class='date-header'>Rabu, 09 November 2016

KONSEP MUKMIN DAN KAFIR DALAM ILMU KALAM

KONSEP MUKMIN DAN KAFIR DALAM ILMU KALAM
OLEH: YUSWADI

BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Pertempuran Siffin antara Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyyah, yang akhirnya tentara Ali dapat mendesak tentara Mu’awiyah sehingga yang tersebut terakhir bersedia untuk lari.‘Amr ibn al-‘As yang terkenal sebagai orang licik, minta berdamai dengan mengangkat al-Qur’an ke atas. Pihak Ali diwakili oleh Abu Musa al-Asy’ari. Pihak Ali kalah setelah mengadakan arbitrase. Sebagian tentara Ali, mereka berpendapat bahwa hal serupa itu tidak dapat diputuskan oleh arbitrase manusia, tetapi harus datang dari Allah dengan kembali kepada hukum-hukum yang ada dalam al-Qur’an.
Golongan yang memisahkan diri atau meninggalkan Ali bin Abi Thalib disebut golongan Khawarij, karena mereka memandang Ali bersalah dan berdosa besar. Ali sekarang menghadapi dua musuh, yaitu golongan Mu’awiyah dan golongan Khawarij. Persoalan-persoalan yang terjadi dalam dunia politik itu akhirnya membawa kepada persoalan teologi. Dengan menekankan kepentingan sejarah terhadap masalah “kepercayaan” iman, Ibnu Taymiyyah, teolog dari Mazhab Hanbali, menyatakan bahwa penelitian atas dua makna kata tersebut merupakan penelitian intern pertama yang terjadi diantara orang-orang Islam, karena masalah inilah maka masyarakat muslim terpecah ke dalam beberapa selok dan golongan, yang berbeda-beda dalam (menafsirkan) kitab suci dan sunnah sehingga satu sama lain saling menyebut kafir. Dan kelompok yang mula-mula masuk ke gelanggang ini adalah kelompok kharijiyyah atau Khawarij. Maka timbullah persoalan siapakah yang mukmin dan siapa yang kafir? Antara golongan yang satu dengan yang lainnya saling kafir mengkafirkan.
Dari persoalan di atas menimbulkan beberapa aliran teologi dalam Islam. Mulai dari aliran Khawarij, Murji’ah dan Mu’tazilah dan masih ada lagi yang lainnya seperti Jabariyah dan Qodariyah. Antara aliran teologi yang satu dengan yang lainnya sangatlah berbeda tentang pandangan mereka terhadap konsep iman dan kufur. Dalam makalah ini penulis akan mencoba mendeskripsikan atau menggambarkan dan memaparkan tentang konsep iman dan kufur adalah dua hal yang saling berkebalikan. Bila iman diartikan sebagai percaya, maka kufur diartikan tidak percaya atau bisa diartikan tertutup. Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
B.Rumusan masalah
1.ApaPengertian Ilmu Kalam
2.ApaPengertian Iman dan Kufur
3.Apa Konsep Mukmin dan Kafir
C.Manfaat
1.Untuk mengetahui Pengertian Ilmu Kalam
2.Untuk mengetahui Pengertian Iman dan Kufur
3.Untuk mengetahui Konsep Mukmin dan Kafir
   
BAB II
1.    Pengertian Ilmu Kalam
Secara Etimologi, kalam berarti pembicaraan, yakni pembicaraan yang bernalar dengan menggunakan logika. Karena itulah, ciri utama dari ilmu kalam adalah rasionalitas atau logika.Kata kalam mulana dimaksudkan sebagai terjemah dari logos dari bahasa Yunani yang berarti pembicaraan.
-        Menurut Ibnu Khaldun (w. 806 H/1406 M), ilmu Kalam didefinisikan sebagai “Ilmu yang mengandung perdebatan tentang akidah keimanan dengan dalil-dalil rasional, dan penolakan terhadap ahli bid’ah yang menyeleweng dari faham salaf dan ahlussunnah” [1] Munculnya terminologi Kalam ini, menurut al-Ghazali dalam kitabnya Al-Munqidz, dipandang berawal dari para pemikir ilmu tauhid yang mula-mula berpegang pada ayat-ayat al-Qur’an, lalu dengan hadits-hadits Nabi Muhammad SAW, kemudian dengan dalil-dalil rasional dan argumen-argumen silogisme dari logika filsafat seperti jauhar (substansi) dan ‘aradh (aksiden) tetapi tidak dengan pengertian semula. Para pemikir tersebut banyak berbicara tentang argumen-argumen rasional disekitar obyek-obyek material ilmu tauhid, karena itulah mereka di sebut Mutakallimun (orang-orang yang banyak berbicara). Dari sinilah lahir istilah kalam dalam ilmu tauhid,[2] Bagi al-Ghazali, ilmu Kalam tidaklah identik dengan ilmu Tauhid. Karena itulah di dalam Ihya’ nya, al-Ghazali menyesalkan adanya pergeseran istilah dari tauhid kepada Kalam. Tauhid yang berarti mengesakan Allah, merupakan inti aqidah Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Sedangkan kalam, yang berarti perkataan, hanya merupakan cara yang banyak dipergunakan dalam membahas masalah-masalah akidah. Proses pergeseran terminologi ini bermula dari adanya sekelompok ahli dialektik dibidang akidah yang mengaku sebagi ahl al-‘Adl wa al-Tauhid (pendukung keadilan dan ke-esa-an Tuhan) sehingga mereka yang disebut sebagai Mutakallimun (ahli kalam) itu juga dianggap sebagai ulama’ tauhid. Padahal isi doktrin tauhid yang dibawa oleh Nabi Muhammad dan dihayati oleh umat periode pertama (salaf) sama sekali berbeda dari pengertian kalam yang sudah diidentikkan dengan tauhid itu, malahan kalau dalam pengertian sebagai pembahasan masalah-masalah akidah dengan cara dialektis rasional merupakan suatu bentuk yang tidak dikenal, bahkan bibit pertumbuhan yang menjurus ke sana sudah ditentang oleh umat Islam periode pertama.[3] Pengertian tauhid yang dipahami umat Islam pada periode pertama tidak tertampung sepenuhnya dalam fungsi ilmu kalam. Ilmu tauhid memiliki pengertian yang jauh lebih luas daripada hanya sekedar ilmu kalam.
-        Menurut Muhammad Abduh, ilmu kalam ialah ilmu yang membahas tentang wujud Allah, sifat-sifat wajib yang ada bagi-Nya, sifat-sifat jaiz yang sifatkan bagi-Nya, dan sifat-sifat yang tidak ada bagi-Nya. Ilmu kalam juga membahas tentang rasul-rasul Allah untuk menetapkan kebenaran risalahnya, apa yang wajib ada pada dirinya, hal-hal yang jaiz yang dihubungkan kepada diri mereka.
