Menurut Al-Qur’an, “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati dan menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.”
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya dalam tubuh manusia terdapat sepotong daging yang apabila dalam keadaan tenang maka tenang pula seluruh bagian tubuh yang lain dan apabila dalam keadaan kotor maka kotor pula seluruh bagian tubuh yang lain, itulah hati.”
Hati seseorang memiliki satu wajah yang diarahkan ke alam spiritual dan satu wajah yang dihadapkan alam kehidupan jasmani. Hati mengandung kedua alam, jasmaniah dan rohaniah, dan menyebarkan sifat-sifat Ketuhanan yang diterimanya dari alam ruh.
Hati dalam mikrokosmos adalah bagaikan ‘Arsy dalam makrokosmos. Namun demikian, hati memiliki karakter-karakter dan kemuliaan tertentu yang tidak dimiliki ‘Arsy, yaitu bahwa hati menerima kemuliaan dari alam ruh, hati merupakan kesadaran daripadanya, sedangkan ‘Arsy tidak. Ini karena kemuliaan yang datang dari alam ruh ke hati, diterima dalam bentuk sifat-sifat, yaitu sifat-sifat kehidupan, pengetahuan dan akal sehingga hati dapat menenimanya, sebagaimana apabila matahari memberikan cahayanya, sifatnya, ke dalam sebuah rumah, rumah itu menjadi terang. Jadi, rumah diberi sifat matahari dalam bentuk cahaya yang terang. Sedangkan kasih sayang sampai di ‘Arsy berbentuk tindakan dan kekuatan, bukan sebagal sifat. Karena itu, ‘Arsy diam, sedangkan melalui hati maka pengaruh perbuatan dan kekuatan ‘Arsy akan mencapai makhluk. Setiap sesuatu ada, tetapi hidup tidak harus mewujudkan dirinya di dalamnya. Pengetahuan dan hikmah merupakan sifat Allah. Ini terjadi sebagaimana ketika matahari memancarkan sifat terangnya kepada sebuah gunung, maka gunung itu menjadi memiliki sifat terang yang berasal dan matahari. Sebaliknya, apabila perbuatan dan pengaruh itu disinarkan kepada batu rubi dan cornelian, batu-batu itu tidak diberi karakter oleh sifat terangnya matahari, tetapi melalui matahari batu-batu itu memunculkan sifat-sifat kerubian serta ke-cornelian-annya mereka sendiri. Selain itu, hati memiliki kepandaian, ketika dimurnikan melalui proses jalan Thariqat, yaitu ketika berada dalam tempat terbentuknya cinta, sebagaimana hati berperan sebagai tempat untuk pembentukan sifat spiritual. Apabila selama proses perkembangan, kesempurnaan dan perhatian kepada Allah, hati mencapai kesempurnaan, maka hati menjadi tempat perwujudan semua Sifat-Sifat Ketuhanan. Semua yang ada di alam semesta yang turun dari ‘Arsy tidak dapat menahan cahaya ketuhanan atau salah satu Sifat Allah. Seperti Gunung Sinai, ketika itu runtuh dan hancur.
Mengenai apakah hati itu, apa arti pemurnian hati, dan kapan hati mencapai kesempurnaan ke-hati-annya, ketahuilah bahwa hati memiliki bentuk jasmaniah, yaitu sebagai sepotong daging, tetapi tidak setiap orang memiliki realitasnya atau jiwa hati, sebagaimana diperlihatkan dalam ayat Al-Qur’an: “Sesungguhnya terdapat tanda-tanda peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati.”
Hati bisa suci ataupun kotor. Hati adalah suci apabila bersih, dan kotor apabila keruh. Hati adalah bersih apabila hasratnya sehat, keruh apabila hasratnya berpenyakit dan mengalami defisiensi.
Mata hati mengalami penyaksian (musyahadah) terhadap Kegaiban. Telinga hati mendengar ucapan dari Alam Gaib dan dari Allah. Penciuman hati mencium angin dari Alam Gaib, dan langit-langit hati merasakan kenikmatan kebajikan yang penuh kasih sayang, manisnya keimanan dan lezatnya hikmah. Indera perasaan hati adalah akal, yang dengannya hati mendapatkan keuntungan dari semua hal-hal yang dapat dipahami akal. Karena itu, pemurnian hati terletak dalam kesehatan dan perasaan dari inderanya. Ada perbedaan pendapat berkenaan dengan perlakuan terhadap hati. Beberapa orang bekera keras untuk mengoreksi dan mengubah temperamennya, menggantikan setiap karakter nafs yang tercela dengan karakter terpuji yang berlawanan dengannya. Misalnya, mereka telah mengubah sifat kikirnya menjadi sifat yang murah hati dengan cara menggantikannya dengan sifat yang Iebih mementingkan orang lain; dalam cara ini mereka telah mengubah kemarahan dengan toleransi, kesabaran dan menekan rasa marah, mengubah ketamakan dengan kesalehan, penolakan terhadap dunia, pengasingan diri dan pelepasan. Ini memerlukan waktu yang lama bahkan untuk mengubah satu sifat sekalipun, dan jika orang mengendurkan kontrolnya untuk sesaat, maka nafs akan mengambil alih sekali lagi. (“Nafs adalah seekor naga; siapa bilang dia telah mati?” — Rumi). Apabila seseorang beralih untuk bekerja pada sifat yang lain, maka sifat yang pertama tadi akan aktif kembali.
