KEKHALIFAHAN
USMAN BIN AFFAN
(NEPOTISME USMAN
BIN AFFAN DAN FITNAH AL-QUBRA)
OLEH: YUSWADI
BAB
I
PENDAHULUAN
A.Latar
Belakang
Usman bin Affan, salah satu shahabat
Nabi Muhammad dan dikenal sebagai khalifah Rasulullah yang ketiga. Pada masa
Rasulullah masih hidup, Usman terpilih sebagi salah satu sekretaris Rasulullah
sekaligus masuk dalam Tim penulis wahyu yang turun dan pada masa
Kekhalifahannya al-Quran dibukukan secara tertib. Usman juga merupakan salah
satu shahabat yang mendapatkan jaminan sebagai ahlul jannah. Kekerabatan Usman
dengan Muhammad Rasulullah bertemu pada urutan silsilah ‘Abdu Manaf.[1]
Rasulullah berasal dari Bani Hasyim sedangkan Usman dari kalangan Bani Umaiyah.
Antara Bani Hasyim dan Bani Umaiyah sejak jauh sebelum masa kenabian Muhammad,
dikenal sebagai dua suku yang saling bermusuhan dan terlibat dalam persaingan
sengit dalam setiap aspek kehidupan.[2] Maka
tidak heran jika proses masuk Islamnya Usman bin Affan dianggap merupakan hal
yang luar biasa, populis, dan sekaligus heroik. Hal ini mengingat kebanyakan
kaum Bani Umaiyah, pada masa masuk Islamnya Usman, bersikap memusuhi Nabi dan
agama Islam.
Usman
Bin Affan terpilih menjadi khalifah ketiga berdasarkan suara mayoritas dalam
musyawarah tim formatur yang anggotanya dipilih oleh Khalifah Umar Bin
Khaththab menjelang wafatnya. Saat menduduki amanah sebagai khalifah beliau
berusia sekitar 70 tahun.[3]
Pada masa pemerintahan beliau, bangsa Arab berada pada posisi permulaan zaman
perubahan. Hal ini ditandai dengan perputaran dan percepatan pertumbuhan
ekonomi disebabkan aliran kekayaan negeri-negeri Islam ke tanah Arab seiring
dengan semakin meluasnya wilayah yang tersentuh syiar agama.
Faktor-faktor
ekonomi semakin mudah didapatkan. Sedangkan masyarakat telah mengalami proses
transformasi dari kehidupan bersahaja menuju pola hidup masyarakat perkotaan.
Dalam
manajemen pemerintahannya Usman menempatkan beberapa anggota keluarga dekatnya
menduduki jabatan publik strategis. Hal ini memicu penilaian ahli sejarah untuk
menekankan telah terjadinya proses dan motif nepotisme dalam tindakan Utsman
tersebut.[4]
Beberapa
penulis Muslim mencoba melakukan rasionalisasi bahwa tindakan Usman tersebut
bukan tanpa alasan. Hal ini merupakan sebuah upaya pembelaan terhadap tindakan
Usman tidak atau bahkan sama sekali jauh dari motif nepotisme. Sebagai contoh
salah satu bentuk rasionalisasi menyebutkan bahwa Usman mengangkat wali - wali
negeri dari pihak keluarga beralasan untuk memperkuat wilayah kekuasaannya
melalui personal yang telah jelas dikenal baik karakteristiknya.[5] Hal
ini mengingat wilayah kekhilafahan pada masa Usman semakin meluas. Demikian
juga tanggung jawab dakwah dimasing-masing wilayah tersebut.
Dalam
Manajemen, mengangkat pekerja berdasarkan kekerabatan bukan hal yang salah.
Kemungkinan pengenalan karakteristik anggota keluarga jelas lebih baik
dibandingkan melalui seleksi dari luar keluarga. Jika hal tersebut menyangkut
kinerja dan harapan ketercapaian tujuan dimasa mendatang jelas pemilihan
bawahan dari pihak keluarga tidak bertentangan dengan sebuah aturan apa pun.
Artinya secara mendasar nepotisme sendiri bukan merupakan sebuah dosa. Namun
demikian kata “nepotisme’ dewasa ini telah mengalami perubahan makna
substansial menjadi bermuatan negative. Bukan hanya bagi Indonesia, namun bagi
sejumlah negara “pendekatan kekeluargaan” tersebut telah menempati urutan
teratas bagi kategorisasi “dosa-dosa politis” sebuah rezim kekuasaan.
Oleh
karena itu maka penjelasan bahwa pemilihan anggota keluarga untuk menempati
struktur kepemimpinan dalam kasus khalifah Usman dengan rasionalisasi
pengenalan karakteristik, jelas kurang relevan diterapkan pada masa ini, walaupun
bukan berarti tidak benar. Maka salah satu jalan yang harus dilakukan guna
membedah isu seputar nepotisme ini adalah melalui cross check sejarah
terhadap masing-masing anggota keluarga Usman yang terlibat dalam kekuasaan.
Disadari proses ini tidaklah mudah.
B.Rumusan
Masalah
1. Apa
Sejarah perkembangan Kekhalifahan Usman bin Affan ?
2. Apa
Nepotisme Usman bin Affan dan fitnah al-Qubra?
C.Manfaat
1. Untuk
mengetahui Sejarah perkembangan Khalifah Usman bin Affan ?
2. Untuk
mengetahui Nepotisme Usman bin Affan dan fitnah al-Qubra?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah perkembangan Kekhalifahan Usman bin Affan
1.
Riwayat
Hidup Khalifah Usman bin Affan (644-656 M)
Siapa
Usma ibn Affan ?