-        Menurut Al-Farabi, ilmu kalam ialah ilmu yang membahas zat dan sifat Allah beserta eksistensi semua yang mungkin, mulai yang berkenaan dengan masalah dunia sampai masalah sesudah mati yang berlandaskan doktrin Islam.
-        Menurut Al-Ghazali ilmu kalam tidak indentik dengan ilmu tauhid, tetapi hanya sebahagian daripadanya. Dalam al-Risalah al-Ladunniyah (Risalah tentang ilmu laduni), al-Ghazali memasukkan ilmu tauhid sebagai salah satu dari dua macam ilmu syari’at yang berkenaan dengan pokok-pokok agama. Selanjutnya beliau menjelaskan objek material ilmu tauhid sebagai berikut terjemahannya :
Ilmu ini mebahas dzat Allah, sifat-sifat Allah yang eternal (al-Qadimah), yang aktif-kreatif (al-fi’liyyah), yang esensial (al-dzatiyyah), dengan nama-nama yang sudah dikenal. Juga membahas keadaan para nabi, para pemimpin ummat sesudahnya dan para sahabat, begitu pula membahas tentang keadaan mati dan hidup, keadaan dibangkitkan dari kubur (al-ba’ts), berkumpul di mahsyar, perhitungan amal dan melihat Tuhan.[4]
Dengan demikian, menurut al-Ghazali ada tiga objek material ilmu tauhid, yaitu Allah SWT dengan sifat-sifatnya, kenabian dengan segala kaitannya dan hari akhirat dengan segala kandungannya. Memang al-Ghazali menganggap ketiga objek material ilmu tauhid itulah yang merupakan pokok-pokok keimanan. Karena itu, konsepsi al-Ghazali, ilmu yang membahas pokok-pokok keimanan dalam islam ialah tauhid.
2.    Macam - Macam Ilmu Kalam
a.       Ilmu Tauhid, adalah ilmu yang membahas tentang wujud Allah, sifat-sifat Allah, mengupas dalil-dalil guna membuktikan adanya Zat yang mewujudkan, serta mengupas dalil-dalil sam'iyat guna mempercayai sesuatu dengan yakin, dinamakan ilmu tauhid karena :
Pokok bahasan utama ilmu ini menyangkut keesaan Allah.
Keyakinan akan keesaan Allah merupakan akidah paling asasi dan utama bagi setiap muslim.
b.      Ilmu Aqa'id, Aqa'id artinya simpulan atau buhul, yaitu kepercayaan yang tersimpul dalam hati, atau pandangan yang bersemayam dalam jiwa manusia dan diyakini kebenarannya sehingga tidak mudah dilepaskan.
c.       Ilmu Usuluddin, adalah ilmu yang membahas tentang prinsip-prinsip dasar agama dengan menggunakan dalil-dalil qat'iyyah dan logika. Dinamakan usuluddin karena menjadi objek bahasan utamanya adalah dasar-dasar agama yang merupakan masalah pokok dalam ajaran islam,.
3.    Fungsi Ilmu Kalam
Berikut beberapa fungsi ilmu kalam.:
a.       Menjaga kemurnian dasar-dasar agama dan memberikan dasar-dasar argumentasi yang kuat di hadapan para penentangnya.
b.      Memberikan arahan dan petunjuk kepada orang-orang yang membutuhkan nasihat, khususnya jika Islam bersinggungan dengan teologi agama lain dalam masyarakat yang heterogen.
c.       Menopang dan menguatkan sistem nilai ajaran Islam yang terdiri atas tiga pilar, yaitu: imam sebagai landasan akidah. Islam sebagai manifestasi syariat, ibadah dan muamalah. Serta ihsan sebagai aktualisasi akhlak.
d.      Menjadi pijakan bagi ilmu-ilmu syariah.
e.       Menjaga kesucian niat dan keyakinan yang merupakan dasar dalam perbuatan untuk mencapai kebahagiaan dunia akhirat.
Al-Ghazali berpendirian bahwa kalam hanya bisa digunakan untuk menghadapi tantangan terhadap akidah yang telah dianut oleh umat Islam, menghadapi ahli-ahli bid’ah yang berusaha memalingkan umat dari akidah yang benar.
Kalam tidak dapat digunakan untuk menanamkan akidah yang benar kepada umat yang belum menganutnya, apalagi untuk menuntut orang agar bisa menghayatinya.[5] Bentuk-bentuk dialektik dengan dalil-dalil rasional seperti yang digambarkan dalam karya-karya kalam tidak bisa menanamkan akidah yang benar kepada anak-anak yang baru belajar ataupun orang-orang Islam yang sehari-harinya selalu disibukkan oleh kerja atau kehidupan mereka, karena mereka merasa berat untuk bisa menyerap segala argumen yang rasional dan filosofis itu. Begitu pula kepada orang-orang yang sudah menganut paham yang mau dibantah, bentuk dialektis tersebut juga tidak bermanfaat karena akan ditolak dengan dasar fanatisme golongan. [6] 
Meskipun demikian, al-Ghazali tetap mengakui pentingnya eksistensi dan tujuan ilmu kalam serta peranannya bagi masyarakat Islam, yakni membela kepercayaan relegius komunitas dengan menolak kesesatan bid’ah serta menghilangkan keraguan dan kerancuan berkenaan dengan kepercayaan itu. Dia bahkan memuji Mutakallimun dengan meng-gambarkan mereka sebagai orang-orang yang diberi ilham oleh tuhan untuk mem-perjuangkan ortodoksi dengan suatu diskusi sistematik kalam yang dirancang untuk menyingkap tipu muslihat yang diperkenalkan oleh para inovator [ahli bid’ah] yang bertentangan dengan ortodoksi tradisional.[7] Ilmu ini dapat dijadikan sebagai obat terakhir terhadap penyakit akidah yang di derita orang awam yang tak bisa lagi diobati dengan cara lain [8] walaupun hal ini tidaklah mencukupi untuk mengobati penyakit yang pernah ia derita.
4.    Sumber-Sumber Ilmu Kalam
Sunber-sumber ilmu kalam dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu dalil naqli ( al-Qur’an dan Hadits ) dan dalil aqli ( akal pemikiran manusia ).