Pendekatan Sufi adalah berjuang memurnikan hati melalui pelepasan dari dunia (tajrid), pelepasan dari diri (tafrid) dan perhatian yeng terus-menerus kepada Allah. Apabila seorang murid, menurut kemampuannya, telah berhasiI terlepas dari bentuk kejasmanian dan mencapai pelepasan kerohaniannya, dalam proses pemurnian hati, maka dia sibuk dalam perawatan diri dan dzikir yang terus-menerus sehingga melalui upayanya, rasa kejasmaniahannya tidak lagi aktif, yang dengan itu menghilangkan pengaruh yang dibawa ke dalam hati oleh gangguan-gangguan rasa, karena kekeruhan dan ketertutupan hati yang disebabkan oleh ketertarikan terhadap rasa-rasa tadi.
Sekalipun gangguan rasa fisik telah hilang, gangguan godaan setan dan desakan nafs (hawajis) yang menyelubungi dan mcnghasut hati tetap ada. Seseorang hanya dapat menghilangkannya melalui dzikir yang terus-menerus dan penolakan terhadap pikiran-pikiran yang melayang-Iayang.
Melalui cahaya dzikir dan penolakan terhadap pikiran-pikiran yang melayang, hati menjadi terbebas dari hasutan nafs dan setan, menjadikan dirinya taat, dan menemukan kenikmatan (dzauq) dalam dzikir, dengan lidah dan mengerjakan dengan segenap diri. Manfaat dzikir adalah menghapus dan menghilangkan semua kekeruhan dan tabir yang menutup hati di mana setan dan nafs telah mengakar. Apabila kekeruhan dan tabir penutup telah berkurang, cahaya dzikir bersinar pada esensi hati yang di dalamnya tumbuh kekhawatiran dan rasa takut sebagaimana diperlihatkan dalam Al-Quran, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebutkan nama Allah gemetarlah hatinya.”
Sekali hati telah meneguk dzikir, kekerasannya menjadi hilang, dan kehalusan serta keluwesan akan terlihat padanya, sebagaimana ditunjukkan pada ayat, “Kemudian menjadi tenang tubuh dan hati mereka di waktu mengingat Allah.”
Jika dzikir telah dilakukan secara terus-menerus di dalam hati, hal ini akan mengendalikan wilayah hati, menolak semua yang kesadaran bukan terhadap Allah dan kasih sayang-Nya serta membuka kesadaran yang dalam (sirr) akan perenungan (muraqabah).
Sekali kekuatan dzikir telah menempati alam kehidupan hati, hati akan mendapat kedamaian dan perasaan dekat, yang membuatnya cemas akan hal yang lain, sebagaimana dijelaskan dalam ayat: “Yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah hanya dengan mengingat Allah hati mereka menjadi tenteram.” Selama ingatan dan kecintaan akan makhluk tetap ada dalam hati, maka kekeruhan dan penyakit hati akan tetap ada. Seseorang harus menerapkan sarana “La ilaha ilallah” dan penolakan terhadap apa pun selain Allah untuk menghilangkan kekeruhan dan penyakit tadi, sampai hati menjadi siap menerima perwujudan Nama-nama Allah, dan mengenakan sifat-sifat darinya. Pada kondisi di mana tidak ada lagi perhatian selain kepada Allah, maka cahaya dzikir dan substansi Nama-nama Allah akan menggantikan semua yang lain.
Majdud-Din Baghdadi berkata:
Selama hati
sadar akan keburukan dan kebaikan di dunia, Dia tak akan dapat mengendalikan
keburukan dan kebaikan dunia.
Sampai saat tak ada satu hati
dan seribu perhatian;
Saat tak ada apa pun selain “Tiada tuhan selain Allah”
Pada saat itu, Sang Raja Cinta akan memberikan keagungan Kerajaan-Nya ke kota hati untuk menempati persimpangan jalan hati, ruh dan jasad. Dia memerintahkan kerinduan dalam cara yang sedemikian rupa sehingga nafs yang brutal terikat pada tali penderitaan. Dia mengikatkan jerat perjuangan pada lehernya dan menariknya ke dalam persemayaman hati, yang di bawah bendera kerajaan kasih sayang, dia melepaskan kepala hasrat nafs dengan pedang dzikir, menggantungnya pada pohon ketulusan. Setan, yang merupakan pengikut nafs, mendengar hal ini dan datang untuk menyaksikan pengadilan kerajaan. Mereka mengosongkan kota dan jasad dan meninggalkan wilayah ini untuk terakhir kali. Semua pelaku kejahatan dengan sifat-sifat tercela nafs mengarnbil pisau belati dan meletakkan kain kafan ketidakberdayaan serta tunduk dalam kehambaan, seraya berkata “Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.” Raja Kasih Sayang menyebabkan semua pelaku kejahatan ini menyesal dan menyelimuti mereka dengan pakaian kehambaan, mengarahkan mereka kepada perintah dan singgasana hati, karena mereka telah mencapai apa yang diinginkannya.