Beliau
ialah Usman bin Affan bin Abi al-‘Ash bin Umaiyah bin Abdus Syams bin Abd Manaf
bin Qushayyi bin Kilab nasabnya dari keturunan Umaiyah salah satu pembesar
Quraish. Bapaknya bernama Affan dan ibunya bernama Urwah binti Kuraiz dari Bani
Syams juga. Usman dilahirkan pada tahun keenam tahun gajah. Ia lebih muda dari
Nabi enam tahun.[6] Di
masa anak-anak dan masa remajanya, ia hidup boros, seperti orang-orang Quraish
umumnya, terutama Bani Umaiyah. Sesudah Rasulullah diutus oleh Allah ia
termasuk yang mula-mula masuk dalam Islam. Dalam riwayat yang lain bahwa ia
tumbuh dengan akhlak yang mulia, dan beografi kehidupan yang sangat baik,
rendah hati, jujur. ia pemalu, dan sangat pemalu. Sebab-sebabnya ia masuk Islam
para sejarawan menyebutkan beberapa sumber, yang sebagian dapat kita catat di
sini.
Sewaktu
pertama kali Nabi Muhammad menyerukan Islam, Usman berusia 34 tahun. Pada suatu
malam ia bermimpi mendengar seseorang memanggil-manggil dirinya. Setelah bangun
dari tidurnya, jiwa dan pikiran Usman penuh dengan ilham ketuhanan. Maka ia
segera menemui Nabi Muhammad dan menyatakan diri masuk Islam.[7]
Setelah
Usman bin Affan masuk Islam dia menikahi Ruqayyah anak Rasulullah saw, ketika
itu umur Ruqayyah belum mencapai 20 tahun kendati itu bukan putri Rasulullah
saw yang tertua, sementara umur Usman ketika itu sudah hampir 40 tahun, dan di
zaman jahiliah itu sudah pernah menikah dan mendapat julukan Abu Umar.[8]
Setelah
wafatnya Ruqayyah beliau menikahi Umi Kalsum, adik Ruqayyah. Tetapi Umi Kalsum
juga meninggal ketika ayahnya masih hidup dan alangkah beratnya kesedihan yang
harus diderita Usman. Rasulullah menghiburnya dengan mengatakan: “andaikata ada
putri kami yang ketiga, niscaya kami kawinkan kepada engkau, “Karena pernikahan
Usman dengan Ruqayyah dan kemudian dengan Umi Kalsum itulah, maka kaum muslimin
kemudian memberinya gelar dengan Zun Nurain.[9]
Usman
tidak ikut perang Badar karena sedang merawat Ruqaiyah. Tetapi sesudah tahun
berikutnya dan perang Uhud ia juga terjun bersama-sama dengan Muslimin yang
lain. Kemudian peranannya dan peranan yang lainnya pada waktu itu, sebenarnya
pihak muslimin pagi itu sudah mendapat kemenangan, tetapi kejadiannya kemudian
berbalik menimpa mereka. Pihak Quraisy lalu mengumumkan bahwa Muhammad sudah
terbunuh. Berita ini membuat pihak muslimin jadi porak-poranda dan sebagian
mereka ada yang lari, tetapi tak lama kemudian pihak muslimin tahu bahwa nabi
masih hidup. Mereka segera ke tempat Nabi dan berusaha melindunginya dari
serangan Kuraisy.[10]
Menurut
Khalid, Muhammad dalam perang Uhud ikut menyerang dan berperang. Akan tetapi
ketika pasukan Quraish mengejutkan kaum muslimin dengan serangan yang tak
terduga, terdengar suara keras, “Muhammad telah mati” dan suara itu membuat
Usman kebingungan, sehingga menyebabkannya lari dari medan perang bersama
orang-orang yang lari mundur terdorong oleh kebingungan serupa. Allah
menghargai balasan mereka dan menerima permintaan maaf mereka serta turun wahyu
mengenai urusan mereka yang mengatakan, bahwa Allah telah memaafkan mereka.
Sesudah
perang Uhud Usman juga ikut dalam perang Khandaq, perang Khaibar dan dalam
pembebasan Mekkah. Kemudian ekpedisi Hunain, Ta’if dan Tabuk. Dalam semua
tugasnya itu ia tidak berbeda dengan muslimin yang lain, tidak harus di depan
atau di belakang, sebab dia memang bukan pahlawan perang seperti Hamzah bin
Abdul Muthalib , Ali bin Abi Thalib, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqas dan
Khalid bin Walid yang telah dapat menggerakkan semangat perang dalam hati
mereka dan mendorong mereka terjun ke dalam barisan di medan laga menghadapi
maut tanpa ada rasa gentar. Malah orang yang berhati cabar pun akan berangkat
di waktu perang, yang dalam barisan demikian ia bukan berada di depan, juga
bukan di belakang.[11]
Usman
orang yang begitu cinta damai, juga sangat pemurah, dia mengeluarkan hartanya
demi kebaikan kaum muslimin. Sesudah Rasulullah saw mengambil keputusan akan
menghadapi Romawi di Tabuk dan sudah menyiapkan “Pasukan Usrah”, Usman
menyediakan 300 unta lengkap dengan isinya dan 1000 dinar di tangan Rasulullah
saw untuk dipergunakan dalam perang itu.[12]
2.
Pengangkatan
Menjadi Khalifah
Dari tempat tidur dan berbaring karena
luka yang disebabkan oleh tikaman peroz (Abu Lu’lu’ah), Umar ra membentuk team
yang terdiri dari atas enam orang sahabat terkemuka untuk menentukan
penggantinya sebagai khalifah diantara anggota team.[13]
Pemilihan Usman bin Affan sebagai
khalifah dilakukan secara musyawarah. Hal ini sudah tampak pada sikap khalifah Umar bin Khatab yang tidak menentukan calon pengganti
tampuk kepemimpinan setelahnya. Beliau hanya menunjuk 6 orang tokoh penting
yang jua berperan dalam pemerintahannya untuk menetapkan khalifah setelahnya
dengan cara musyawarah. Mereka adalah Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib,
Abdur Rahman bin Auf, Thalhah bin Ubaidillah, Az-Zubair bin Al-Awwam dan Sa’ad
bin Abi Waqqash.[14]
Di dalam perundingan itulah Abdurrahman
bin Auf mengajukan saran untuk menentukan calon yang akan diajukan sebagai
khalifah. Dua calon terpilih dari para sahabat tersebut adalah Usman bin Affan
dan Ali bin Abi Thalib.