Al-Qur’an dan Hadits merupakan sumber utama yang menerangkan tentang wujud Allah, sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya dan permasalahan aqidah Islamiyah dan lainnya. Para mutakallim tidak pernah lepas dari nash-nash al-Qur’an dan Hadits ketika berbicara masalah ketuhanan. Masing-masing kelompok dalam ilmu kalam mencoba memahami dan menafsirkan al-Qur’an dan Hadits lalu kemudian menjadikannya sebagai penguat argumentasi mereka.
Berikut ini adalah sumber-sumber ilmu kalam:
a.      Al-Qur’an
Sebagai sumber ilmu kalam, Al-Qur’an banyak menyinggung hal yang berkaitan dengan masalah ketuhanan, di antarannya adalah :
Q.S. Al-Ikhlas : 1-4. Ayat ini menunjukkan bahwa Allah Maha Esa.
Q.S. Asy-Syara : 7. Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan tidak menyerupai apapun di dunia ini. Ia Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.
Q.S. Al-Furqan : 59. Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan Yang Maha Penyayang bertahta di atas “Arsy. Ia pencipta langit,bumi, dan semua yang ada diantara keduannya.
Q.S.Al-Fath : 10. Ayat ini menunjukkan Tuhan mempunyai “tangan” yang selalu berada diatas tangan orang-orang yang melakukan sesuatu selama mereka berpegang teguh dengan janji Allah.
Q.S. Thaha : 39. Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan mempunyai “mata” yang selalu digunakan untuk memgawasi seluruh gerak, termasuk gerakan hati makhluk-Nya.
Ayat-ayat diatas berkaitan dengan dzat, sifat, asma, perbuatan,tuntunan, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan eksistensi Tuhan. Hanya saja, penjelasan rinciannya tidak ditemukan. Oleh sebab itu, para ahli berbeda pendapat dalam menginterpretasikan rinciannya. Pembicaraan tentang hal-hal yang berkaitan dengan ketuhanan disistematisasikan yang pada gilirannya menjadi sebuah ilmu yang dikenal dengan istilah ilmu kalam.
b.      Hadist
Masalah-masalah dalam ilmu kalam juga disinggung dalam banyak hadits, Diantarannya yaitu hadits yang menjelaskan tentang iman, islam, dan ihsan termasuk menyinggu ilmu kalam, salah satu di antaranya juga.
Adapula beberapa Hadits yang kemudian dipahami sebagian umat sebagai prediksi Nabi mengenai kemunculan berbagai golongan dalam ilmu kalam, diantaranya :
“Hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. Ia mengatakan bahwa Rasulullah bersabda, “ Orang-orang Yahudi akan terpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan.”
“Hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Umar. Ia mengatakan bahwa Rasulullah bersabda, “ Akan menimpa umatku yang pernah menimpa Bani Israil, Bani Israil telah terpecah belah menjadi 72 golongan dan umatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan. Semuanya akan masuk neraka, kecuali satu golongan saja, “ Siapa mereka itu, wahai Rasulullah?” tanya para sahabat. Rasulullah menjawab ‘mereka adalah yang mengikuti jejakku dan sahabat-sahabatku’.
Syaikh Abdul Qadir mengomentari bahwa Hadits yang berkaitan dengan masalah faksi umat ini, yang merupakan salah satu kajian ilmu kalam, mempunyai sanad sangat banyak. Diantara sanad yang sampai kepada Nabi adalah yang berasal dari berbagai sahabat, seperti Anas bin Malik, Abu Hurairah, Abu Ad-Darba, Jabir, Abu Said Al-Khudri, Abu Abi Kaab, Abdullah bin Amr bin Al-Ash, Abu Ummah, Watsilah bin Al-Aqsa.
Adapula pada riwayat yang hanya sampai kepada sahabat. Diantaranya adalah Hadits yang mengatakan bahwa umat islam akan terpecah belah kedalam beberapa golongan. Diantara golongan-golongan itu, hanya satu saja yang benar, sedangkan yang lainnya sesat.
a.      Pengertian iman
Dalam Al-Qur’an iman itu selalu berkaitan dengan amal perbuatan baik berupa pelaksanaan rukun-rukun Islam, akan menyebabkan manusia hidup berbahagia di dunia dan di akhiratnya.
Iman dari segi lughat, kata iman berarti : pembenaran ( التَّصـْدِ يـْقُ ) inilah makna yang dimaksud dengan kata ( مُؤْ مِنٌ ) dalam surat Yusuf 12, 17 yanga rtinya “Dan kamu sekali-kali tidak akan membenarkan kami (مُؤْ مِنٍ لَّـنَا ) walaupun kami orang-orang yang benar”. Dari ayat di atas, makna mukmin yakni orang yang membenarkan. Adapun makna iman dari segi istilah ialah pembenaran atau pengakuan hati dengan penuh yakin tanpa ragu-ragu akan segala apa yang di bawa oleh Nabi Muhammad SAW yang diketahui dengan jelas sebagai ajaran agama yang berasal dari wahyu Allah.[9] Iman adalah : Dalam sebuah hadist di definisikan :
“iman adalah meyakini dengan hati, menetapkan dengan lidah dan melaksanakan dengan anggota”. (H.R Al-Buqari)
Abuhanifah hanifa berpendapat bahwa iman adalah membenarkan, mengetahui (makrifah, yakin dan pengakuan (ikrar) dan islam. Dimaksudkan dengan islam dalam definisi tersebut, menurutnya, ialah menyerahkan diri dan menjalankan perintah Allah. Ditinjau dari segi bahasa memang terdapat perbedaan antara iman dan islam. Alkan tetapi iman tidak aka nada tanpa islam. Demikian juga sebaliknya, tidak akan ada islam tanpa ada iman keduanya bagaikan dua sisi yang tak dapat dipisahkan seperti lahir dan batin. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa agama  merupakan gabungan dari iman, islam dan syari’at secara keseluruhan.[10]
Firman Allah dalam surat An-Nisa’  ayat 136
“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasulnya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasulnya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikatnya, kitab-kitabnya, rasul-rasulnya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya”. (Q.S An-Nisa’  ayat 136).
