasarkan wilayah, daerah, golongan, etnik, dan profesi. Ketika Maulid dilaksanakan berdasarkan kearifan lokal (wilayah, daerah, golongan, etnik, profesi) maka muncul lagi keanekaragaman khusus di dalam wilayah tertentu dan tidak bertentangan dengan budaya induk. Hal ini disebut sebagai subculture. Dan jika bertentangan dengan budaya induk, gejala itu disebut counter culture.
Dengan mengaplikasikan kebudayaan Maulid SAW. ke dalam struktur dan tingkat sebuah kebudayaan,  maka tingkatan yang mendominasi perbedaan budaya Maulid SAW. antara satu daerah dengan daerah lain, masyarakat satu dengan lain  adalah terjadi pada bentuk pelaksanaan Maulid Nabi SAW. itu sendiri (cultures).

Maulid Nabi SAW. yang dilaksanakan di Mesir misalnya, tidak sama bentuknya dengan Maulid Nabi SAW. yang dilaksanakan oleh umat Islam di Nusantara. Begitu juga sebaliknya. Namun unsur kesamaan terletak pada tujuan Maulid Nabi SAW. yang diseragamkan oleh keyakinan bahwa Maulid Nabi SAW. merupakan  sebuah kebudayaan Islam (super cultural).

III. Sejarah Kebudayaan Islam : Maulid Nabi Muhammad SAW.
Perayaan Maulid Nabi SAW. diperkirakan pertama kali diperkenalkan oleh Abu Said Al-Qa’buri, seorang gubernur Irbil Irak pada masa pemerintahan Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi (1138-1193 M.) zaman Dinasti Abbasiah. Namun ada juga yang berpendapat bahwa, tradisi tersebut muncul dari Shalahuddin sendiri.

Tujuan  kegiatan itu adalah untuk memperkuat kecintaan umat Islam kepada Nabi SAW., serta meningkatkan semangat juang kaum muslimin ketika itu yang sedang berperang untuk merebut kota Yarussalem dibawah penguasaan Kristen Eropa (Perang Salib).

Shalahuddin Al-Ayyubi berasal dari bangsa Kurdi (sunni). Ayahnya Najmuddin Ayyub dan pamannya Asaduddin Syirkuh hijrah meninggalkan kampung halaman Danau Fan dan pindah ke daerah Tikrit Irak. Shalahuddin lahir di benteng Tikrit Irak tahun 532 H/1137 M. ketika ayahanda Shalahuddin menjadi penguasa Seljuk di Tikrit.

Gagasan Shalahuddin memperingati Maulid Nabi SAW. pada dasarnya tidak terlepas dari pengaruh Syi'ah Mesir Al-Adid. Bagi Shalahuddin, dengan memperingati Maulid Nabi SAW. akan melahirkan nilai-nilai positif yang akan tumbuh pada umat Islam mendatang sekaligus secara politis menjadi media untuk membangkitkan semangat jihad kaum muslimin dalam menghadapi invansi umat Kristen Salib.

Ketika itu, ulama Salaf dan Wahhabi mayoritas mereka tidak sependapat dengan tradisi Islam tersebut. Menurut mereka, Maulid Nabi SAW. adalah bid'ah karena Rasulullah SAW. sendiri tidak pernah melakukannya.

Dalam perkembangan umat Islam selanjutnya, Maulid Nabi SAW.  baik dari kalangan sunni maupun syi’ah mereka sudah merayakan dengan meriah dalam berbagai bentuk dan corak serta waktu yang berbeda berdasarkan kearifan lokal masing-masing (local-culture). Sehingga perayaan Maulid Nabi SAW. tersebut menjadi budaya dalam masyarakat Islam seluruh dunia yang di dasarkan kepada hukum Islam. Kebudayaan tersebut diistilahkan sebagai kebudayaan Islam.


IV. Maulid Nabi SAW. : Budaya Arab (local-cultural)
Maulid Nabi SAW. sebagai kebudayaan Islam dalam tingkatan aktualisasi bersifat variatif. Hal demikian disebabkan, disamping oleh aliran pemikiran furu’iyah agama yang berbeda (sunni-syi’ah) juga oleh faktor budaya lokal tempat masyarakat Islam berdomisili. Oleh sebab itu, perbedaan waktu, bentuk perayaan Maulid Nabi SAW. dan lain-lain bukan persolan subtantif karena Maulid Nabi SAW. diikat oleh ideologi Islam sebagai keyakinan bagi umat Islam.