Sejarah mengatakan bahwa majlis musyawarah memutuskan untuk mengambil suara
dari para penduduk Madinah Al-Munawwarah melalui cara berdialog kepada para
tokoh-tokoh dan sebagian masyarakat untuk mengajukan pendapatnya dalam
pemilihan khalifah setelah wafatnya Umar bin Khatab.
Dari
sekian pendapat yang diajukan kepada masyarakat madinah, maka diperolehlah
pendapat yang kuat akan terpilihnya Usman bin Affan sebagai khalifah. Pendapat
tersebut patut dibawa ke dalam forum untuk menentukan seorang yang pantas untuk
menjadi khalifah. Usman sebagai calon terpilih diminta kesanggupannya untuk
memimpin pemerintahan ummat Islam pada waktu itu. Dengan penuh keberaniannya
Usman bin Affan bersedia untuk menggantikan posisi Umar bin Khatab sebagai khalifah.
Pemilihan
terhadap Usman tersebut berlangsung pada pengunjung bulan Zulhijjah tahun 23
H/644 M dan diresmikan pada awal muharram 24 H/644 M, dengan dilakukannya
pembai’atan kalifah Usman bin Affan oleh seluruh umat muslim.[15]
3. Prestasi Yang Pernah diraih
Pada Masa khalifah Usman bin Affan
Masa kekhalifahan Usman bin Affan merupakan masa yang paling
makmur dan sejahtera. Ada yang menyebutkan dalam ceritanya sampai rakyatnya
melakukan haji berkali-kali. Bahkan seorang budak dijual sesuai berdasarkan
berat timbangannya. Beliau adalah khalifah yang pertama kali melakukan
perluasan masjid al-Haram (Mekkah) dan masjid Nabawi (Madinah) karena semakin
ramai umat Islam yang menjalankan rukun Islam kelima (haji). Beliau mencetuskan
ide polisi keamanan bagi rakyatnya, membuat bangunan khusus untuk mahkamah dan
mengadili perkara. Hal ini belum pernah dilakukan oleh khalifah sebelumnya. Abu
Bakar dan Umar bin Khatthab biasanya mengadili suatu perkara di masjid.
Pada masa Usman khutbah Idul fitri dan idul adha didahulukan
sebelum shalat. Begitu juga adzhan pertama pada shalat Jum’at. Beliau
memerintahkan umat Islam pada waktu itu untuk menghidupkan kembali tanah-tanah
yang kosong untuk kepentingan pertanian. Pada masa Usman juga, kekuatan Islam
melebarkan ekspansi. Untuk pertama kalinya, Islam mempunnyai armada laut yang
tangguh. Muawiyah bin Abu Sofyan yang menguasai wilayah Syria, Palestina dan
Libanon membangun armada itu. Sekitar 1.700 kapal dipakai untuk mengembangkan
wilayah ke pulau-pulau di Laut Tengah.
a). Membangun Masjid Nabawi di
Madinah
Sesudah kekhalifahan beralih ketangan Usman, maka yang
pertama disampaikannya kepada umum adalah rencana perluas masjid. Setelah
bermusyawarah dengan beberapa pemuka, kemudian mereka sepakat untuk merobahkan
masjid itu. Lalu membangun kembali dan memperluasnya. Usman menambah perluasan
Masjid itu besar-besaran, namun tidak
hanya menahbah perluasannya seperti yang dilakukan oleh khalifah Umar,
melainkan ia mengadakan pembaharauan dalam bangunan itu sesuai dengan
kecenderungan aspirasinya.
Bahkan seluruh dindingnya dibuat dari batu yang diukir dan
tiang-tiangnya dari batu yang dipahat dan mengisinya dengan batang besi, dicor
dengan timah serta bagian luarnya diukir dan langit-langitnya dibuat dari kayu
yang bermutu tinggi. Dengan demikian berarti bangunan masjid tersebut dibangun
dari dasarnya kembali seperti kita bangun sebuah masjid yang baru.[17]
b). Perluasan wilayah Islam
Perlu diketahui bahwa setelah Khalifah
Umar RA wafat
ada beberapa daerah yang membelot terhadap pemerintahan Islam. Sebagaimana yang
di lakukan oleh Yazdigard yang berusaha menghasut kembali masyarakat Persia
agar melakukan perlawanan terhadap penguasa Islam, akan tetapi pemerintah Islam
berhasil memusnahkan gerakan pemberontakan sekaligus melanjutkan perluasan ke
negeri – negeri Persi lainnya, sehingga beberapa kota besar seperti Hisraf,
Kabul, Turkistan jatuh pada kekuasaan Islam. Juga terdapat daerah lain yang
membelot dari pemerintahan Islam, seperti Khurosan dan Iskandaria, adapun
Iskandaria bermula dari kedatangan kaisar Konstan II dari Roma Timur atau
Bizantium yang menyerang Iskandaria dengan mendadak, sehingga pasukan Islam
tidak dapat menguasai serangan . Panglima Abdullah bin Abi Sarrah yang menjadi
wali di daerah tersebut meminta pada kholifah Utsman untuk mengangkat kembali
panglima ‘Amru bin ‘ash yang telah di berhentikan untuk menangani masalah di
Iskandaria. Dan permohonan tersebut di kabulkan, selain itu ,kholifah Usman bin
Affan juga mengutus Salman Rabi’ah al-Baini untuk berdakwah ke Armenia. Ia
berhasil mengajak kerjasama penduduk Armenia.