Adapun pengertian kufur yang diambil dari Ensiklopedi Islam, yaitu : Al-Kufr (tertutup) atau tersembunyi, mengalami perluasan makna menjadi “ingkar” atau tidak percaya, ketidak percayaan kepada Tuhan. Kata kafir mengisyaratkan usaha keras untuk menolak bukti-bukti kebenaran Tuhan, yakni sebuah kehendak untuk mengingkari Tuhan, sengaja tidak mensyukuri kehidupan dan mengingkari wahyu.[11]
kufur menurut bahasa adalah menutup. Bila orang yang menyangkal dan musyrik disebut kafir karena orang itu menutupi dirinya dari nikmat Allah dan menutup jalan untuk mengenal Allah. Orang yang berdosa besar adalah kafir karena dia selalu menutupi dirinya dengan dosa.[12]
Agenda persoalan yang pertama timbul dalam teologi Islam masalah iman dan kufur. Persoalan itu muncul pertamakali oleh kaum Khawarij yang mengecap kafir sejumlah tokoh sahabat Nabi SAW, Yang dipandang telah melakukan dosa
besar, yaitu Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abu sufyan, Abu Musa Al-Asy’ari, Amr bin Al-Ash, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, dan Aisyah istri Rasulullah SAW.[13]
Adapun yang sebenarnya terjadi, yang jelas, kaum khawarij telah memisahkan diri dari kelompok Ali pada perang sifin, yakni peperangan antara penduduk syam yang sebagian besar merupakan pendukung Mu’awwiyah bin Abi Sufyan. Kaum Khawarij ini sangat besar akan tetapi kemudian menjadi Mazhab yang memiliki banyak pengikut; mereka mencampur adukkan antara masalah agama dan masalah Negara. Makanya tidak mengherankan jika mereka banyak berbicara tentang Agama, pokok-pokok dan cabangnya, pandangannya tentang kesetiaan terhadap Negara dan pemimpinnya atau bahkan sebaliknya.[14]
Aliran Khawarij merupakan Aliran teologi tertua yang merupakn Aliran pertama yang muncul dalam teologi Islam. Menurut ibnu Abi Bakar Ahmad Al-Syahrastani, bahwa yang disebut Khawarij adalah setiap orang yang keluar dari imam yang hak dan telah di sepakati para jema’ah, baik ia keluar pada masa sahabat khulafaur rasyidin, atau pada masa tabi’in secara baik-baik. Menurut bahasa nama khawarij ini berasal dari kata “kharaja” yang berarti keluar. Nama itu diberikan kepada mereka yang keluar dari barisan Ali.[15] Kelompok ini juga kadang kadang menyebut dirinya Syurah yang berarti “golongan yang mengorbankan dirinya untuk Allah di samping itu nama lain dari khawarij ini adalah Haruriyah, istilah ini berasal dari kata harura, nama suatu tempat dekat kufah, yang merupakan tempat mereka menumpahakan rasa penyesalannya kapada Ali bin abi Thalib yang mau berdamai dengan  Mu’awiyah.[16]
Kelompok khawarij ini merupakan bagian dari kelompok pendukung Ali yang memisahkan diri, dengan beralasan ketidak setujuan mereka  terhadap sikap Ali bin abi Thalib yang menerima tahkim (arbitrase) dalam upaya untuk menyelesaikan perselisihan dan konfliknya dengan mu’awiyah bin abi sofyan, gubernur syam, pada waktu perang siffin.
Latar belakang ketidak setujuan mereka itu, beralasan bahwa tahkim itu merupakan penyelesaian masalah yang tidak di dasarkan pada  ajaran Al-Qur’an, tapi ditentukan oleh manusia sendiri, dan orang yang tidak Memutuskan hukum dengan Al-Quran adalah kafir. Dengan demikian, orang yang  melakukan tahkim dan menerimanya adalah kafir.[17]
Atas dasar ini, kemudian golongan yang semula mendukung Ali ini selanjutnya berbalik  menentang dan memusuhi Ali beserta tiga orang tokoh pelaku tahkim lainnya yaitu Abu Musa Al-Asyari, Mu’awiyah bin Abi Sofyan dan Amr Bin Ash.Untuk itu mereka berusaha keras agar dapat membunuh ke empat tokoh ini, dan menurut fakta sejarah, hanya Ali yang berhasil terbunuh ditangan mereka.
Diantara doktrin golongan khawarij diantaranya :
1.      Khalifah atau Imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat Islam.
2.      Khalifah tidak harus berasal dari keturunan Arab. Dengan demikian setiap muslim berhak untuk di pilih apabila telah memenuhi syarat.
3.      Khalifah dipilih secara permanen selama yang bersangkutan bersikap adil dan tetap menjalankan syari`at Islam. Dan boleh dijatuhkan bila melakukan kezaliman.
4.      Khalifah sebelum Ali (Abu Bakar,Umar dan Usman) adalah sah sampai tahun ke tujuh.Tapi setelah itu dianggap menyeleweng.
5.      Khalifah Ali adalah sah ,tapi setelah Tahkim ia dianggap menyeleweng.
6.      Orang yang melakukan dosa besar di putuskan kafir dan kekal dalam neraka.
7.      Orang baik harus masuk surga dan orang yang jahat masuk neraka.
8.      Amar makruf nahi mungkar.
9.      Mentakwilkan ayat-ayat mutasyabihat.
10.  Al-Qur an adalah makhluk.
11.  Manusia bebas memutuskan perbutannya bukan dari Tuhan.
12.  Taqiyah boleh dalam perkataan tapi tidak dalam perbuatan.
1.      Almuhakkimah Adalah golongan khawarij asli dari pengikut-pengikut Ali. Bagi mereka Ali, Muawiyah, Amru Bin Ash, Musa Al `Asy `ariy dan semua yang menyetujui tahkim/arbitrase bersalah dan menjadi kafir. Semua pelaku dosa besar adalah kafir.
2.      Al-zariqah Khalifah pertama dari mereka adalah Nafi`ibn Al-Azraq.Sekte ini terkenal lebih radikal dari al-muhakkimah.
3.      Al-Najdah Khalifahnya adalah Najdah ibn Amir Al –Hanafi dari Yamamah.
4.      Al-Ajaridah Pemimpinnya adalah Abd Al-Karim Ibn Ajrad.
5.      Al-Sufriah Pemimpinnya adalah Ziad ibn Al-Asfar.
6.      Al Ibadah Golongan ini yang paling moderat dari yang lain.Pemimpinnya adalah Abdullah Ibn Ibad.
Menurut sub sekte murji’ah yang ekstrim adalah mereka yang berpandangan bahwa keimanan terletak di dalam kalbu/hati. Oleh karena itu, segala ucapan dan perbuatan seseorang yang menyimpang dari kaidah agama tidak berarti menggeser atau merusak keimanannya, bahkan keimanannya masih sempurna dalam pandangan Tuhan. Sementara yang dimaksud murji’ah moderat adalah mereka yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidaklah menjadi kafir. Meskipun disiksa di neraka, ia tidak kekal didalamnya bergantung pada dosa yang dilakukannya. Dalam menetapkan kafir dan dosa besar, kalau paham Khawarij mengatakan bahwa orang mukmin yang melakukan dosa besar dia sudah dianggap kafir, sedangkan paham murji’ah lebih bersikap positif. Artinya, sesuai dengan sebutan nama mereka arja’a, mereka lebih cenderung menyerahkan saja kepada Tuhan soal pelaku dosa besar.