Dalam budaya Arab, masyarakat Islam sunni merayakan Maulid Nabi SAW. pada tanggal 12 Rabiul Awal. Sedangkan muslim syi’ah merayakan budaya tersebut pada tanggal 17 Rabiul Awal bertepatan dengan ulang tahun pemimpin syi’ah ke-enam, Imam Jafar As-Shadiq.

Berdasarkan uraian di atas, tradisi Maulid Nabi SAW. di Arab (local-cultural) dilaksanakan yaitu pada 12 Rabiul Awwal dan 17 Rabiul Awwal. Data tersebut telah membantu untuk ketuntasan kajian ini kendati pun tidak ada rujukan lain tentang gambaran konkrit menyangkut aktivitas teknis dalam tradisi Maulid Nabi SAW. di Arab.   

V. Maulid Nabi SAW. : Budaya Aceh (local-cultural)
Sebagaimana umat Islam di daerah lain melaksanakan Maulid Nabi SAW., masyarakat Islam di Aceh juga menyelenggarakan budaya Islam tersebut. Budaya Islam ini dalam tradisi Aceh dinamakan sebagai“ Kanduri Mulod”.

Bagi masyarakat Aceh, memperingati hari kelahiran Rasulullah SAW. (12 Rabiul Awwal) dalam bentuk “Kanduri Mulod” diselenggarakan di dalam tiga (3) yaitu  bulan Rabiul Awwal (mulod awai), Rabiul Akhir (mulod teungoh) dan pada bulan Jumadil Awal (mulod akhe)[10].

Kanduri Mulod” merupakan salah satu adat (tradisi) yang telah tersusun aturan perayaannya di Aceh. Adat tersebut termasuk dalam salah satu adat memperingati hari besar Islam di Aceh yang meliputi juga tentang peringatan  turun Al-Quran (Nuzulul Quran) dan mengenang peristiwa Israk Mi’raj[11].

Tradisi “Kanduri Mulod” bagi masyarakat Aceh bukan dimaknai dengan makan bersama yang identik dengan hura-hura dan mubazir. Bagi masyarakat Aceh, tradisi ini dilakukan sebagai momentum untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap Islam, memperkuat keimanan kepada Allah SWT. dan kecintaan mereka kepada Rasulullah SAW., serta memperkokoh ukhwah islamiyah untuk menumbuhkan solidaritas dan kepekaan terhadap nasib sesama. Itulah tujuan dasar dari tradisi tersebut, dan tujuan ini relavansi dengan tujuan Islam.

Berdasarkan kepada tujuan “Kanduri Mulod”, kegiatannya sarat dengan pendidikan keagamaan. Pendidikan tersebut dilakukan dalam bentuk perlombaan hafalan Al-Quran, perlombaan shalat, cerdas cermat, pidato dan lain – lain yang diperuntukkan untuk anak – anak dan remaja. Kegiatan ini biasanya dilakukan tiga hari sebelum acara “Kanduri Mulod”. Hasil dari perlombaan ini diumumkan serta diberikan hadiah kepada para juara pada acara puncak “Kanduri Mulod” sebelum dakwah akbar dimulai.

Pada hari “Kanduri Mulod”, masyarakat dengan ikhlas menyedekahkan makanan siap saji untuk dinikmati bersama yang dipusatkan di Meunasah atau Mesjid setempat. Makanan yang disedekahkan masyarakat berupa nasi yang dibungkus dengan daun pisang berbentuk segi tiga yang dinamakan dengan “bue kulah” beserta lauk pauk mulai dari gulai ayam kampung, gulai kambing, gulai ikan, telur bebek, sayur nangka, buah-buahan, kue dan lain – lain. Makanan – makanan tersebut dibungkus dengan tudung saji berkainkan berenda emas. Tudung saji tersebut berbentuk kerucut dengan warna dominan hijau, kuning, dan hitam yang dinamakan sebagai “Idang Meulapeh”.

Dalam “Kanduri Mulod”, anak - anak yatim dan fakir miskin mendapat  pelayanan khusus dari masyarakat sebagai wujud kecintaan mereka kepada golongan tersebut. Bahkan ada dibeberapa daerah di Aceh, masyarakat menyantuni mereka dengan sejumlah uang.

Tradisi “Kanduri Mulod” di Aceh bersampulkan lantunan shalawat, zikir dan syair - syair mengagungkan Allah SWT. dan mendoakan keselamatan untuk Rasulullah SAW. keluarga beserta shahabat serta untuk seluruh umat Islam yang terdengar indah dan menggugah jiwa yang keluar dari mulut – mulut remaja Dayah dengan suara yang merdu dan nyaring. Suara-suara itulah yang dinamakan  dengan “Barzanji” yang merupakan salah satu karakter khusus dalam tradisi Maulid Nabi SAW. di Aceh.     

Sedangkan pada malam hari sebagai kegiatan puncak “Kanduri Mulod”, masyarakat mengadakan dakwah akbar yang berisikan tentang sirah nabawiyah untuk dijadikan sebagai ibrah oleh masyarakat Aceh dalam kehidupan.
Sarana yang dipersiapkan untuk dakwah akbar berupa mimbar penda’i  juga tidak luput dari sentuhan seniman – seniman remaja setempat. Bentuk – bentuk mimbar dibuat dalam bentuk binatang, bangunan, pesawat, helicopter, mobil dan lain – lain sehingga suasana semakin semarak.

Bentuk – bentuk binatang yang dibuat berupa binatang – binatang yang terlibat dalam sejarah kerasulan Rasulullah SAW. seperti unta dan laba – laba. Sedangkan mimbar dalam bentuk bangunan dibuat berbentuk bangunan Mesjid dengan atap berbentuk kubah.   

VI. Maulid Nabi SAW. Tradisi Aceh : Akulturasi Budaya Arab dan Aceh
 Islam masuk ke Aceh berasal dari masyarakat Islam Arab. Masyarakat tersebut meskipun dalam sejarah Islam Nusantara dinamakan sebagai pedagang, namun dalam disiplin ilmu sosiologi mereka dianggap sebagai masyarakat migran. Migrasi adalah perpindahan seseorang atau sekelompok orang dari tanah kelahiran pergi ke daerah lain dengan tujuan untuk sementara waktu atau pun menetap[12].

Pengertian tersebut sesuai dengan kedatangan masyarakat Arab ke Aceh  dengan tujuan ganda, berdagang dan berdakwah. Bagi pedagang, mereka tidak menetap di Aceh. Sedangkan pendakwah, mereka menetap di Aceh bahkan kawin dengan masyarakat Aceh dan menjadi penduduk tetap untuk kepentingan dakwah.

Migrasi memunculkan dua bentuk fenomena yang berbeda; 1). Akulturasi budaya;  2). dan konflik budaya. Hal demikian disebabkan oleh masing – masing pihak, baik pendatang maupun pihak setempat memiliki budaya sendiri. Jika sistem sosial antara dua budaya tersebut kompatibel atau dapat saling mengisi,  maka proses tersebut dapat melahirkan sistem sosial dan budaya baru sebagai suatu budaya dalam bentuk akulturasi atau bahkan suatu budaya asimilasi. Dan sebaliknya, jika sistem – sistem tersebut tidak kompatibel, tidak selaras, tidak saling komplementer, atau saling berbeda, maka fenomena yang terjadi adalah konflik atau bahkan perang terbuka[13].

Berdasarkan sejarah, konsekwensi migrasi komunitas Arab ke Aceh adalah terbentuk budaya baru dalam bentuk akulturasi budaya Islam Arab dengan budaya Hindu Aceh. Keadaan demikian merupakan hasil dari metode dakwah yang dilakukan oleh bangsa Arab dalam bentuk islamisasi budaya Hindu Aceh secara lunak (soft) sehingga tidak mengherankan bila masyarakat saat itu menerima Islam tanpa merasa keluar dari agama mereka sendiri.

Melalui proses – proses demikian, masyarakat pribumi Aceh bertambah simpatik kepada bangsa Arab sehingga tidak sedikit budaya – budaya Arab diadopsi menjadi budaya Aceh. Hasil perpaduan itulah terbentuk budaya baru di Aceh yaitu “budaya Islam Aceh”. Oleh sebab itu, membahas tentang Aceh bermakna berbicara mengenai masyarakat Islam sebagaimana yang dilaporkan oleh Amirul Hadi dalam buku Aceh Sejarah, Budaya, dan Tradisi.

Di antara budaya – budaya Aceh dalam bentuk akulturasi budaya adalah tradisi (adat) “Kanduri Mulod” pada tingkatan dan struktur budaya dinamakan sebagai trait complex. Item – item dalam tradisi tersebut dikombinasikan dengan item – item perayaan Maulid Nabi SAW. di Arab. Salah satu item yang diadopsi dalam tradisi “Kanduri Mulod” di Aceh  adalah bacaan “Barzanji”.