Perluasan Islam memasuki Tunisia (Afrika Utara) di pimpin
oleh Abdullah bin Sa’ad bin Abi Zarrah, yang mana Tunisia sudah lama sebelumnya
di kuasai Romawi. Tidak hanya itu saja pada saat Syiria bergubernurkan
Mu’awiyah, ia berhasil menguasai Asia kecil dan Cyprus. Dimasa pemerintahan Usman,
negeri – negeri yang telah masuk ke dalam kekuasaan Islam antara lain : Barqah,
Tripoli Barat, bagian selatan negeri Nubah, Armenia dan beberapa bagian
Thabaristan bahkan telah melampui sungai Jihun (Amu Daria), negeri Balkh
(Baktaria) Hara, Kabul, Gaznah di Turkistan.
c). Pembentukan Armada laut Islam
Pembangunan angkatan laut bermula dari adanya rencana
khalifah usman bin affan untuk mengirim pasukan ke Afrika, Mesir, Cyprus. Untuk
sampai ke daerah tersebut harus melalui lautan. Pada saat itu, Muawiyah,
gubernur di Syiria harus menghadapi serangan angkatan laut Romawi di daerah
pesisir provinsinya. Untuk itu, ia mengajukan permohonan kepada khalifah Usman
untuk membangun angkatan laut dan di kabulkan oleh khlifah. Itulah pembangunan
armada yang pertama dalam sejarah Dunia Islam. Selain itu, keberangkatan
pasukan ke Cyprus yang melalui lautan, juga ummat Islam agar membangun armada
angkatan laut. Pada saat itu pasukan di pimpin oleh Abdullah bin Qusay al–Harisi
yang di tunjuk sebagai Amirul Bahr atau panglima angkatan laut. Di samping itu,
serangan yang di lakukan oleh bangsa Romawi ke Mesir melalui laut, juga memaksa
ummat Islam agar segera mendirikan angkatan laut. Bahkan pada tahun 646 M,
bangsa Romawi telah menduduki Alexandria dengan penyerangan dari laut. Atas
perintah khalifah Usman, Amr bin Ash dapat mengalahkan bala tentara bangsa
Romawi dengan armada laut yang besar pada tahun 651 M di Mesir.
d). Kodifikasi al-Qur’an
Pemerintahan Islam semakin meluas, beberapa negara telah di
taklukkan dan para Qari’ pun tersebar di berbagai daerah, sehingga perbedaan
bacaan pun terjadi yang di akibatkan berbedanya qira’at dari qari’ yang sampai
pada mereka. Sebagian kaum muslimin tidak mempermasalahkan perbedaan tersebut,
karena perbedaan – perbedaan tersebut di sandarkan pada Rasul SAW. Sebagian
yang lain khawatir akan menimbulkan keraguan pada generasi berikutnya yang tidak
langsung bertemu Rasul SAW. Ketika terjadi peperangan di Armenia dan Azarbaijan
dengan penduduk Irak, Hudzaifah melihat banyak perbedaan dalam bacaan al-Qur’an.
Melihat hal tersebut beliau melaporkannya kepada khalifah Usman. Para sahabat
khawatir kalau perbedaan tersebut akan membawa perpecahan pada kaum muslimin.
Mereka sepakat menyalin lembaran pertama yang telah di lakukan oleh khalifah
Abu Bakar yang di simpan oleh istri Rasul SAW, sayyidah Hafshah RA. Dan
menyatukan umat Islam dengan satu bacaan.
Selanjutnya Khalifah ‘Usman mengirim surat pada Sayyidah
Hafsah agar mengirimkan lembaran–lembaran yang bertuliskan al–Qur’an, kemudian
Sayyidah Hafshah mengirimkannya kepada khalifah Usman. Khalifah Usman memerintahkan
para sahabat antara lain; Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’ad bin
al-‘Ash, dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam, untuk menyalin mushaf .
Khalifah Usman berpesan bila anda berbeda pendapat tentang hal al–Qur’an maka
tulislah dengan ucapan lisan Quraisy karena al–Qur’an diturunkan di Quraisy.
Setelah mereka menyalin ke dalam beberapa mushaf, khalifah Usman mengembalikan
lembaran mushaf asli kepada Sayyidah Hafshah. Selanjutnya ia menyebarkan mushaf
yang telah di salinnya ke seluruh daerah dan memerintahkan agar semua bentuk
lembaran mushaf yang lain di bakar. Mushaf ditulis sebanyak lima buah, empat
buah di kirimkan ke daerah – daerah Islam supaya disalin kembali, satu buah di
simpan di Madinah untuk Khalifah Usman sendiri dan mushaf ini di sebut mushaf
al-Imam atau mushaf Usmani.
Dengan demikian dapat di simpulkan bahwa motif pengumpulan
mushaf oleh Khalifah Abu Bakar dan khalifah Usman bin affan berbeda.
Pengumpulan mushaf yang di lakukan oleh Khalifah Abu Bakar dikarenakan adanya
kekhawatiran akan hilangnya al–Qur’an karena banyak huffadz yang meninggal pada
peperangan, sedangkan motif pengumpulan mushaf oleh Khalifah Usman dikarenakan
banyaknya perbedaan bacaan yang di khawatirkan timbulnya perpecahan.
B.
NEPOTISME USMAN BIN AFFAN DAN FITNAH AL-QUBRA
1.
Nepotisme
Usman bin Affan
Pada masa awal pemerintahan Usman bin Affan menuai berbagai
keberhasilan dan kejayaan, yang ditandai dengan perluasan wilayah kekuasaan
Islam, pengukuhan angkatan laut pertama tentara Islam, penyeragaman penulisan
al-Qur’an, namun pada masa-masa akhir pemeritahannya timbul kritikan dan protes
rakyat, terutama di daerah Kuffah, Basrah dan Mesir. Mereka menilai bahwa Usman
bin Affan telah melakukan “Nepotisme”.