Hal-hal yang melatar belakangi kehadiran murji’ah antara lain adalah :    
a.       Adanya perbedaan pendapat antara Syi’ah dan Khawarij, mengkafirkan pihak-pihak yang ingin merebut kekuasaan Ali dan mengakfirkan orang- yang terlihat dan menyetujui tahkim dalam perang siffin.
b.      Adanya pendapat yang menyalahkan Aisyah dan kawan-kawan yang menyebabkan terjadinya perang jamal.
c.       Adanya pendapat yang menyalahkan orang yang ingin merebut kekuasaan Usman bin Affan. 
Ajaran-ajaran pokok murji’ah
Ajaran-ajaran pokok murji’ah dapat disimpulkan sebagai berikut: .
a.       Iman hanya membenarkan (pengakuan) di dalam hati
b.      Orang Islam yang melakukan dosa besar tidak dihukumkan kafir. Muslim tersebut tetap mukmin selama ia mengakui dua kalimat syahadat.
c.       Hukum terhadap perbuatan manusia di tangguhkan hingga hari kiamat.[18]
Tokoh dan sekte dalam murji’ah
Dalam perkembangannya, Murji’ah mengalami berbagai perbedaan pendapat dikalangan pengikutnya yang mendasari lahirnya aliran-aliran, selanjutnya aliran murji’ah ini terpecah menjadi beberapa macam sekte, ada yang moderat, ada pula yang ekstrem.
Tokoh murji’ah Moderat antara lain adalah hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusuf dan beberapa ahli hadits, yang berpendapat bahwa bagaimanapun besarnya dosa seseorang kemungkinan mendapat ampunan dari Tuhan masih ada. Sedangkan yang ekstrem antara lain ialah kelompok Jahmiyah, pengikut Jaham bin Shafwan. Kelompok ini berpendapat, sekalipun seseorang menyatakan dirinya musyrik, orang itu tidak dihukum kafir.[19]
Menurut paham mu’tazilah Iman adalah tashdiq di dalam hati, ikrar dengan lisan dan dibuktikan dengan perbuatan konsep ini mengaitkan perbuatan manusia dengan iman, karena itu, keimanan seseorang ditentukan pula oleh amal perbuatannya. Konsep ini dianut pula olah Khawarij, menurut mereka iman adalah pelaksanaan kewajiban-kewajiban kepada Tuhan. Jadi, orang yang membenarkan (tashdiq) tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad rasulnya, tetapi tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban itu tidak dikatakan mukmin. Tegasnya iman adalah amal. Iman tidak berarti pasif, menerima apa yang dikatakan orang lain, iman mesti aktif karena akal mampu mengetahui kewajiban-kewajiban kepada Tuhan.
Kaum Mu’tazilah juga berpendapat bahwa orang mukmin yang mengerjakan dosa besar dan mati sebelum tobat, tidak lagi mukmin dan tidak pula kafir, tetapi dihukumi sebagai orang fasiq.
Aliran Mu’tazilah merupakan golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mandalam dan bersifat filosofis. Dalam pembahasannya mereka banyak memakai akal sehingga mendapat nama “kaum rasionalis Islam”.
Setelah menyatakan pendapat itu, Wasil bi Ata meninggalkan perguruan Hasan al-Basri, lalu membentuk kelompok sendiri. Kelompok ini dikenal dengan Muktazillah. Pada awal perkembangannya aliran ini tidak mendapat simpati umat Islam karena ajaran Muktazillah sulit dipahami oleh beberapa kelompok masyarakat. Hal itu disebabkan ajarannya bersifat rasional dan filosofis. Alasan lain adalah aliran Muktaszillah dinilai tidak berpegang teguh pada sunnah Rasulullah SAW dan para sahabat. Aliran baru ini memperoleh dukungan pada masa pemerintahan Khalifah al-Makmun, penguasa Bani Abbasiyah.
Aliran Muktazillah mempunyai lima dokterin yang dikenal dengan al-usul al- khamsah. Berikut ini kelima doktrin aliran Muktazillah.
a. At-Taauhid (Tauhid)
Ajaran pertama aliran ini berarti meyakini sepenuhnya bahwa hanya Allah SWT. Konsep tauhid menurut mereka adalah paling murni sehingga mereka senang disebut pembela tauhid (ahl al-Tauhid).
b. Ad-Adl
Menurut aliran Muktazillah pemahaman keadilan Tuhan mempunyai pengertian bahwa Tuhan wajib berlaku adil dan mustahil ia berbuat zalim kepada hambanya. Mereka berpendapat bahwa tuhan wajib berbuat yang terbaik bagi manusia. Misalnya, tidak memberi beban terlalu berat, mengirimkan Nabi dan Rasul, serta memberi daya manusia agar dapat mewujudkan keinginannya.
c. Al-Wa’d wa al-Wa’id (Janji dan Ancaman).
Menurut Muktazillah, Tuhan wajib menepati janjinya memasukkan orang mukmin ke dalam surga. Begitu juga menempati ancamannya mencampakkan orang kafir serta orang yang berdosa besar ke dalam neraka.
d.      Al-Manzilah bain al-Manzilatain (posisi di Antara Dua Posisi).
Pemahaman ini merupakan ajaran dasar pertama yang lahir di kalangan Muktazillah. Pemahaman ini yang menyatakan posisi orang Islam  yang berbuat dosa besar. Orang jika melakukan dosa besar, ia tidak lagi sebagai orang mukmin, tetapi ia juga tidak kafir, kedudukannya sebagai orang fasik. Jika meninggal sebelum bertaubat, ia dimasukkan ke neraka selama-lamanya. Akan tetapi, siksanya lebih ringan daripada orang kafir.
e.       Amar Ma’ruf Nahi Munkar (Perintah Mengerjakan Kebajikan dan Melarang Kemungkaran).
Dalam prinsip Muktazillah, setiap muslim wajib menegakkan yang ma’ruf dan menjauhi yang mungkar. Bahkan dalam sejarah, mereka pernah memaksakan ajarannya kepada kelompok lain. Orang yang menentang akan dihukum.
Menurut aliran ini, dijelaskan oleh syahrastani, iman secara esensial adalah tasdiq bil al janan (membenarkan dengan kalbu/hati).  Sedangkan qaul dengan lisan dan melakukan berbagai kewajiban utama (amal bil arkan) hanya merupakan furu’(cabang-cabang) iman. Oleh sebab itu, siapa pun yang membenarkan keesaan Allah dengan kalbunya dan juga membenarkan utusan-utusan nya beserta apa yang mereka bawa darinya, iman secara ini merupakan sahih. Dan keimanan seseorang tidak akan hilang kecuali ia mengingkari salah satu dari hal-hal tersebut.