Dalam kajian ini bacaan “Barzanji” dianggap sebagai item tradisi yang diadopsi dari Arab berdasarkan kepada teori umum Al-Attas yaitu karakteristik   kitab “Barzanji” bertulisan Arab yang disusun oleh Al-’Allaamah al-Muhaddits al-Musnid as-Sayyid Ja’far bin Hasan bin ‘Abdul Karim al-Barzanji (1126 – 1184 H) seorang mufti As – Syafi’iyah di Kota Madinah al-Munawwarah.

Kitab tersebut lebih populer dengan nama “Mawlid al-Barzanji“. Sebagian ulama menyatakan bahwa nama karangan tersebut sebagai “I’qdul Jawhar fi mawlid an-Nabiyyil Azhar“.

Kitab Barzanji ini tersebar luas di negeri ‘Arab dan Islam, baik di Timur maupun di Barat. Mayoritas umat Islam di dunia telah menghafal dan membaca  dalam perhimpunan-perhimpunan agama yang munasabah. Kitab “Barzanji” berisikan tentang ringkasan sirah nabawiyyah yang meliputi kisah kelahiran, perutusan sebagai rasul, hijrah, akhlak dan peperangan sehingga kewafatan baginda Rasulullah SAW.

Sedangkan item – item lain dalam tradisi “Kanduri Mulod” di Aceh adalah bernuansa lokal. Hal demikian terlihat dari jenis – jenis makanan, alat – alat penyajian makanan seperti Idang Meulapeh, tempat perayaan dan kegiatan-kegiatan dalam perayaan tradisi tersebut.

Begitu juga tentang waktu perayaan “Kanduri Mulod” di Aceh yang dirayakan pada tiga bulan yaitu pada bulan Rabiul Awwal (mulod awai), Rabiul Akhir (mulod teungoh) dan Jumadil Awwal (mulod akhe). Sedangkan di Arab di rayakan pada tanggal 12 Rabiul Awwal dan 17 Rabiul Awwal.

Kebiasaan masyarakat Aceh pada tiga bulan tersebut adalah melakukan pertunangan anak (khitbah), mengawinkan anak dan melaksanakan peresmian perkawinan (walimah) karena pada bulan  - bulan tersebut dianggap berkah oleh masyarakat[14].   

VII. Kesimpulan
 Tradisi Maulid Nabi SAW. di Aceh tidak bertentangan dengan worldvieuw masyarakat Aceh yaitu hukoem ngeun adat lage zat ngeun sifeut (hukum dan adat seperti zat dan sifat).

Hal demikian terlihat dari aspek legalitas hukum perayaan Maulid Nabi SAW. yang terkandung dalam Al-Quran dan Hadis. Ke dua sumber Islam tersebut memberikan sinyal tentang kebolehan perayaan tersebut..

Sinkronisasi perayaan Maulid Nabi SAW. dengan falsafah masyarakat Aceh juga terletak pada tujuan perayaan itu sendiri. Tujuan dari peryaan ini adalah sebagai bentuk syukur kepada Allah SWT. yang telah menciptakan hamba-Nya Muhammad SAW. sebagai pembawa rahmat untuk seluruh alam.

Perayaan Maulid Nabi SAW. merupakan salah satu kebudayaan Islam yang diciptakan oleh umat Islam pada abad 12 M. yang bertujuan untuk memperkuat kecintaan mereka kepada Rasulullah SAW. dan juga sebagai media untuk membangkitkan semangat jihad umat Islam dalam menghadapi invansi Kristen Salib dalam perang Salib memperebutkan kota Yarussalem.

Ide itu muncul pada masa pemerintahan Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi (1138-1193 M.) zaman Dinasti Abbasiah. Inspirasi Shalahuddin tersebut sebagian sejarawan melaporkan tidak terlepas dari pemikiran Syi'ah Mesir Al-Adid. Bahkan para sejarawan lain melaporkan bahwa, gagasan itu berasal dari Abu Said Al-Qa’buri gubernur Irbil Irak bukan dari Shalahuddin sendiri.

Pada masa itu, sebagian besar umat Islam sunni dan syi’ah, perayaan Maulid Nabi SAW. dianggap bid’ah. Akan tetapi pada masa selanjutnya, umat Islam diseluruh dunia merayakan perayaan tersebut sehingga menjadi sebuah kebudayaan Islam yang dilaksanakan dalam berbagai bentuk berdasarkan kearifan daerah dan wilayah masing-masing baik umat Islam sunni maupun syi’ah.

Aceh salah satu wilayah yang mayoritas beragama Islam juga merayakan budaya tersebut. Budaya Islam ini dirayakan berdasarkan tradisi Aceh dengan keunikan – keunikan tersendiri.

Idang Meulapeuh yang berisikan beragam makanan khas Aceh, Bue Kulah, Barzanji, aneka perlombaan agama untuk anak – anak dan remaja, santunan anak yatim dan fakir miskin, aneka bentuk mimbar yang unik serta dakwah akbar adalah ciri – ciri khas Aceh dalam memperingat kelahiran Nabi besar Muhammad SAW.
Unsur  - unsur itulah yang membedakan tradisi Maulid Nabi SAW. di Aceh dengan daerah dan negara Islam lain disamping dari nama tradisi tersebut yaitu “Kanduri Mulod”. Wallahu’alam


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1970
Amirul Hadi, Aceh, Sejarah, Budaya, dan Tradisi, Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia, edisi 1, 2010.
Atang Abd., Hakim, Jaih Mubarok, Metodelogi Studi Islam, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, cetakan ketujuh, September 2004.
Bahrein T. Sugihen, Sosiologi, Banda Aceh : Lembaga Penelitian Pengembangan dan Penerbitan Informasi Pembangunan (LP3IP), t.t.
Departemen Agama RI, Al-Quran Tajwid Dan Terjemahannya, Bandung : PT. Syaamil Cipta Mulia, t.t.
Muhammad Umar (EMTAS), PERADABAN ACEH (TAMADDUN I), Banda Aceh : Yayasan BUSAFAT Banda Aceh Bekerjasama Dengan Jaringan Komunitas Masyarakat Adat Aceh, 2006.
Sehat Ihsan Shadiqin, Tasawuf Aceh, Banda Aceh : Bandar Publising, 2008.
S.M.N, al-Attas, Islam Dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, Kuala Lumpur : Universitas Kebangsaan Malaysia, 1972.

[1]  Sehat Ihsan Shadiqin, Tasawuf Aceh, Banda Aceh : Bandar Publising, 2008, hlm. 33
[2] S.M.N, al-Attas, Islam Dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, Kuala Lumpur : Universitas Kebangsaan Malaysia, 1972, hal. 33-34.
[3] Amirul Hadi, Aceh, Sejarah, Budaya, dan Tradisi, Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia, edisi 1, 2010, hlm. 171.
[4] Atang Abd., Hakim, Jaih Mubarok, Metodelogi Studi Islam, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, cetakan ketujuh, September 2004, hlm. 28.
[5] Atang Abd., Hakim, Jaih Mubarok, op.cit., hlm. 34
[6] Ibid.
[7] Departemen Agama RI, Al-Quran Tajwid Dan Terjemahannya, Bandung : PT. Syaamil Cipta Mulia, t.t., hlm. 215.
[8] Ijtihad  adalah mencurahkan tenaga (memeras pikiran) untuk menemukan hukum agama (syara’) melalui salah satu dalil syara’, dan dengan cara – cara tertentu, sebab tanpa dalil syara’ dan tanpa cara – cara tertentu tersebut, maka usaha tersebut merupakan pemikiran dengan kemauan sendiri semata – mata dan sudah barang tentu cara ini tidak disebut sebagai Ijtihad. Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1970, hlm. 162.  
[9] Atang Abd., Hakim, Jaih Mubarok, op.cit., hlm. 30
[10]  Muhammad Umar (EMTAS), PERADABAN ACEH (TAMADDUN I), Banda Aceh : Yayasan BUSAFAT Banda Aceh Bekerjasama Dengan Jaringan Komunitas Masyarakat Adat Aceh, 2006, hlm. 185.
[11] Ibid., hlm. 171.
[12] Bahrein T. Sugihen, Sosiologi, Banda Aceh : Lembaga Penelitian Pengembangan dan Penerbitan Informasi Pembangunan (LP3IP), t.t., hlm. 283. 
[13]  Ibid., hlm. 286.
[14] Muhammad Umar (EMTAS), op.cit., hlm. 186.

 (Sumber : www.facebook.com/note.php?note_id=199404173408223)