Mereka berkata bahwa Dia menguntungkan sanak familinya Bani Umaiyah,
dengan jabatan-jabatan tertinggi dan harta kekayaan. Mereka menuduh
gubernur-gubernur Umaiyah tidak efisien, suka menindas dan menyalahgunakan
Harta Baitul Mal.[18]
Kelemahan dan nepotisme (hal memberikan pekerjaan kepada anggota
keluarganya) telah membawa khalifah ke puncak kebencian rakyat, yang pada waktu
kemudian meletus menjadi pertikaian yang mengerikan dikalangan ummat Islam.[19]
Khalifah Usman juga mengangkat Marwan bin Hakam sebagai sekretaris
utamanya, mengangkat Walid bin Aqba sebagai gubernur Kuffah, Mu’awiyah sebagai
gubernur Syiria, Abdullan bin Abu Sarah (saudara sepupunya) sebagai gubernur
Mesir dan masih banyak lagi yang lain diturunkan dari jabatannya.[20]
Adapun
daftar keluarga Usman dalam pemerintahan yang dimaksud sebagi alasan motif
nepotisme tersebut adalah sebagai berikut :
Muawiyah
Bin Abu Sufyan yang menjabat sebagi gubernur Syam, Beliau termasuk Shahabat
Nabi, keluarga dekat dan satu suku dengan Utsman. Pimpinan Basyrah, Abu Musa Al
Asy’ari, diganti oleh Utsman dengan Abdullah bin Amir, sepupu Utsman. Pimpinan
Kuffah, Sa’ad Bin Abu Waqqash, diganti dengan Walid Bin ‘Uqbah, saudara tiri
Utsman. Lantas Walid ternyata kurang mampu menjalankan syariat Islam dengan
baik akibat minum-minuman keras, maka diganti oleh Sa’id Bin ‘Ash. Sa’id
sendiri merupakan saudara sepupu Utsman. Pemimpin Mesir, Amr Bin ‘Ash, diganti
dengan Abdullah Bin Sa’ad Bin Abu Sarah, yang masih merupakan saudara seangkat
(dalam sumber lain saudara sepersusuan, atau bahkan saudara sepupu) Usman. Marwan
Bin Hakam, sepupu sekaligus ipar Utsman, diangkat menjadi sekretaris Negara. Khalifah
dituduh sebagai koruptor dan nepotis dalam kasus pemberian
dana khumus (seperlima harta dari rampasan perang) kepada Abdullah Bin
Sa’ad Bin Abu Sarah, kepada Marwan bin Al Hakkam, dan kepada Al Harits Bin Al
Hakam.
Khalifah Usman juga dituduh terlalu boros mengeluarkan belanja
dari Baitul Mal dan kebanyakan diberikan kepada sanak familinya, sehingga
hampir semuanya menjadi orang yang kaya raya.[21]
Padahal Khalifah Usman sebelum dan sesudah masuk Islam merupakan salah seorang
yang terkaya, dan bahkan Dia sama sekali tidak mengambil uang yang menjadi
haknya dari Baitulmal.[22]
Sebenarnya kebijakan-kebijakan pemerintahan Usman bin Affan lebih
banyak dikendalikan oleh Marwah bin Hakam, sehingga Usman dituduh menganut
politik nepotisme dan pilih kasih, sehingga hal ini dibesar-besarkan oleh
tukang fitnah yang rakus akan kekuasaan dan kedudukan serta keinginan untuk
memecah belah kesatuan umat Muslimin, Abdullah bin Saba yang berkeliling di
berbagai kota untuk menaburkan keraguan aqidah, mengecam Khalifah Usman dan
gubenurnya, serta mengajak semua orang untuk menurungkan Usman dan
menggatikannya dengan Ali bin Abi Thalib sebagai usaha menaburkan bibit fitnah
dan perpecahan.[23]
Rasa tidak puas terhadap Khalifah Usman menjalar dan seketika segala
kritik terhambur kepada Usman dengan kedatang orang-orang dari Mesir dibantu
oleh orang-orang dari Kuffah dan Basrah dengan tujuan yang sama memaksa
khalifah untuk melepaskan jabatannya. Mereka masing-masing mendatangi Ali,
Thalhah dan Zubair dan ketiganya menolak menurunkan khalifah, dan sepikiran
hendak memperbaiki perbuatan-perbuatan Usman yang dianggap keliru, dan Ali bin
Abi Thalib sebagai moderator khalifah menyampaikan kepada mereka bahwa
tuntutannya yaitu mencopot para gubernur dan Marwan bin Hakam dari jabatannya
diterima oleh Khalifah, dan mereka diminta untuk kembali kedaerahnya
masing-masing.[24]
Tidak lama kemudian mereka kembali dari perjalanannya setelah
ditengah perjalanan mereka mencegat seseorang pembantu khusus Khalifah yang membawa
surat berstempel khalifah yang berisi perintah terhadap gubernur Mesir agar
pembunuh mereka sesampainya mereka di Mesir.[25] Mereka kembali dengan tekad
membunuh Khalifah Usman karena menurut prasangka mereka, Khalifah Usman telah mempermainkan
mereka. Setibanya di Madinah, mereka menuntut pertanggung jawabannya atas surat
tersebut di atas.[26]
Para pemberontakan melakukan pengepungan atas rumah Khalifah Usman
bin Affan dan menuntut satu di antara dua hal :
Marwan bin Hakam dihukum qisas Khalifah Usman melepaskan
jabatannya sebagai khalifah.
Kedua tuntutan di atas ditolak oleh Khalifah Usman dengan alasan :
Marwah bin Hakam baru berencana membunuh, dan belum benar - benar membunuh.