Kaum Asy’ariyah yang muncul sebagai reaksi terhadap kekerasan Mu’tazilah memaksakan paham khalq Al-Qur’an banyak membicarakan persoalan iman dan kufur. Asy’ariyah berpendapat bahwa akal manusia tidak bisa merupakan ma’rifah dan amal. Bahwa akal manusia tidak bisa merupakan ma’rifah dan amal. Manusia dapat mengetahui kewajiban hanya melalui wahyu bahwa ia berkewajiban mengetahui Tuhan dan manusia harus menerimanya sebagai suatu kebenaran. Oleh karena itu, iman bagi mereka adalah tashdiq. Pendapat ini berbeda dengan kaum Khawarij dan Mu’tazilah tapi dekat dengan kaum Jabariyah. Tasdiq menurut Asy’ariyah merupakan pengakuan dalam hati yang mengandung ma’r ifah terhadap Allah SWT.
Dalam aliran Maturidiyah terdiri atas dua kelompok, yaitu kelompok Samarkhand, dan kelompok Bukhara
a.       Maturidiyah golongan Samarkand
Dalam masalah iman, aliran Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa iman adalah tashdiq bi al-qalb, bukan semata-mata iqrar bi al-lisan. Apa yang diucapkan oleh lidah dalam bentuk pernyataan iman, menjadi batal bila hati tidak mengakui ucapan lidah.Al-Maturidi tidak berhenti sampai di situ. Menurutnya, tas hdiq, seperti yang dipahami di atas, harus diperoleh dari ma’rifah. Tashdiq hasil dari ma’rifah ini didapatkan melalui penalaran akal, bukan sekedar berdasarkan wahyu. Lebih lanjut, Al-Maturidi mendasari pandangannya pada dalil naqli surat Al-Baqarah ayat 260. Pada surat Al-Baqarah tersebut dijelaskan bahwa Nabi Ibrahim meminta kepada Tuhan untuk memperlihatkan bukti dengan Nabi Ibrahim meminta kepada Tuhan untuk memperlihatkan bukti dengan menghidupkan orang yang sudah mati. Permintaan Ibrahim tersebut, lanjut Al-maturidi, tidaklah berarti bahwa Ibrahim belum beriman. Akan tetapi, Ibrahim mengharapkan agar iman yang telah dimilikinya dapat meningkat menjadi iman hasil ma’rifah. Jadi, menurut Al-Maturidi, iman adalah tashdiq yang berdasarkan ma’rifah. Meskipun demikian, ma’rifah menurutnya sama sekali bukan esensi iman, melainkan faktor penyebab kehadiran iman.
b.      Maturidiyah golongan Bukhara
Adapun pengertian iman menurut Maturidiyah Bukhara, seperti yang dijelaskan oleh Al-Bazdawi, adalah tashdiq bi al-qalb dan tashdiq bi al-lisan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa tashdiq bi al-qalb adalah meyakini dan membenarkan dalam hati tentang keesaan Allah dan rasul-rasul yang diutusnya beserta risalah yang dibawanya. Adapun yang dimaksud dengan tashdiq al-lisan adalah mengakui kebenaran seluruh pokok ajaran Islam secara verbal. Pendapat ini tampaknya tidak banyak berbeda dengan Asy’ariyah, yaitu sama-sama menempatkan tashdiq sebagai unsur esensial dari keimanan walaupun dengan pengungkapan yang berbeda. [20]
6.     Ahlussunah Waljama’ah
Aliran ini dilahirkan dan dikembangkan oleh Abu Hasan al-Asy’ari (260-324 H) pada tahun 300 H di Baghdad. Abu Hasan al-Asy’ari sendiri pada awalnya adalah seorang pengikut aliran teologi Mu’tazilah, namun dia terus dilanda keraguan dengan pemikiran-pemikiran kalam mu’tazilah, terutama karena kaberanian mu’tazilah dalam mena’wilkan ayat-ayat mutasyabihat untuk mendukung logika teologi mereka, sehingga pemaknaannya berbeda dengan lafalnya, dan juga karena keberanian mereka dalam membatasi penggunaan al-Sunnah hanya yang mutawatir saja untuk doktrin-doktrin aqidahnya.
Karena keraguannya itulah, pada usianya yang ke-40 al-Asy’ari yang menyatakan keluar dari Mu’tazilah dan mengembangkan pemikiran teologi sendiri, dengan memperbanyak penggunaan al-Sunnah dan membatasi  penggunaan logika filsafat dalam pemikiran kalamnya itu. Karena membatasi penggunaan logika filsafat dan memperbanyak penggunaan al-Sunnah, maka  pemikiran-pemikiran kalam Abu Hasan mudah dipahami oleh orang banyak, dan memperoleh pengikut serta pendukung yang cukup besar. Sejalan dengan itu, aliran teologinya ini disebut dengan Ahlus Sunah wal Jama’ah artinya aliran kalam yang banyak menggunakan al-Sunnah dalam perumusan-perumusan pemikiran kalamnya, dan memperoleh pengikut yang cukup besar (wal jama’ah) dari kalangan masyarakat, khususnya dari lapisan yang tidak mampu menjangkau pemikiran kalam rasional yang diperkenalkan aliran mu’tazilah dan aliran yang juga sering disebut asy’ariyah karena dinisbitkan pada tokohnya.
Berbagai pemikiran kalam yang dikemukakan mu’tazilah dia kritisi habis-habisan. Seperti tentang sifat Allah SWT. Beliau mengkatakan Tuhan itu mempunyai sifat, karena kalau sifat-sifat itu dikatakan sebagai zat seperti yang dikemukakan mu’tazilah, maka akan terjadi kerancuan yang sangat besar. Seperti tentang “ilmu”, kalau ilmu (pengetahuan) dijadikan sebagai zat dan bukan sebagai sifat, maka Tuhan itu adalah ilmu atau pengetahuan. Padahal Tuhan adalah Allah Yang Maha Tahu, bukan ilmu atau pengetahuan itu sendiri.
Demikian pula dengan al-Qur’an, menurutnya kitab suci ini qadim karena al-Qur’an itu kalam Allah, maka posisinya sama seperti pemilik kalam. Kalau Allah qadim, maka kalamnya pun qadim. Disamping itu, keyakinan bahwa Al-Qur’an itu makhluk juga akan dihadapkan dengan kerancuan logika berpikir, karena Allah menciptakan makhluknya ini dengan kata-kata “kun”. Dan kalau kata “kun” sendiri sudah makhluk make perlu “kun” yang lain untuk menciptakannya, dan begitulah seterusnya tanpa ada akhir, sehingga terjadi lingkaran logika yang tidak berujung (tasalsul).