Apabila kota jasad dimurnikan dari huru-hara setan yang jahat dan hasutan perangai-perangai yang tercela, dan cermin hati telah dibersihkan dari kotoran sifat kebendaan, maka seseorang akan sampai di Ruang Yang Mahaindah dan Yang Tidak Dapat Ditembus, tempat terbitnya matahari keindahan Yang Maha Es, Pada batas ini hati dikendalikan oleh Sang Raja Cinta dan menteri akal adalah penjaga pintu hati. Kota hati dihiasi dengan ornamen-ornamen, mutiara dan permata Keyakinan, ketulusan, kepercayaan kepada Allah, kemurahan hati, kesopanan, kedermawanan, kebebasan, rasa malu, keberanian, ketajaman dan keanekaragaman sifat-sifat yang terpuji. Apa yang telah terjadi? Raja yang sebenarnya telah memasuki tempat pengasingan hati. Yang Maha Pengasih memperlihatkan keindahan-Nya sewaktu Dia muncul dari singgasana keagungan. Sekarang ucapan La ilaha mengosongkan ruang besar tempat bagi perangai-perangai terpuji, karena kecemburuan Allah akan meniadakan yang lain daripada Allah, Hati, adalah Pencinta, yang seperti Yakub menghuni rumah kesedihan dada sanubari, mendapatkan pandangannya disinari dengan keindahan Yusuf, yang mengubah rumah kesedihan ke dalam taman mawar melalui keindahan Yusuf. Hati berlalu dan kesedihan menuju ke kegembiraan, dan ujian ke keberuntungan, dan dari rasa sakit karena terpisahkan ke kemuliaan Penyatuan.
Pada maqam ini hati mencapai realitasnya dan kembali kepada kebersihan dan kemurniannya semula. Sifat-sifat nafs yang belum berubah selama masa perjuangan spiritual akan berubah melalui proses dzikir dan perenungan hati, seluruh perhatiannya hanya terpatri pada kehambaan.
Di sini, perintah-perintah yang tidak datang dari hati maupun dari ruh, serta perangai-perangai nafs tertentu tidak dapat diperintah untuk mematuhi atau tidak mematuhi. Agaknya, Sang Raja menjadi sesuatu seperti yang ditunjukkan dalam Al-Qur’an, “Dan tunduklah semua muka dengan rendah hati kepada Tuhan Yang Hidup Kekal dan senantiasa mengurus makhluk-Nya.” Sang Raja mengosongkan ruangan hati dari beban yang diberikan oleh yang selain Dia, membangun ruangan singgasana dari mereka yang terpilih, yang “Tidaklah bumi-Ku dan tidak juga langit-Ku mampu mendengar-Ku, melainkan hati hamba-Ku yang beriman yang mampu mendengarkan Aku.” Kemudian perintah Allah menguasai tubuh dan karakter pribadi seseorang, menurut ayat Al-Qur’an, “Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya.” Tidak ada alat gerak atau karakter yang dapat melakukan apa pun melalui kehendaknya sendiri, ini hanyalah terjadi melalui penintah Allah yang dengannya seseorang melakukan tindakan, menurut hadits, “Aku menjadi pendengaran, penglihatan, Iidah dan tangan-tangan bagi hamba-hambaKu, yang dengannya dia mendengar, melihat, berbicara dan berbuat”.
Jadi pada maqam ini, hati menjadi tempat perwujudan Sifat-Sifat Allah. Karena sifat-sifat itu berupa dua jenis, yaitu sifat kemuliaan dan sifat kemurkaan, dan hati adalah tempat perwujudan keduanya, Allah akan memperlihatkannya kepada hati, yang dengan sendirinya senantiasa tunduk terhadap pengaruh keduanya. Berkenaan dengan hal ini, Rasulullah bersabda, “Hati orang yang beriman terletak antara dua jari Yang Maha Pernurah, Dia mengalihkannya sebagaimana yang Dia kehendaki.“ Inilah petunjuk ke-Maha-Penyayang-an, bukan petunjuk bagi Ketuhanan, karena hati merupakan tempat pembentukan Sifat-Sifat Ke-Maha-Penyayang-an itu.
Pembersihan hati melibatkan penanaman perangai-perangai dan karakter-karakter yang terpuji, yaitu bijaksana, sederhana, adil, berani, murah hati, dermawan, mulia, kesatria, anugerah, keimanan, kebajikan, persahabatan, suka memaafkan kesalahan, pemurah, kemanusiaan, pcngetahuan, rasa malu, kebahagiaan, pengawasan diri, kesalehan, ibadah, ketaatan dan sebagainya. Apabila hati telah dicirikan dengan perangai-perangai tersebut melalui dzikir La ilaha illallah, yang membersihkan kotoran dan debu-debu yang melekat serta sumbatan-sumbatan pada cermin hati, maka spiritualitas, keikhlasan, cahaya dan sinar-sinar yang menerangi akan terlihat.
Blogyus Sumb: http://www.sufinews.com
==============================================