Berdasarkan sabda Rasulullah SAW kepada mereka, ”Bahwasanya engkau Usman akan
mengenakan baju kebesaran. Apabila engkau telah mengenakan baju itu, janganlah
engkau lepaskan”.[27]
Sikap Usman di dalam peristiwa - peristiwa yang dihadapi termasuk
pengepungan pemberontak tidak bergeming sedikitpun untuk menyerahkan otoritas
kepemimpinan, namum juga tidak berinisiatif untuk melakukan tindakan refressif
sebab itu bukan watak Usman. Bisa saja Usman mempertahankan dan menyelamatkan
dirinya sendiri, namun Usman menginginkan persatuan umat tetap terjaga tanpa
pertumpahan darah antara sesama kaum muslimin meski nyawa khalifah sendiri
menjadi taruhannya.[28]
Sikap seperti di atas, Dia meminta para sahabat yang bersamanya
agar tidak memerangi kaum pemberontak. Sehingga kepungan dan desakan semakin
hebat, apalagi setelah mendengar berita bahwa ribuan pasukan bantuan akan
segera tiba di Madinah untuk melepaskan Usman dari pengepungan. Hal ini membuat
keadaan semakin tak terkendali dan pasukan pemberontak kian menguasai keadaan
akhirnya tragedi berdarah yang sangat memilukan dalam sejarah Islam pun tidak
dapat dielakan. Dia dibunuh oleh Muhammad bin Abu Bakar selaku kepala
pemberontak dan al-Ghifari ketika sedang membaca al-Qur’an pada waktu subuh
tepatnya terjadi pada tanggal 17 Juni 651 M / 35 H dalam usia 84 tahun.[29]
Pembunuhan Khalifah Usman bin Affan bukanlah tujuan utama dari
rentetan-rentetan pengepungan para pemberontak. Oleh sebab pembunuhan itu
merupakan tujuan utamanya, tentu fitnah akan berhenti dan stabilitas negara
akan pulih kembali dengan terbunuhnya Usman dan setelah pengganti Usman ke
tahta khalifah. Para penyebar fitnah itu sebetulnya mempunyai tujuan yang lebih
berbahaya ketimbang hal-hal di atas, yaitu meruntuhkan fondasi Islam agar umat
Islam berpaling dari ajaran - ajarannya serta menebarkan perselisihan dan
perpecahan di tengah-tengah umat Islam.[30]
Demikian khalifah Usman bin Affan yang dikenal jujur, pemalu,
sederhana, dermawan, lemah lembut, usianya yang sudah lanjut, dan perhatiannya
terhadap rakyat dimanfaatkan oleh musuh maupun kerabatnya demi kepentingan
pribadi maupun golongan.
2.
Fitnah
Al-Qubra
Sebab
- sebab terjadinya pemberontakan yang berakhir dengan terbunuhnya Khalifah
Usman dapat diteliti dari beberapa segi.
Pertama,
bahwa di tengah-tengah masyarakat terdapat sejumlah kelompok yang memeluk Islam
tidak dengan sepenuh kesadaran tetapi melainkan untuk kepentingan tertentu
seperti Abudullah ibn Saba’, orang Yaman yang semula pemeluk agama Yahudi.
Mereka ini menyebarkan hasutan terhadap Usman. Keberhasilan propaganda jahat
Abdullah ibn Saba’ membuat jumlah kekuatan pemberontak bertambah banyak.
Kedua,
persaingan dan permusuhan antara keluarga Hasyim dan keluarga Umaiyah turut
memperlemah kekuatan Usman. Sebelum Nabi Muhammad lahir telah berlangsung
persaingan kedua keturunan yang masih bersaudari ini. Pada masa pemerintahan
Usman benih kebencian ini tumbuh kembali.
Ketiga,
lemahnya karakter kepemimpinan Usman turut pula menyokongnya, khususnya dalam
menghadapi gejolak pemberontakan. Bahwa Usman adalah pribadi yang sederhana dan
sikap lemah lembut sangat tidak sesuai dalam urusan politik dan pemerinthan,
lebih-lebih lagi dalam kondisi yang kritis. Pada kondisi yang demikian
dibutuhkan sikap yang tegas untuk menegakkan stabilitas pemerintahan. Sikap seperti
ini tidak dimiliki oleh Usman. Pada beberapa kasus ia terlalu mudah untuk
memaafkan orang lain sekalipun musuhnya sendiri yang membahayakan. Sikap
lemah-lembut ini mendorong pihak-pihak yang bermaksud jahat melancarkan
maksudnya.
3.
Kematian Khalifah Usman Bin Affan
Seketika
segala kritik telah terhambur datang dari orang dari Mesir Kufah dan Bashrah.
Ketiga golongan tersebut menginginkan perubahan amir di setiap wilayahya,
bahkan ada yang berkeinginan untuk mengganti khalifah Usman kepada Ali bin Abi
Thalib.
Figur
yang muncul untuk bersebrangan dengan Usman adalah Ammar bin Yasir. Menurut
Ibnu Qutaibah dan yang lain - lain, sejumlah sahabat berkumpul dan memutuskan
untuk memberitahu Usman tentang kesalahan-kesalahannya melalui surat. Setalah
surat itu ditulis, Nampak Ammar yang menyerahkannya kepada Usman. Tetapi Usman
menolak surat itu. Setelah itu, Ammar berkata padanya, “surat ini ditulis oleh
sejumlah sahabat sebagai sebuah nmasihat bagimu”. Usman menjawab, “hai anak
bani umaiyah! Kau tengah berbohong”. Setelah itu Usman memerintahkan agar ia
diusir keluar rumahnya sambil dipukuli.[31]
Orang - orang
Mesir meminta khalifah supaya mengganti wali di Mesir dengan Muhammad bin Abu
Bakar. Mereka telah muak dengan apa yang dilakukan Abdullah in Sarah sebagai
amir. Setelah itu sekitar 700 orang Mesir yang dipimpin Muhammad bin Abu Bakar
datang menuju madinah. Namun, di tengah perjalanannya, mereka bertemu dengan
seorang budak yang mengaku sebagai pelayan khalifah Usman bin Affan. Dia
membawa sepucuk surat yang ditujukan kepada amir Mesir yang isinya adalah untuk
membunuh Muhammad bin Abu Bakar. Seketika itu, Muhammad bin Abu Bakar merasa
harga dirinya telah diinjak, muncullah ambisi untuk menghabisi khalifah Usman
bersama kelompok-kelompoknya.[32]
Sesampainya
di Madinah, mereka meminta pertanggung jawaban khalifah atas surat tersebut.
Khalifah Usman mengelak bahwa surat itu atas namanya, akan tetapi hal itu
adalah fitnah belaka. Para pemberotak menginginkan untuk mengeluarkan juru
tulis khalifah yaitu Marwan bin Hakam utuk diminta pertanggung jawabannya,
namun tuntutan itu tidak dipenuhi oleh khalifah, khawatir dia dibunuh oleh
pemberontak. Hal ini yang memicu kemarahan pemberontak, seakan-akan khalifah
Usman sendiri berperan terhadap surat tersebut. Sedangkan Ali bin Abi Talib
ingin menyelesaikan persoalan tersebut dengan jalan damai.[33]
Para
pemberontak tersebut semakin panas terhadap sikap khalifah, mereka menginginkan
agar membunuh khalifah, sebab cara ini adalah yang paling baik menurut mereka.
Tibalah pada malam tersebut peristiwa kelam dalam sejarah umat Islam. Khalifah
Usman telah terbunuh di tangan pemberontak. Beliau terbunuh dalam keadaan
membaca al-Qur’an. Dikatakan bahwa yang membunuh adalah kelompok Muhammad bin
Abu Bakar.[34]
Bala
bantuan yang dikirimkan pada pembesar sahabat, yaitu Ali bin Abi Thalib,
Thalhah, Zubair terlambat. Meski begitu bantuan tersebut seakan tiada gunanya,
karena para pemberontak telah mengepung kediaman khalifah.
Riwayat
yang kelam ini terjadi pada tahun 35 H, yakni setelah 11 tahu lamannya beliau
memerintah, beliau meninggal dalam usia 81 tahun.[35]
Dengan
sikapnya karakter Usman yang seperti itulah akhirnya pada tanggal 17 Juni 656 M
Usman dibunuh dengan cara ditikam oleh gerombolan pemberontak yang tiba - tiba
datang mengepung rumah khalifah Usman pada saat ketika beliau sedang membaca al-Quran.
Pembunuhan yang bermotif politik atas diri Khalifah Usman membawa dampak yang
panjang terhadap sejarah Islam sesudahnya.
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
1. Usman
bin Affan dituduh nepotisme oleh karena telah memberI keistimewaan-keistimewaan
kepada keluarganya yang menurut sahabat yang lain telah melanggar aturan
pemerintahan, oleh karena banyak sahabat yang lebih pantas dari pada yang
diangkat oleh khalifah. Khalifah telah menyalahi bait bahwa dia akan mengikuti
sunnah Rasul, Abu Bakar maupun Umar bin Khattab karena telah melenceng dari dua
khalifah sebelumnya.
2. Pemberontakan
terhadap Usman terjadi oleh banyak faktor yang melatar belakanginya, namun
puncak dari pemberontakan itu terjadi ketika ada surat yang di duga ditulis
oleh Usman untuk membunuh Muhammad bin Abu Bakar, yang ternyata yang menjadi
pelaku adalah Marwan, namun kekecewaan itu bertambah lagi ketika para sahabat
meminta kepada khalifah untuk menyerahkan Marwan tapi tidak dipenuhi oleh
khalifah.
3. Indikator
yang kuat tentang pembunuhan Usman adalah karena ada rekayasa terhadap diri
beliau untuk menjatuhkan kekhalifahannya, dan itu menjadi sangat jelas ketika
dilihat setelah wafatnya beliau di mana Muawiyah menjadikan itu sebagai alasan
untuk menuntut darah pembunuh khalifah, namun setelah dia jadi khalifah
persoalan siapa pembunuhnya itu tidak dipermasalahkan.
B.
SARAN
Sejarah memang peristiwa masa lalu, tetapi ia adalah cermin dalam
konteks kekinian. Oleh karena itu kajian dan telaah sejarah harus di pahami
dalam konteksnya agar tidak terjebak pada asumsi yang menyimpang dari konteks
sejarah itu sendiri.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Abubakar
Aceh. Sejarah Al Quran. Cetakan Keenam. (Ramadhani, Surakarta,
1989).
2.
Abu A’la Al Maududi.Khilafah
dan Kerajaan. Terj. Al Baqir. (Mizan, Bandung, 1984).
3.
A.Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam I, (Cet 4, Jakarta, PT.Al-husna Zikra,
2000).
4.
Ahmad al-Usairy, al-Tharikh al-Islamy, diterjemahkan oleh
Samson Rahman dengan judul Sejarah Islam
Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX. (Cet. I Jakarta, Akbar Media Eka
Sarana, 2003).
5.
Ali Mufrodi, Islam Dikawasan Kebudayaan Arab, (Cet I, Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1997).
6.
As-Suyuthi, ”Tarikh Khulafa’”,terj.
Samson Rahman, (Pustaka Al-Kautsar, Jakarta Timur, 2009).
7.
Hamka, Syarah Umat
Islam, (Cet. I, Singapura, Pustaka Nasional PT LTD, 1994).
8.
Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam (Sebuah Ringkasan), (Cet.I, Bandung,
Pustaka Bani Quraisy, 2004).
9.
K..Ali,
Sejarah Islam Tarikh Pramodern,
(Cet.4, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003).
10. Katsir, Ibnu, “Ringksan Al-Bidayah wa An-Nihayah”, terj. Al-Ghani,
Abdur Razak (Ikapi : Jakarta, 2009).
11.
Latif Osman. Ringkasan Sejarah Islam. Cetakan XXIX. (Penerbit Widjaya,
Jakarta, 1992).
12.
M.Abdul Karim. Sejarah Pemikiran dan Peradaban
Islam. (Pustaka Book
Publisher, Yogyakarta, 2007).
13. Muhammad
Husain Haekal, Usman bin Affan, (Cet.
V; Bogor: Pustaka litera Antarnusa, 2007).
14. Misri
A.Muchsin, Dinamika Sejarah Politik Islam
Dalam Periode Awal, (Cet I, Yokyakarta, Ar-Raniry Press IAIN Ar-Raniry
Darussalam Banda Aceh, 2007).
15. Mahyuddin Ibrahim, Nasehat 125 Ulama Besar (Cet. IV, Bandung,
Darul Ulum Press, 1993).
1 16. Muhammad Mahzum, Tahqiq Mawaqif ash-Shabah fi al-Fitnah,
diterjemahkan oleh Rosihan Anwar, dengan judul Studi Kritis Peristiwa Tahkim (Cet. I, Bandung, Pustaka Setia,
1994).
17. Philip K Hitti, History Of The Arabs, ( Jakarta: PT
Serambi Ilmu Semesta, 2010).
18. Rasul
Ja’fariyan, Sejarah Khilafah 11-35 H,
Judul Asli The History Of Caliphs, (Cet I, Al-Huda, 2006).
19. Syed Mahmudunnasir, it’s
concepts & History, diterjemahkan oleh Adang Afandi dengan judul Islam
dan Konsepsi Sejarahnya (Cet. IV bandung, Remaja Rosda Karya, 1994).
[2]
M.Abdul
Karim. Sejarah Pemikiran dan Peradaban
Islam. (Pustaka Book Publisher,
Yogyakarta, 2007). hlm.89.
[3]
A. Latif
Osman. Ringkasan Sejarah
Islam. Cetakan XXIX. (Penerbit
Widjaya, Jakarta, 1992). hlm. 67.
[4]
Abu A’la
Al Maududi, Khilafah dan Kerajaan. Terj. Al Baqir. (Mizan, Bandung, 1984).
hlm.120-130.
[5]
. A. Latif Osman… hlm.67.
[6] A.Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam I, (Cet 4, Jakarta, PT.Al-husna Zikra,
2000) hlm.266.
[7]
K.Ali, Sejarah Islam
Tarikh Pramodern, (Cet.4, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003) hal.178.
[8]
A.Syalabi… hlm.266.
[11] Muhammad Husain Haekal, Usman bin Affan, (Cet. V; Bogor: Pustaka
litera Antarnusa, 2007), hlm.40.
[12]
Muhammad Husain Haekal … hlm.41.
[13] Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam (Sebuah Ringkasan),
(Cet.I, Bandung, Pustaka Bani Quraisy, 2004). hlm.78.
[14] Katsir,
Ibnu, “Ringksan
Al-Bidayah wa An-Nihayah”, terj. Al-Ghani, Abdur Razak (Ikapi :
Jakarta, 2009), hlm.314.
[15]
Katsir,
Ibnu… hlm.323.
[17] Misri A.Muchsin, Dinamika Sejarah Politik Islam Dalam Periode
Awal, (Cet I, Yokyakarta, Ar-Raniry Press IAIN Ar-Raniry Darussalam Banda
Aceh, 2007). Hlm.63-64.
[18]
Syed
Mahmudunnasir, it’s concepts & History,
diterjemahkan oleh Adang Afandi dengan judul Islam dan Konsepsi Sejarahnya
(Cet. IV bandung, Remaja Rosda Karya, 1994), hlm. 185.
[19] Ali Mufrodi, Islam Dikawasan Kebudayaan Arab, (Cet I,
Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997). hlm.61.
[21] Hamka,
Syarah Umat Islam, (Cet. I, Singapura, Pustaka Nasional PT LTD, 1994), hlm
226-227.
[22] Syed
Mahmudunnasir… hlm 189.
[23]
Ahmad
al-Usairy, al-Tharikh al-Islamy,
diterjemahkan oleh Samson Rahman dengan judul Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX. (Cet. I
Jakarta, Akbar Media Eka Sarana, 2003) hlm 165.
[24]
Hamka…
hlm.234.
[26]
Mahyuddin
Ibrahim, Nasehat 125 Ulama Besar (Cet. IV, Bandung, Darul Ulum Press, 1993),
hlm.35.
[27]
Mahyuddin
Ibrahim… hlm.36.
[28] Muhammad Mahzum, Tahqiq
Mawaqif ash-Shabah fi al-Fitnah, diterjemahkan oleh Rosihan Anwar, dengan
judul Studi Kritis Peristiwa Tahkim
(Cet. I, Bandung, Pustaka Setia, 1994) .hlm.143.
[29]
Syed Mahmudunnasir… hlm.192.
[30]
Muhammad Mahzum… hlm.143.
[31] Rasul Ja’fariyan, Sejarah Khilafah 11-35 H, Judul Asli The
History Of Caliphs, (Cet I, Al-Huda, 2006). hlm.229.
[32]
As-Suyuthi, ”Tarikh Khulafa’”,terj.
Samson Rahman, (Pustaka Al-Kautsar, Jakarta Timur, 2009). hlm184.
[33]
Ali Mufrodi… hlm.63.
[34]
As-Suyuthi…
hlm.186.
[35]
Hamka…
hlm.60.