Kemudian ayat-ayat mutajasimah yang dita’wilkan Mu’tazilah, dia bahwa pada pengertian lafalnya, hanya saja tidak bisa diidentifikasikan seperti kata Yadullah, yang diartikan mu’tazilah sebagai kekuasaan Allah, Abu Hasan menafsirkannya dengan tangan Allah. Hanya saja dia tidak bisa mengidentifikasikan bentuk tangannya itu, sehingga dia mengatakan bahwa Allah itu bertangan namun tangannya itu tidak bisa diidentifikasi (layukayyaf). Demikian pula dengan ayat-ayat mutajasimah lainnya.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, aliran teologi ini, mulai berkembang tahun 300 H, dan mempunyai pengaruh pada pemerintahan Abbasiyah, bahkan untuk seterusnya sampai kini, pada umumnya umat Islam di dunia termasuk di Indonesia menganut aliran teologi ini, walaupun sebahagian kalangan intelektual muslim sudah mudah keluar dari doktrin-doktrin Asy’ariyah dan memasuki aliran kalam rasional.
Adapun pokok-pokok pikiran golongan Ahlusunnah wal jama’ah dapat disimpulkan sbb:
a.       Sifat Tuhan
Pendapat Al-Asy’ari dalam soal sifat Tuhan terletak di tengah-tengah antara aliran Mu’tazilah di satu pihak, aliran Hasywiah dan Mujassimah di lain pihak. Aliran Mu’tazilah tidak mengakui sifat-sifat wujud, qidam, baqa dan wahdaniah (Ke-Esa-an). Sifat zat yang lain, seperti sama’, bashar dan lain-lain tidak lain hanya zat Tuhan sendiri, tidak dicampuri oleh siapapun, berbuat menciptakan apasaja, memusnahkan apa saja atau menyelamatkan siapa saja yang dikehendakinya. Allah tidak perlu ada mitra kerja dan tidak ada yang menolaknya.[21] Golongan Hasywiah dan Mujassimah mempersamakan sifat-sifat Tuhan dengan sifat-sifat makhluk. Al-Asy’ari mengakui sifat-sifat Allah yang tersebut sesuai dengan zat Allah sendiri dan sama sekali tidak menyerupai sifat-sifat makhluk. Jadi, Allah mendengar tetapi tidak seperti manusia mendengar. Allah dapat melihat tetapi tidak seperti penglihatan manusia, dan seterusnya.
b.      Kekuasaan Tuhan dan perbuatan manusia
Pendapat Al-asy’ari dalam soal ini juga tengah-tengah antara aliran Jabariah dan aliran Mu’tazilah. Menurut aliran Mu’tazilah, manusia itulah yang mengerjakan perbuatannya dengan suatu kekuasaan yang diberikan Allah kepadanya. Menurut aliran Jabariah, manusia tidak berkuasa mengadakan atau menciptakan sesuatu, tidak memperoleh (kasb) sesuatu bahkan ia laksana bulu yang bergerak kian kemari menurut arah angin yang meniupnya. Datanglah Al-Asy’ari dan mengatakan bahwa perbuatan manusia itu tidak lebih dari perbuatan yang diciptakan oleh Allah dan dilimpahkan pada manusia sebagai tempat perbuatan tersebut. Berbeda pendapat Al-Maturidi, meskipun meyakini dengan kekuasaan Allah yang tidak terbatas terhadap perbuatan manusia, tetapi al-Maturidi memandang bahwa manusia ikut mempunyai peranan dalam perbuatannya. Dalam konsep Al-Maturidi perbuatan manusia itu terdiri dari dua macam perbuatan, yakni perbuatan Tuhan dalam bentuk penciptaan daya kemampuan pada diri manusia. Dan perbuatan manusia dalam bentuk pemakaian/penggunaan daya tersebut.[22]
c.       Melihat Tuhan pada hari Qiyamat
Menurut aliran Mu’tazilah Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala dan dengan demikian, mereka menakwilkan ayat-ayat yang mengatakan ru’yat, disamping menolak hadits-hadits Nabi yang menetapkan ru’yat Karena tingkatan hadits tersebut mereka adalah hadits ahad (hadits perseorangan). Menurut golongan Musyabihat, Tuhan dapat dilihat dengan cara tertentu dan pada arah tertentu pula. Dengan menempuh jalan tengah antara kedua golongan tersebut, Al-Asy’ari mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat kelak.
Ahlussunnah wal-jamaah, baik asy’ariyah maupun maturidiyah sepakat, bahwa orang-orang mukmin mendapat kesempatan melihat Allah SWT diakhirat. Dasar naqli dari pendapat ini antara lain firman Allah SWT dalam Surat Al-Qiyamah ayat 22-23 :
“Wajah-wajah orang mukmin pada hari itu berseri-seri karena melihat kepada Tuhannya” [23]
d.      Dosa besar
Aliran Mu’tazilah mengatakan, apabila pembuat dosa besar tidak bertobat dan dosanya itu, meskipun ia mempunyai iman dan ketaatan, tidak akan keluar dari neraka. Aliran Murji’ah mengatakan, siapa yang iman kepada Tuhan dan mengiklaskan diri kepadanya, maka bagaimanapun besar dosa yang dikerjakannya, namun tidak akan mempengaruhi imannya, artinya tetap dipandang sebagai orang mukmin.
Ahlussunnah wal-jamaah bahwa orang mukin yang melakukan dosa besar kemudian meninggal sebelum melakukan taubat, maka hukumannya terserah kepada Allah SWT. Jika Allah menyiksanya maka hal itu karena keadilannya, dan jika Allah mengampuninya, maka hal itu kemurahan dan kasih sayangnya atau orang itu diampuninya karena mendapat syafa’at Nabi Muhammad SAW utuk ummatnya yang berdosa. Tetapi orang tersebut termasuk fasiq, tetapi tidak kekal didalam neraka karena masih memiliki Iman. Al-Asy’ari menguatkan pendapat itu dengan dasar firman Allah SWT dalam Surat An-Nisa Ayat 48 dan 116 :
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan dia mengampuni segala dosa selain dosa syirik itu, bagi siapa yang dikehendakinya…”.
Disamping itu juga didasarkan hadist yang diriwayatkan oleh imam muslim dan At-Turmudzi sebagai berikut :
“Tidak kekal didalam neraka, orang yang didalam hatinya ada iman meskipun seberat dzarrah”.
            Menurut kalangan Ahlussunnah wal-jamaah mayoritas mereka berpendapat bahwa yang kekal didalam neraka itu hanyalah kafir (termasuk orang murtad karena bermacam-macam sebab) dan orang musyrik yang tidak melakukan taubat sebelum mati.[24]
  
  
BAB III

Dari beberapa pemaparan diatas, serta segala penjelasan-penjelasan, penulis dapat mengambil kesimpulan yaitu :
Iman merupakan suatu bentuk urusan hati yang mendorong seseorang untuk melakukan amaliah-amaliah serta iman merupakan dasar atau pondasi seseorang untuk dapat dekat dengan Allah SWT. Dan sebaliknya kufur adalah merupakan sesuatu yang sangat dimurkai oleh Allah. Kufur juga merupakan ketidak percayaan terhadap Allah SWT beserta segala Kekuasaannya.Sehingga kufur merupakan suatu bentuk urusan hati yang dapat mendorong seseorang untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang tercela.
Berdasarkan perbandingan yang telah dikemukakan, nampak jelas bagaimana konsep iman dan kufur menurut perspektif aliran dalam teologi. Pada mulanya konsep ilmu kalam dalam pembahasan iman dan kufur agak sederhana, seperti yang terdapat di kalangan Khawarij dan Murjiah, tetapi kemudian pembahasannya lebih terperinci.
B.SARAN
Dengan adanya makalah ini diharapkan agar semua kita umat islam selalu percaya akan adanya Allah SWT dan Rasulnya, akan keesaan-keesaan Allah, dan selalu percaya akan adanya hari Kiamat serta qadha dan qadhar Allah. Kita juga bisa mengetahui pentingnya mempelajari tauhid untuk diamalkan serta pentingnya mengetahui kekufuran dan kesyirikan agar bisa mewaspadai dan menjauhinya. Amin

  

1.      A. Mukti Ali, Filsafat Ibnu Khaldun tentang Sejarah: Pilihan dari Muqaddimah karya Ibnu Khaldun dari Tunia (1332-1406), Penyalin bahasa : Tinta Mas, Jakarta, 1962.
2.      HM. Zurkani Jahja, Teologi Al-Ghozali : Pendekatan Metodologi, Pustaka Pelajar, Cet. I jogyakarta, 1996.
3.      H.M.Zurkani jahja, Teologi Al-Ghazali pendekatan Metodologi, Pustaka Pelajar (Anggota IKAPI),Cetakan I Juni, 1996.
4.      Osman Bakar, Hierarki Ilmu : Membangun Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu, Cet. I, Mizan, Bandung, 1997.
5.      Harun Nasution, Teologi Islam, Jakarta : UI Press, I \ 1986.
6.      Muhammad Thaib, Teologi Fuqaha’ kajian Terhadap Pemikiran Abu Hanifah Tentang Iman dan Perbuatan Manusia, Cv.Citra Kreasi Utama Banda Aceh, Oktober 2008.
7.      Ibn.Rusyd, Afrizal M. Perdebatan Ulama Dalam Teologi Islam. Gelora Aksara Pratama. I \ 2006.
8.      Rozak Abdul dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Bandung. I, 2000.
9.      Alkhendra,  Pemikiran kalam. Bandung. I, 2000.
10.  Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Prinsip-prinsip dasar Aliran Theologi Islam, Cv.Pustaka Setia, Bandung, 1998.
11.  Abuddin Nata,  Ilmu kalam, Filsafat, dan tasawuf, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995.
12.  M Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid,  Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1996.
13.   Harun,Nasution.,Teologi Islam. Jakarta : Yayasan Penerbit UniversitasIndonesia, 1972.
14.  Muhammad Tholhah Hasan, Ahlussunnah Wal-Jamaah dalam Perspektif dan Tradisi NU, Lantabora Press, Jakarta Indonesia, 10 Oktober 2005.



[1]. A. Mukti Ali, Filsafat Ibnu Khaldun tentang Sejarah: Pilihan dari Muqaddimah karya Ibnu Khaldun dari Tunia (1332-1406), Penyalin bahasa : Tinta Mas, Jakarta, 1962.
[2]. HM. Zurkani Jahja, Teologi Al-Ghozali : Pendekatan Metodologi, Pustaka Pelajar, Cet. I jogyakarta, 1996, hal.81.
[3]. HM. Zurkani Jahja… hal. 82.
[4]. H.M.Zurkani jahja, Teologi Al-Ghazali pendekatan Metodologi, Pustaka Pelajar (Anggota IKAPI),Cetakan I Juni, 1996. Hal 80.
[5]. HM. Zurkani Jahja… Hal. 71
[6]. HM. Zurkani Jahja… Hal. 73
[7]. Osman Bakar, Hierarki Ilmu : Membangun Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu, Cet. I, Mizan, Bandung, 1997, hal 209.
[8]. HM. Zurkani Jahja… Hal. 73
[9]. Harun Nasution, Teologi Islam, Jakarta : UI Press, I \ 1986.
[10]. Muhammad Thaib, Teologi Fuqaha’ kajian Terhadap Pemikiran Abu Hanifah Tentang Iman dan Perbuatan Manusia, Cv.Citra Kreasi Utama Banda Aceh, Oktober 2008. Hal 53.
[11]. Ibn.Rusyd, Afrizal M. Perdebatan Ulama Dalam Teologi Islam. Gelora Aksara Pratama. I \ 2006.
[12]. Rozak Abdul dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Bandung. I, 2000.
[13]. Alkhendra,  Pemikiran kalam. Bandung. I, 2000.
[14]. Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Prinsip-prinsip dasar Aliran Theologi Islam, Cv.Pustaka Setia, Bandung, 1998. Hal.33
[15]. Abuddin Nata,  Ilmu kalam, Filsafat, dan tasawuf, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995. Hal. 29.
[16]. M Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid,  Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1996.
[17]. M Yusran Asmuni… Hal 53
[18]. M. Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid,  (Jakarta :RajaGrafindo Persada, 1996) hlm.102
 [19]. M. Yusran Asmuni… hlm 108
[20].Harun,Nasution.,Teologi Islam. Jakarta : Yayasan Penerbit UniversitasIndonesia, 1972..

[21]. Muhammad Tholhah Hasan, Ahlussunnah Wal-Jamaah dalam Perspektif dan Tradisi NU, Lantabora Press, Jakarta Indonesia, 10 Oktober 2005. Hal 35
[22]. Muhammad Tholhah Hasan… hal.40 
[23]. Muhammad Tholhah Hasan… hal.39
[24]. Muhammad Tholhah Hasan… hal.44

Tidak ada komentar: