OLEH: YUSWADI
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar
Belakang
Pertempuran Siffin antara Ali bin
Abi Thalib dan Mu’awiyyah, yang akhirnya tentara Ali dapat mendesak tentara Mu’awiyah
sehingga yang tersebut terakhir bersedia untuk lari.‘Amr ibn al-‘As yang
terkenal sebagai orang licik, minta berdamai dengan mengangkat al-Qur’an ke
atas. Pihak Ali diwakili oleh Abu Musa al-Asy’ari. Pihak Ali kalah setelah
mengadakan arbitrase. Sebagian tentara Ali, mereka berpendapat bahwa hal serupa
itu tidak dapat diputuskan oleh arbitrase manusia, tetapi harus datang dari
Allah dengan kembali kepada hukum-hukum yang ada dalam al-Qur’an.
Golongan yang memisahkan diri atau
meninggalkan Ali bin Abi Thalib disebut golongan Khawarij, karena mereka
memandang Ali bersalah dan berdosa besar. Ali sekarang menghadapi dua musuh,
yaitu golongan Mu’awiyah dan golongan Khawarij. Persoalan-persoalan yang
terjadi dalam dunia politik itu akhirnya membawa kepada persoalan teologi.
Dengan menekankan kepentingan sejarah terhadap masalah “kepercayaan” iman, Ibnu
Taymiyyah, teolog dari Mazhab Hanbali, menyatakan bahwa penelitian atas dua
makna kata tersebut merupakan penelitian intern pertama yang terjadi diantara orang-orang
Islam, karena masalah inilah maka masyarakat muslim terpecah ke dalam beberapa
selok dan golongan, yang berbeda-beda dalam (menafsirkan) kitab suci dan sunnah
sehingga satu sama lain saling menyebut kafir. Dan kelompok yang mula-mula
masuk ke gelanggang ini adalah kelompok kharijiyyah atau Khawarij. Maka
timbullah persoalan siapakah yang mukmin dan siapa yang kafir? Antara golongan
yang satu dengan yang lainnya saling kafir mengkafirkan.
Dari persoalan di atas menimbulkan
beberapa aliran teologi dalam Islam. Mulai dari aliran Khawarij, Murji’ah dan
Mu’tazilah dan masih ada lagi yang lainnya seperti Jabariyah dan Qodariyah.
Antara aliran teologi yang satu dengan yang lainnya sangatlah berbeda tentang
pandangan mereka terhadap konsep iman dan kufur. Dalam makalah ini penulis akan
mencoba mendeskripsikan atau menggambarkan dan memaparkan tentang konsep iman
dan kufur adalah dua hal yang saling berkebalikan. Bila iman diartikan sebagai
percaya, maka kufur diartikan tidak percaya atau bisa diartikan tertutup.
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
B.Rumusan
masalah
1.ApaPengertian Ilmu Kalam
2.ApaPengertian Iman dan Kufur
3.Apa Konsep Mukmin dan Kafir
C.Manfaat
1.Untuk mengetahui Pengertian Ilmu Kalam
1.Untuk mengetahui Pengertian Ilmu Kalam
2.Untuk mengetahui Pengertian Iman
dan Kufur
3.Untuk mengetahui Konsep Mukmin dan
Kafir
BAB II
1.
Pengertian Ilmu Kalam
Secara Etimologi, kalam berarti pembicaraan, yakni
pembicaraan yang bernalar dengan menggunakan logika. Karena itulah, ciri utama
dari ilmu kalam adalah rasionalitas atau logika.Kata kalam mulana dimaksudkan
sebagai terjemah dari logos dari bahasa Yunani yang berarti pembicaraan.
-
Menurut Ibnu
Khaldun (w. 806 H/1406 M), ilmu Kalam didefinisikan sebagai “Ilmu
yang mengandung perdebatan tentang akidah keimanan dengan dalil-dalil rasional,
dan penolakan terhadap ahli bid’ah yang menyeleweng dari faham salaf dan
ahlussunnah” [1] Munculnya terminologi
Kalam ini, menurut al-Ghazali dalam kitabnya Al-Munqidz, dipandang berawal dari
para pemikir ilmu tauhid yang mula-mula berpegang pada ayat-ayat al-Qur’an,
lalu dengan hadits-hadits Nabi Muhammad SAW, kemudian dengan dalil-dalil
rasional dan argumen-argumen silogisme dari logika filsafat seperti jauhar
(substansi) dan ‘aradh (aksiden) tetapi tidak dengan pengertian semula. Para
pemikir tersebut banyak berbicara tentang argumen-argumen rasional disekitar
obyek-obyek material ilmu tauhid, karena itulah mereka di sebut Mutakallimun (orang-orang
yang banyak berbicara). Dari sinilah lahir istilah kalam dalam ilmu tauhid,[2] Bagi al-Ghazali,
ilmu Kalam tidaklah identik dengan ilmu Tauhid. Karena itulah di dalam Ihya’
nya, al-Ghazali menyesalkan adanya pergeseran istilah dari tauhid kepada Kalam.
Tauhid yang berarti mengesakan Allah, merupakan inti aqidah Islam yang dibawa
Nabi Muhammad SAW. Sedangkan kalam, yang berarti perkataan, hanya merupakan
cara yang banyak dipergunakan dalam membahas masalah-masalah akidah. Proses
pergeseran terminologi ini bermula dari adanya sekelompok ahli dialektik dibidang
akidah yang mengaku sebagi ahl al-‘Adl wa al-Tauhid (pendukung keadilan dan
ke-esa-an Tuhan) sehingga mereka yang disebut sebagai Mutakallimun (ahli kalam)
itu juga dianggap sebagai ulama’ tauhid. Padahal isi doktrin tauhid yang dibawa
oleh Nabi Muhammad dan dihayati oleh umat periode pertama (salaf) sama sekali
berbeda dari pengertian kalam yang sudah diidentikkan dengan tauhid itu,
malahan kalau dalam pengertian sebagai pembahasan masalah-masalah akidah dengan
cara dialektis rasional merupakan suatu bentuk yang tidak dikenal, bahkan bibit
pertumbuhan yang menjurus ke sana sudah ditentang oleh umat Islam periode
pertama.[3] Pengertian tauhid
yang dipahami umat Islam pada periode pertama tidak tertampung sepenuhnya dalam
fungsi ilmu kalam. Ilmu tauhid memiliki pengertian yang jauh lebih luas
daripada hanya sekedar ilmu kalam.
-
Menurut Muhammad
Abduh, ilmu kalam ialah ilmu yang membahas tentang wujud Allah,
sifat-sifat wajib yang ada bagi-Nya, sifat-sifat jaiz yang sifatkan bagi-Nya,
dan sifat-sifat yang tidak ada bagi-Nya. Ilmu kalam juga membahas tentang rasul-rasul
Allah untuk menetapkan kebenaran risalahnya, apa yang wajib ada pada dirinya,
hal-hal yang jaiz yang dihubungkan kepada diri mereka.
-
Menurut Al-Farabi, ilmu kalam ialah
ilmu yang membahas zat dan sifat Allah beserta eksistensi semua yang mungkin,
mulai yang berkenaan dengan masalah dunia sampai masalah sesudah mati yang
berlandaskan doktrin Islam.
-
Menurut
Al-Ghazali
ilmu kalam tidak indentik dengan ilmu tauhid, tetapi hanya sebahagian
daripadanya. Dalam al-Risalah al-Ladunniyah (Risalah tentang ilmu laduni),
al-Ghazali memasukkan ilmu tauhid sebagai salah satu dari dua macam ilmu
syari’at yang berkenaan dengan pokok-pokok agama. Selanjutnya beliau
menjelaskan objek material ilmu tauhid sebagai berikut terjemahannya :
Ilmu ini mebahas dzat Allah, sifat-sifat
Allah yang eternal (al-Qadimah), yang aktif-kreatif (al-fi’liyyah), yang
esensial (al-dzatiyyah), dengan nama-nama yang sudah dikenal. Juga membahas
keadaan para nabi, para pemimpin ummat sesudahnya dan para sahabat, begitu pula
membahas tentang keadaan mati dan hidup, keadaan dibangkitkan dari kubur
(al-ba’ts), berkumpul di mahsyar, perhitungan amal dan melihat Tuhan.[4]
Dengan demikian, menurut al-Ghazali
ada tiga objek material ilmu tauhid, yaitu Allah SWT dengan sifat-sifatnya,
kenabian dengan segala kaitannya dan hari akhirat dengan segala kandungannya.
Memang al-Ghazali menganggap ketiga objek material ilmu tauhid itulah yang
merupakan pokok-pokok keimanan. Karena itu, konsepsi al-Ghazali, ilmu yang
membahas pokok-pokok keimanan dalam islam ialah tauhid.
2. Macam - Macam Ilmu Kalam
a. Ilmu Tauhid, adalah ilmu yang
membahas tentang wujud Allah, sifat-sifat Allah, mengupas dalil-dalil guna
membuktikan adanya Zat yang mewujudkan, serta mengupas dalil-dalil sam'iyat
guna mempercayai sesuatu dengan yakin, dinamakan ilmu tauhid karena :
Pokok bahasan
utama ilmu ini menyangkut keesaan Allah.
Keyakinan akan keesaan Allah merupakan akidah paling asasi dan utama bagi setiap muslim.
Keyakinan akan keesaan Allah merupakan akidah paling asasi dan utama bagi setiap muslim.
b. Ilmu Aqa'id, Aqa'id artinya simpulan atau buhul, yaitu kepercayaan yang
tersimpul dalam hati, atau pandangan yang bersemayam dalam jiwa manusia dan
diyakini kebenarannya sehingga tidak mudah dilepaskan.
c. Ilmu Usuluddin, adalah ilmu yang membahas tentang prinsip-prinsip dasar
agama dengan menggunakan dalil-dalil qat'iyyah dan logika. Dinamakan usuluddin
karena menjadi objek bahasan utamanya adalah dasar-dasar agama yang merupakan
masalah pokok dalam ajaran islam,.
3. Fungsi Ilmu Kalam
Berikut beberapa fungsi ilmu kalam.:
a.
Menjaga kemurnian
dasar-dasar agama dan memberikan dasar-dasar argumentasi yang kuat di hadapan
para penentangnya.
b.
Memberikan arahan dan
petunjuk kepada orang-orang yang membutuhkan nasihat, khususnya jika Islam
bersinggungan dengan teologi agama lain dalam masyarakat yang heterogen.
c.
Menopang dan menguatkan
sistem nilai ajaran Islam yang terdiri atas tiga pilar, yaitu: imam sebagai
landasan akidah. Islam sebagai manifestasi syariat, ibadah dan muamalah. Serta
ihsan sebagai aktualisasi akhlak.
d.
Menjadi pijakan bagi
ilmu-ilmu syariah.
e.
Menjaga kesucian niat
dan keyakinan yang merupakan dasar dalam perbuatan untuk mencapai kebahagiaan
dunia akhirat.
Al-Ghazali
berpendirian bahwa kalam hanya bisa digunakan untuk menghadapi tantangan
terhadap akidah yang telah dianut oleh umat Islam, menghadapi ahli-ahli bid’ah
yang berusaha memalingkan umat dari akidah yang benar.
Kalam
tidak dapat digunakan untuk menanamkan akidah yang benar kepada umat yang belum
menganutnya, apalagi untuk menuntut orang agar bisa menghayatinya.[5] Bentuk-bentuk dialektik dengan dalil-dalil rasional seperti yang
digambarkan dalam karya-karya kalam tidak bisa menanamkan akidah yang benar
kepada anak-anak yang baru belajar ataupun orang-orang Islam yang
sehari-harinya selalu disibukkan oleh kerja atau kehidupan mereka, karena
mereka merasa berat untuk bisa menyerap segala argumen yang rasional dan
filosofis itu. Begitu pula kepada orang-orang yang sudah menganut paham yang
mau dibantah, bentuk dialektis tersebut juga tidak bermanfaat karena akan
ditolak dengan dasar fanatisme golongan. [6]
Meskipun
demikian, al-Ghazali tetap mengakui pentingnya eksistensi dan tujuan ilmu kalam
serta peranannya bagi masyarakat Islam, yakni membela kepercayaan relegius
komunitas dengan menolak kesesatan bid’ah serta menghilangkan keraguan dan
kerancuan berkenaan dengan kepercayaan itu. Dia bahkan memuji Mutakallimun
dengan meng-gambarkan mereka sebagai orang-orang yang diberi ilham oleh tuhan
untuk mem-perjuangkan ortodoksi dengan suatu diskusi sistematik kalam yang
dirancang untuk menyingkap tipu muslihat yang diperkenalkan oleh para inovator
[ahli bid’ah] yang bertentangan dengan ortodoksi tradisional.[7] Ilmu ini dapat
dijadikan sebagai obat terakhir terhadap penyakit akidah yang di derita orang
awam yang tak bisa lagi diobati dengan cara lain [8] walaupun hal ini
tidaklah mencukupi untuk mengobati penyakit yang pernah ia derita.
4. Sumber-Sumber Ilmu Kalam
Sunber-sumber ilmu kalam dapat diklasifikasikan menjadi dua,
yaitu dalil naqli ( al-Qur’an dan Hadits ) dan dalil aqli ( akal pemikiran
manusia ).
Al-Qur’an dan
Hadits merupakan sumber utama yang menerangkan tentang wujud Allah,
sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya dan permasalahan aqidah Islamiyah dan
lainnya. Para mutakallim tidak pernah lepas dari nash-nash
al-Qur’an dan Hadits ketika berbicara masalah ketuhanan. Masing-masing kelompok
dalam ilmu kalam mencoba memahami dan menafsirkan al-Qur’an dan Hadits lalu
kemudian menjadikannya sebagai penguat argumentasi mereka.
Berikut ini
adalah sumber-sumber ilmu kalam:
a. Al-Qur’an
Sebagai sumber ilmu
kalam, Al-Qur’an banyak menyinggung hal yang berkaitan dengan masalah
ketuhanan, di antarannya adalah :
Q.S. Al-Ikhlas : 1-4. Ayat ini menunjukkan bahwa Allah Maha
Esa.
Q.S. Asy-Syara : 7. Ayat ini
menunjukkan bahwa Tuhan tidak menyerupai apapun di dunia ini. Ia Maha Mendengar
dan Maha Mengetahui.
Q.S. Al-Furqan : 59. Ayat ini
menunjukkan bahwa Tuhan Yang Maha Penyayang bertahta di atas “Arsy”. Ia pencipta
langit,bumi, dan semua yang ada diantara keduannya.
Q.S.Al-Fath : 10. Ayat ini
menunjukkan Tuhan mempunyai “tangan” yang selalu berada diatas tangan
orang-orang yang melakukan sesuatu selama mereka berpegang teguh dengan janji
Allah.
Q.S. Thaha : 39. Ayat ini
menunjukkan bahwa Tuhan mempunyai “mata” yang selalu digunakan untuk memgawasi
seluruh gerak, termasuk gerakan hati makhluk-Nya.
Ayat-ayat diatas berkaitan dengan dzat, sifat, asma,
perbuatan,tuntunan, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan eksistensi Tuhan.
Hanya saja, penjelasan rinciannya tidak ditemukan. Oleh sebab itu, para ahli
berbeda pendapat dalam menginterpretasikan rinciannya. Pembicaraan tentang
hal-hal yang berkaitan dengan ketuhanan disistematisasikan yang pada gilirannya
menjadi sebuah ilmu yang dikenal dengan istilah ilmu kalam.
b. Hadist
Masalah-masalah dalam ilmu kalam juga disinggung dalam
banyak hadits, Diantarannya yaitu hadits yang menjelaskan tentang iman, islam,
dan ihsan termasuk menyinggu ilmu kalam, salah satu di antaranya juga.
Adapula beberapa Hadits yang kemudian dipahami sebagian
umat sebagai prediksi Nabi mengenai kemunculan berbagai golongan dalam ilmu
kalam, diantaranya :
“Hadits yang diriwayatkan dari Abu
Hurairah r.a. Ia mengatakan bahwa Rasulullah bersabda, “ Orang-orang Yahudi
akan terpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan.”
“Hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Umar. Ia
mengatakan bahwa Rasulullah bersabda, “ Akan menimpa umatku yang pernah menimpa
Bani Israil, Bani Israil telah terpecah belah menjadi 72 golongan dan umatku
akan terpecah belah menjadi 73 golongan. Semuanya akan masuk neraka, kecuali
satu golongan saja, “ Siapa mereka itu, wahai Rasulullah?” tanya para sahabat.
Rasulullah menjawab ‘mereka adalah yang mengikuti jejakku dan
sahabat-sahabatku’.
Syaikh Abdul Qadir mengomentari bahwa Hadits yang
berkaitan dengan masalah faksi umat ini, yang merupakan salah satu kajian ilmu
kalam, mempunyai sanad sangat banyak. Diantara sanad yang
sampai kepada Nabi adalah yang berasal dari berbagai sahabat, seperti Anas bin
Malik, Abu Hurairah, Abu Ad-Darba, Jabir, Abu Said Al-Khudri, Abu Abi Kaab,
Abdullah bin Amr bin Al-Ash, Abu Ummah, Watsilah bin Al-Aqsa.
Adapula pada riwayat yang hanya sampai kepada sahabat.
Diantaranya adalah Hadits yang mengatakan bahwa umat islam akan terpecah belah
kedalam beberapa golongan. Diantara golongan-golongan itu, hanya satu saja yang
benar, sedangkan yang lainnya sesat.
Dalam Al-Qur’an iman itu selalu berkaitan dengan amal
perbuatan baik berupa pelaksanaan rukun-rukun Islam, akan menyebabkan manusia hidup
berbahagia di dunia dan di akhiratnya.
Iman dari segi lughat, kata iman berarti : pembenaran (
التَّصـْدِ يـْقُ ) inilah makna yang dimaksud dengan kata ( مُؤْ مِنٌ ) dalam
surat Yusuf 12, 17 yanga rtinya “Dan kamu sekali-kali tidak akan membenarkan
kami (مُؤْ مِنٍ لَّـنَا ) walaupun kami orang-orang yang benar”. Dari ayat di
atas, makna mukmin yakni orang yang membenarkan. Adapun makna iman dari segi
istilah ialah pembenaran atau pengakuan hati dengan penuh yakin tanpa ragu-ragu
akan segala apa yang di bawa oleh Nabi Muhammad SAW yang diketahui dengan jelas
sebagai ajaran agama yang berasal dari wahyu Allah.[9] Iman adalah : Dalam sebuah hadist di
definisikan :
“iman adalah meyakini dengan
hati, menetapkan dengan lidah dan melaksanakan dengan anggota”. (H.R Al-Buqari)
Abuhanifah hanifa berpendapat
bahwa iman adalah membenarkan, mengetahui (makrifah, yakin dan pengakuan
(ikrar) dan islam. Dimaksudkan dengan islam dalam definisi tersebut,
menurutnya, ialah menyerahkan diri dan menjalankan perintah Allah. Ditinjau
dari segi bahasa memang terdapat perbedaan antara iman dan islam. Alkan tetapi
iman tidak aka nada tanpa islam. Demikian juga sebaliknya, tidak akan ada islam
tanpa ada iman keduanya bagaikan dua sisi yang tak dapat dipisahkan seperti
lahir dan batin. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa agama merupakan gabungan dari iman, islam dan
syari’at secara keseluruhan.[10]
Firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 136
“Wahai
orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasulnya dan kepada
kitab yang Allah turunkan kepada Rasulnya serta kitab yang Allah turunkan
sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikatnya, kitab-kitabnya,
rasul-rasulnya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat
sejauh-jauhnya”.
(Q.S An-Nisa’ ayat 136).
Adapun pengertian kufur yang diambil dari Ensiklopedi Islam,
yaitu : Al-Kufr (tertutup) atau tersembunyi, mengalami perluasan makna menjadi
“ingkar” atau tidak percaya, ketidak percayaan kepada Tuhan. Kata kafir
mengisyaratkan usaha keras untuk menolak bukti-bukti kebenaran Tuhan, yakni
sebuah kehendak untuk mengingkari Tuhan, sengaja tidak mensyukuri kehidupan dan
mengingkari wahyu.[11]
kufur menurut bahasa adalah menutup. Bila orang yang
menyangkal dan musyrik disebut kafir karena orang itu menutupi dirinya dari
nikmat Allah dan menutup jalan untuk mengenal Allah. Orang yang berdosa besar
adalah kafir karena dia selalu menutupi dirinya dengan dosa.[12]
Agenda persoalan yang pertama timbul
dalam teologi Islam masalah iman dan kufur. Persoalan itu muncul pertamakali
oleh kaum Khawarij yang
mengecap kafir sejumlah tokoh sahabat Nabi SAW, Yang dipandang telah melakukan
dosa
besar, yaitu Ali bin Abi Thalib,
Mu’awiyah bin Abu sufyan, Abu Musa Al-Asy’ari, Amr bin Al-Ash, Thalhah bin
Ubaidillah, Zubair bin Awwam, dan Aisyah istri Rasulullah SAW.[13]
Adapun yang sebenarnya terjadi, yang
jelas, kaum khawarij telah memisahkan diri dari kelompok Ali pada perang sifin,
yakni peperangan antara penduduk syam yang sebagian besar merupakan pendukung
Mu’awwiyah bin Abi Sufyan. Kaum Khawarij ini sangat besar akan tetapi kemudian
menjadi Mazhab yang memiliki banyak pengikut; mereka mencampur adukkan antara
masalah agama dan masalah Negara. Makanya tidak mengherankan jika mereka banyak
berbicara tentang Agama, pokok-pokok dan cabangnya, pandangannya tentang
kesetiaan terhadap Negara dan pemimpinnya atau bahkan sebaliknya.[14]
Aliran Khawarij merupakan Aliran
teologi tertua yang merupakn Aliran pertama yang muncul dalam teologi Islam.
Menurut ibnu Abi Bakar Ahmad Al-Syahrastani, bahwa yang disebut Khawarij adalah
setiap orang yang keluar dari imam yang hak dan telah di sepakati para jema’ah,
baik ia keluar pada masa sahabat khulafaur rasyidin, atau pada masa tabi’in
secara baik-baik. Menurut bahasa nama khawarij ini berasal dari kata “kharaja”
yang berarti keluar. Nama itu diberikan kepada mereka yang keluar dari barisan
Ali.[15] Kelompok ini juga kadang kadang
menyebut dirinya Syurah yang berarti “golongan yang mengorbankan
dirinya untuk Allah di samping itu nama lain dari khawarij ini adalah Haruriyah, istilah ini
berasal dari kata harura, nama suatu tempat dekat kufah,
yang merupakan tempat mereka menumpahakan rasa penyesalannya kapada Ali bin abi
Thalib yang mau berdamai dengan Mu’awiyah.[16]
Kelompok khawarij ini merupakan
bagian dari kelompok pendukung Ali yang memisahkan diri, dengan beralasan
ketidak setujuan mereka terhadap sikap Ali bin abi Thalib yang menerima tahkim (arbitrase) dalam upaya untuk
menyelesaikan perselisihan dan konfliknya dengan mu’awiyah bin abi sofyan,
gubernur syam, pada waktu perang siffin.
Latar belakang ketidak setujuan
mereka itu, beralasan bahwa tahkim itu merupakan penyelesaian masalah yang
tidak di dasarkan pada ajaran Al-Qur’an, tapi ditentukan oleh manusia
sendiri, dan orang yang tidak Memutuskan hukum dengan Al-Quran adalah kafir.
Dengan demikian, orang yang melakukan tahkim dan menerimanya adalah
kafir.[17]
Atas dasar ini, kemudian golongan
yang semula mendukung Ali ini selanjutnya berbalik menentang dan memusuhi
Ali beserta tiga orang tokoh pelaku tahkim lainnya yaitu Abu Musa Al-Asyari,
Mu’awiyah bin Abi Sofyan dan Amr Bin Ash.Untuk itu
mereka berusaha keras agar dapat membunuh ke empat tokoh ini, dan menurut fakta
sejarah, hanya Ali yang berhasil terbunuh ditangan mereka.
Diantara doktrin
golongan khawarij diantaranya :
1.
Khalifah atau Imam harus dipilih secara
bebas oleh seluruh umat Islam.
2.
Khalifah tidak harus berasal dari
keturunan Arab. Dengan demikian setiap muslim berhak untuk di pilih apabila
telah memenuhi syarat.
3.
Khalifah dipilih secara permanen selama
yang bersangkutan bersikap adil dan tetap menjalankan syari`at Islam. Dan boleh
dijatuhkan bila melakukan kezaliman.
4.
Khalifah sebelum Ali (Abu Bakar,Umar dan
Usman) adalah sah sampai tahun ke tujuh.Tapi setelah itu dianggap menyeleweng.
5.
Khalifah Ali adalah sah ,tapi setelah
Tahkim ia dianggap menyeleweng.
6.
Orang yang melakukan dosa besar di
putuskan kafir dan kekal dalam neraka.
7.
Orang baik harus masuk surga dan orang
yang jahat masuk neraka.
8.
Amar makruf nahi mungkar.
9.
Mentakwilkan ayat-ayat mutasyabihat.
10. Al-Qur
an adalah makhluk.
11. Manusia
bebas memutuskan perbutannya bukan dari Tuhan.
12. Taqiyah
boleh dalam perkataan tapi tidak dalam perbuatan.
1.
Almuhakkimah Adalah golongan khawarij
asli dari pengikut-pengikut Ali. Bagi mereka Ali, Muawiyah, Amru Bin Ash, Musa
Al `Asy `ariy dan semua yang menyetujui tahkim/arbitrase bersalah dan menjadi
kafir. Semua pelaku dosa besar adalah kafir.
2.
Al-zariqah Khalifah pertama dari mereka
adalah Nafi`ibn Al-Azraq.Sekte ini terkenal lebih radikal dari al-muhakkimah.
3.
Al-Najdah Khalifahnya adalah Najdah ibn
Amir Al –Hanafi dari Yamamah.
4.
Al-Ajaridah Pemimpinnya adalah Abd
Al-Karim Ibn Ajrad.
5.
Al-Sufriah Pemimpinnya adalah Ziad ibn
Al-Asfar.
6.
Al Ibadah Golongan ini yang paling
moderat dari yang lain.Pemimpinnya adalah Abdullah Ibn Ibad.
Menurut sub sekte murji’ah yang
ekstrim adalah mereka yang berpandangan bahwa keimanan terletak di dalam kalbu/hati.
Oleh karena itu, segala ucapan dan perbuatan seseorang yang menyimpang dari
kaidah agama tidak berarti menggeser atau merusak keimanannya, bahkan
keimanannya masih sempurna dalam pandangan Tuhan. Sementara yang dimaksud
murji’ah moderat adalah mereka yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar
tidaklah menjadi kafir. Meskipun disiksa di neraka, ia tidak kekal didalamnya
bergantung pada dosa yang dilakukannya. Dalam menetapkan kafir dan dosa besar,
kalau paham Khawarij mengatakan bahwa orang mukmin yang melakukan dosa besar
dia sudah dianggap kafir, sedangkan paham murji’ah lebih bersikap positif.
Artinya, sesuai dengan sebutan nama mereka arja’a, mereka lebih cenderung menyerahkan saja
kepada Tuhan soal pelaku dosa besar.
Hal-hal yang melatar belakangi kehadiran murji’ah antara lain adalah :
a. Adanya
perbedaan pendapat antara Syi’ah dan Khawarij, mengkafirkan pihak-pihak yang
ingin merebut kekuasaan Ali dan mengakfirkan orang- yang terlihat dan
menyetujui tahkim dalam perang siffin.
b. Adanya pendapat
yang menyalahkan Aisyah dan kawan-kawan yang menyebabkan terjadinya perang
jamal.
c. Adanya pendapat
yang menyalahkan orang yang ingin merebut kekuasaan Usman bin Affan.
Ajaran-ajaran
pokok murji’ah
Ajaran-ajaran
pokok murji’ah dapat disimpulkan sebagai
berikut: .
a.
Iman hanya membenarkan (pengakuan) di
dalam hati
b.
Orang Islam yang melakukan dosa besar
tidak dihukumkan kafir. Muslim tersebut tetap mukmin selama ia mengakui dua
kalimat syahadat.
Tokoh dan sekte
dalam murji’ah
Dalam
perkembangannya, Murji’ah mengalami berbagai perbedaan pendapat dikalangan
pengikutnya yang mendasari lahirnya aliran-aliran, selanjutnya aliran murji’ah
ini terpecah menjadi beberapa macam sekte, ada yang moderat, ada pula yang
ekstrem.
Tokoh murji’ah
Moderat antara lain adalah hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, Abu
Hanifah, Abu Yusuf dan beberapa ahli hadits, yang berpendapat bahwa bagaimanapun
besarnya dosa seseorang kemungkinan mendapat ampunan dari Tuhan masih ada.
Sedangkan yang ekstrem antara lain ialah kelompok Jahmiyah, pengikut Jaham bin
Shafwan. Kelompok ini berpendapat, sekalipun seseorang menyatakan dirinya
musyrik, orang itu tidak dihukum kafir.[19]
Menurut paham mu’tazilah Iman adalah
tashdiq di dalam hati, ikrar dengan lisan dan dibuktikan dengan perbuatan
konsep ini mengaitkan perbuatan manusia dengan iman, karena itu, keimanan
seseorang ditentukan pula oleh amal perbuatannya. Konsep ini dianut pula olah
Khawarij, menurut mereka iman adalah pelaksanaan kewajiban-kewajiban kepada
Tuhan. Jadi, orang yang membenarkan (tashdiq) tidak ada Tuhan selain Allah dan
Muhammad rasulnya, tetapi tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban itu tidak
dikatakan mukmin. Tegasnya iman adalah amal. Iman tidak berarti pasif, menerima
apa yang dikatakan orang lain, iman mesti aktif karena akal mampu mengetahui
kewajiban-kewajiban kepada Tuhan.
Kaum Mu’tazilah juga berpendapat
bahwa orang mukmin yang mengerjakan dosa besar dan mati sebelum tobat, tidak
lagi mukmin dan tidak pula kafir, tetapi dihukumi sebagai orang fasiq.
Aliran Mu’tazilah merupakan
golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mandalam dan
bersifat filosofis. Dalam pembahasannya mereka banyak memakai akal sehingga
mendapat nama “kaum rasionalis
Islam”.
Setelah menyatakan pendapat itu,
Wasil bi Ata meninggalkan perguruan Hasan al-Basri, lalu membentuk kelompok
sendiri. Kelompok ini dikenal dengan Muktazillah. Pada awal perkembangannya
aliran ini tidak mendapat simpati umat Islam karena ajaran Muktazillah sulit
dipahami oleh beberapa kelompok masyarakat. Hal itu disebabkan ajarannya bersifat
rasional dan filosofis. Alasan lain adalah aliran Muktaszillah dinilai tidak
berpegang teguh pada sunnah Rasulullah SAW dan para sahabat. Aliran baru ini
memperoleh dukungan pada masa pemerintahan Khalifah al-Makmun, penguasa Bani
Abbasiyah.
Aliran Muktazillah
mempunyai lima dokterin yang dikenal dengan al-usul al- khamsah.
Berikut ini kelima doktrin aliran Muktazillah.
a. At-Taauhid (Tauhid)
Ajaran
pertama aliran ini berarti meyakini sepenuhnya bahwa hanya Allah SWT. Konsep
tauhid menurut mereka adalah paling murni sehingga mereka senang disebut
pembela tauhid (ahl al-Tauhid).
b. Ad-Adl
Menurut
aliran Muktazillah pemahaman keadilan Tuhan mempunyai pengertian bahwa Tuhan wajib
berlaku adil dan mustahil ia berbuat zalim kepada hambanya. Mereka berpendapat
bahwa tuhan wajib berbuat yang terbaik bagi manusia. Misalnya, tidak memberi beban
terlalu berat, mengirimkan Nabi dan Rasul, serta memberi daya manusia agar
dapat mewujudkan keinginannya.
c. Al-Wa’d wa al-Wa’id (Janji dan Ancaman).
Menurut
Muktazillah, Tuhan wajib menepati janjinya memasukkan orang mukmin ke dalam surga.
Begitu juga menempati ancamannya mencampakkan orang kafir serta orang yang
berdosa besar ke dalam neraka.
d. Al-Manzilah bain al-Manzilatain (posisi di Antara
Dua Posisi).
Pemahaman
ini merupakan ajaran dasar pertama yang lahir di kalangan Muktazillah.
Pemahaman ini yang menyatakan posisi orang Islam yang berbuat dosa besar.
Orang jika melakukan dosa besar, ia tidak lagi sebagai orang mukmin, tetapi ia
juga tidak kafir, kedudukannya sebagai orang fasik. Jika meninggal sebelum
bertaubat, ia dimasukkan ke neraka selama-lamanya. Akan tetapi, siksanya lebih
ringan daripada orang kafir.
e. Amar Ma’ruf Nahi Munkar (Perintah Mengerjakan
Kebajikan dan Melarang Kemungkaran).
Dalam
prinsip Muktazillah, setiap muslim wajib menegakkan yang ma’ruf dan menjauhi
yang mungkar. Bahkan dalam sejarah, mereka pernah memaksakan ajarannya kepada
kelompok lain. Orang yang menentang akan dihukum.
Menurut aliran ini, dijelaskan oleh
syahrastani, iman secara esensial adalah tasdiq bil al janan (membenarkan dengan kalbu/hati). Sedangkan qaul dengan lisan dan melakukan berbagai kewajiban utama
(amal bil arkan) hanya merupakan furu’(cabang-cabang) iman. Oleh sebab itu,
siapa pun yang membenarkan keesaan Allah dengan kalbunya dan juga membenarkan
utusan-utusan nya beserta apa yang mereka bawa darinya, iman secara ini
merupakan sahih. Dan keimanan seseorang tidak akan hilang kecuali ia
mengingkari salah satu dari hal-hal tersebut.
Kaum Asy’ariyah yang muncul sebagai
reaksi terhadap kekerasan Mu’tazilah memaksakan paham khalq Al-Qur’an banyak
membicarakan persoalan iman dan kufur. Asy’ariyah berpendapat bahwa akal
manusia tidak bisa merupakan ma’rifah dan amal. Bahwa akal manusia tidak
bisa merupakan ma’rifah dan amal. Manusia dapat mengetahui kewajiban hanya
melalui wahyu bahwa ia berkewajiban mengetahui Tuhan dan manusia harus
menerimanya sebagai suatu kebenaran. Oleh karena itu, iman bagi mereka
adalah tashdiq. Pendapat
ini berbeda dengan kaum Khawarij dan Mu’tazilah tapi dekat dengan kaum
Jabariyah. Tasdiq menurut
Asy’ariyah merupakan pengakuan dalam hati yang mengandung ma’r ifah
terhadap Allah SWT.
Dalam aliran Maturidiyah terdiri
atas dua kelompok, yaitu kelompok Samarkhand, dan kelompok Bukhara
a. Maturidiyah
golongan Samarkand
Dalam masalah iman, aliran Maturidiyah
Samarkand berpendapat bahwa iman adalah tashdiq bi al-qalb, bukan semata-mata
iqrar bi al-lisan. Apa yang diucapkan oleh lidah dalam bentuk pernyataan iman,
menjadi batal bila hati tidak mengakui ucapan lidah.Al-Maturidi tidak berhenti
sampai di situ. Menurutnya, tas hdiq, seperti yang dipahami di atas, harus
diperoleh dari ma’rifah. Tashdiq hasil dari ma’rifah ini didapatkan melalui
penalaran akal, bukan sekedar berdasarkan wahyu. Lebih lanjut, Al-Maturidi
mendasari pandangannya pada dalil naqli surat Al-Baqarah ayat 260. Pada surat
Al-Baqarah tersebut dijelaskan bahwa Nabi Ibrahim meminta kepada Tuhan untuk
memperlihatkan bukti dengan Nabi Ibrahim meminta kepada Tuhan untuk
memperlihatkan bukti dengan menghidupkan orang yang sudah mati. Permintaan
Ibrahim tersebut, lanjut Al-maturidi, tidaklah berarti bahwa Ibrahim belum
beriman. Akan tetapi, Ibrahim mengharapkan agar iman yang telah dimilikinya
dapat meningkat menjadi iman hasil ma’rifah. Jadi,
menurut Al-Maturidi, iman adalah tashdiq yang
berdasarkan ma’rifah.
Meskipun demikian, ma’rifah menurutnya
sama sekali bukan esensi iman, melainkan faktor penyebab kehadiran iman.
b. Maturidiyah
golongan Bukhara
Adapun pengertian iman menurut
Maturidiyah Bukhara, seperti yang dijelaskan oleh Al-Bazdawi, adalah tashdiq bi al-qalb dan tashdiq bi al-lisan. Lebih lanjut
dijelaskan bahwa tashdiq bi al-qalb adalah meyakini dan membenarkan dalam hati
tentang keesaan Allah dan rasul-rasul yang diutusnya beserta risalah yang
dibawanya. Adapun yang dimaksud dengan tashdiq al-lisan adalah mengakui
kebenaran seluruh pokok ajaran Islam secara verbal. Pendapat ini tampaknya
tidak banyak berbeda dengan Asy’ariyah,
yaitu sama-sama menempatkan tashdiq sebagai unsur esensial
dari keimanan walaupun dengan pengungkapan yang berbeda. [20]
6. Ahlussunah Waljama’ah
Aliran ini dilahirkan dan dikembangkan
oleh Abu Hasan al-Asy’ari (260-324 H) pada tahun 300 H di Baghdad. Abu Hasan
al-Asy’ari sendiri pada awalnya adalah seorang pengikut aliran teologi
Mu’tazilah, namun dia terus dilanda keraguan dengan pemikiran-pemikiran kalam
mu’tazilah, terutama karena kaberanian
mu’tazilah dalam mena’wilkan ayat-ayat mutasyabihat untuk mendukung logika
teologi mereka, sehingga pemaknaannya berbeda dengan lafalnya, dan juga karena
keberanian mereka dalam membatasi penggunaan al-Sunnah hanya yang mutawatir
saja untuk doktrin-doktrin aqidahnya.
Karena
keraguannya itulah, pada usianya yang ke-40 al-Asy’ari yang menyatakan keluar
dari Mu’tazilah dan mengembangkan pemikiran teologi sendiri, dengan
memperbanyak penggunaan al-Sunnah dan membatasi penggunaan logika
filsafat dalam pemikiran kalamnya itu. Karena membatasi penggunaan logika
filsafat dan memperbanyak penggunaan al-Sunnah, maka pemikiran-pemikiran
kalam Abu Hasan mudah dipahami oleh orang banyak, dan memperoleh pengikut serta
pendukung yang cukup besar. Sejalan dengan itu, aliran teologinya ini disebut
dengan Ahlus Sunah wal Jama’ah artinya
aliran kalam yang banyak menggunakan al-Sunnah dalam perumusan-perumusan
pemikiran kalamnya, dan memperoleh pengikut yang cukup besar (wal jama’ah) dari
kalangan masyarakat, khususnya dari lapisan yang tidak mampu menjangkau
pemikiran kalam rasional yang diperkenalkan aliran mu’tazilah dan aliran yang
juga sering
disebut asy’ariyah karena dinisbitkan pada tokohnya.
Berbagai
pemikiran kalam yang dikemukakan mu’tazilah dia kritisi habis-habisan. Seperti tentang sifat
Allah SWT. Beliau mengkatakan Tuhan itu mempunyai sifat,
karena kalau sifat-sifat itu dikatakan sebagai zat seperti yang dikemukakan
mu’tazilah, maka akan terjadi kerancuan yang sangat besar. Seperti tentang
“ilmu”, kalau ilmu (pengetahuan) dijadikan sebagai zat dan bukan sebagai sifat,
maka Tuhan itu adalah ilmu atau pengetahuan. Padahal Tuhan adalah Allah Yang
Maha Tahu, bukan ilmu atau pengetahuan itu sendiri.
Demikian pula
dengan al-Qur’an, menurutnya kitab suci ini qadim karena al-Qur’an itu kalam
Allah, maka posisinya sama seperti pemilik kalam. Kalau Allah qadim, maka kalamnya pun qadim. Disamping itu, keyakinan
bahwa Al-Qur’an itu makhluk juga akan
dihadapkan dengan kerancuan logika berpikir, karena Allah menciptakan makhluknya ini dengan kata-kata “kun”. Dan
kalau kata “kun” sendiri sudah makhluk make perlu “kun” yang lain untuk
menciptakannya, dan begitulah seterusnya tanpa ada akhir, sehingga terjadi
lingkaran logika yang tidak berujung (tasalsul).
Kemudian
ayat-ayat mutajasimah yang dita’wilkan Mu’tazilah, dia bahwa pada pengertian
lafalnya, hanya saja tidak bisa diidentifikasikan seperti kata Yadullah, yang
diartikan mu’tazilah sebagai kekuasaan Allah, Abu Hasan menafsirkannya dengan
tangan Allah. Hanya saja dia tidak bisa mengidentifikasikan bentuk tangannya itu, sehingga dia mengatakan bahwa
Allah itu bertangan namun tangannya itu tidak bisa diidentifikasi
(layukayyaf). Demikian pula dengan ayat-ayat mutajasimah lainnya.
Sebagaimana
telah dikemukakan di atas, aliran teologi ini, mulai berkembang tahun 300 H,
dan mempunyai pengaruh pada pemerintahan Abbasiyah, bahkan untuk seterusnya sampai
kini, pada umumnya umat Islam di dunia termasuk di Indonesia menganut aliran
teologi ini, walaupun sebahagian kalangan intelektual muslim sudah mudah keluar
dari doktrin-doktrin Asy’ariyah dan memasuki aliran kalam rasional.
Adapun pokok-pokok
pikiran golongan Ahlusunnah wal jama’ah dapat disimpulkan sbb:
a.
Sifat Tuhan
Pendapat
Al-Asy’ari dalam soal sifat Tuhan terletak di tengah-tengah antara aliran
Mu’tazilah di satu pihak, aliran Hasywiah dan Mujassimah di lain
pihak. Aliran Mu’tazilah tidak mengakui sifat-sifat wujud, qidam, baqa dan
wahdaniah (Ke-Esa-an). Sifat zat yang lain, seperti sama’, bashar dan lain-lain
tidak lain hanya zat Tuhan sendiri, tidak dicampuri oleh siapapun,
berbuat menciptakan apasaja, memusnahkan apa saja atau menyelamatkan siapa saja
yang dikehendakinya.
Allah tidak perlu ada mitra kerja dan tidak ada yang menolaknya.[21] Golongan Hasywiah dan Mujassimah
mempersamakan sifat-sifat Tuhan dengan sifat-sifat makhluk. Al-Asy’ari mengakui
sifat-sifat Allah yang tersebut sesuai dengan zat Allah sendiri dan sama sekali
tidak menyerupai sifat-sifat makhluk. Jadi, Allah mendengar tetapi tidak
seperti manusia mendengar. Allah dapat melihat tetapi tidak seperti penglihatan
manusia, dan seterusnya.
b.
Kekuasaan Tuhan
dan perbuatan manusia
Pendapat
Al-asy’ari dalam soal ini juga tengah-tengah antara aliran Jabariah dan aliran
Mu’tazilah. Menurut aliran Mu’tazilah, manusia itulah yang mengerjakan
perbuatannya dengan suatu kekuasaan yang diberikan Allah kepadanya. Menurut
aliran Jabariah, manusia tidak berkuasa mengadakan atau menciptakan sesuatu,
tidak memperoleh (kasb) sesuatu bahkan ia laksana bulu yang bergerak kian
kemari menurut arah angin yang meniupnya. Datanglah Al-Asy’ari dan mengatakan
bahwa perbuatan manusia itu tidak lebih
dari perbuatan yang diciptakan oleh Allah dan dilimpahkan pada manusia sebagai
tempat perbuatan tersebut. Berbeda pendapat Al-Maturidi,
meskipun meyakini dengan kekuasaan Allah yang tidak terbatas terhadap perbuatan
manusia, tetapi al-Maturidi memandang bahwa manusia ikut mempunyai peranan
dalam perbuatannya. Dalam konsep Al-Maturidi perbuatan manusia itu terdiri dari
dua macam perbuatan, yakni perbuatan Tuhan dalam bentuk penciptaan daya kemampuan
pada diri manusia. Dan perbuatan manusia dalam bentuk pemakaian/penggunaan daya
tersebut.[22]
c.
Melihat Tuhan
pada hari Qiyamat
Menurut aliran
Mu’tazilah Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala dan dengan demikian,
mereka menakwilkan ayat-ayat yang mengatakan ru’yat, disamping menolak
hadits-hadits Nabi yang menetapkan ru’yat Karena tingkatan hadits tersebut
mereka adalah hadits ahad (hadits perseorangan). Menurut golongan Musyabihat,
Tuhan dapat dilihat dengan cara tertentu dan pada arah tertentu pula. Dengan
menempuh jalan tengah antara kedua golongan tersebut, Al-Asy’ari mengatakan
bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat kelak.
Ahlussunnah wal-jamaah, baik asy’ariyah maupun maturidiyah
sepakat, bahwa orang-orang mukmin mendapat kesempatan melihat Allah SWT
diakhirat. Dasar naqli dari pendapat ini antara lain firman Allah SWT dalam
Surat Al-Qiyamah ayat 22-23 :
d.
Dosa besar
Aliran Mu’tazilah
mengatakan, apabila pembuat dosa besar tidak bertobat dan
dosanya itu, meskipun ia mempunyai iman dan ketaatan, tidak akan keluar dari neraka.
Aliran Murji’ah mengatakan, siapa yang iman kepada Tuhan dan mengiklaskan diri
kepadanya, maka bagaimanapun besar dosa yang
dikerjakannya, namun tidak akan mempengaruhi imannya, artinya tetap dipandang
sebagai orang mukmin.
Ahlussunnah wal-jamaah bahwa orang mukin yang melakukan dosa
besar kemudian meninggal sebelum melakukan taubat, maka hukumannya terserah
kepada Allah SWT. Jika Allah menyiksanya maka hal itu karena keadilannya, dan
jika Allah mengampuninya, maka hal itu kemurahan dan kasih sayangnya atau orang
itu diampuninya karena mendapat syafa’at Nabi Muhammad SAW utuk ummatnya yang
berdosa. Tetapi orang tersebut termasuk fasiq, tetapi tidak kekal didalam
neraka karena masih memiliki Iman. Al-Asy’ari menguatkan pendapat itu dengan
dasar firman Allah SWT dalam Surat An-Nisa Ayat 48 dan 116 :
“Sesungguhnya
Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan dia mengampuni segala dosa selain dosa
syirik itu, bagi siapa yang dikehendakinya…”.
Disamping itu juga didasarkan hadist yang diriwayatkan oleh imam muslim
dan At-Turmudzi sebagai berikut :
“Tidak
kekal didalam neraka, orang yang didalam hatinya ada iman meskipun seberat
dzarrah”.
Menurut kalangan Ahlussunnah
wal-jamaah mayoritas mereka berpendapat bahwa yang kekal didalam neraka itu
hanyalah kafir (termasuk orang murtad karena bermacam-macam sebab) dan orang
musyrik yang tidak melakukan taubat sebelum mati.[24]
BAB III
Dari beberapa pemaparan diatas,
serta segala penjelasan-penjelasan, penulis dapat mengambil kesimpulan yaitu :
Iman merupakan suatu bentuk urusan
hati yang mendorong seseorang untuk melakukan amaliah-amaliah serta iman
merupakan dasar atau pondasi seseorang untuk dapat dekat dengan Allah SWT. Dan
sebaliknya kufur adalah merupakan sesuatu yang sangat dimurkai oleh Allah. Kufur
juga merupakan ketidak percayaan terhadap Allah SWT beserta segala Kekuasaannya.Sehingga
kufur merupakan suatu bentuk urusan hati yang dapat mendorong seseorang untuk
melakukan perbuatan-perbuatan yang tercela.
Berdasarkan perbandingan yang telah
dikemukakan, nampak jelas bagaimana konsep iman dan kufur menurut perspektif
aliran dalam teologi. Pada mulanya konsep ilmu kalam dalam pembahasan iman dan
kufur agak sederhana, seperti yang terdapat di kalangan Khawarij dan Murjiah,
tetapi kemudian pembahasannya lebih terperinci.
B.SARAN
Dengan adanya makalah
ini diharapkan agar semua kita umat islam selalu percaya akan adanya Allah SWT
dan Rasulnya, akan keesaan-keesaan Allah, dan selalu percaya akan adanya hari
Kiamat serta qadha dan qadhar Allah. Kita juga bisa mengetahui pentingnya
mempelajari tauhid untuk diamalkan serta pentingnya mengetahui kekufuran dan
kesyirikan agar bisa mewaspadai dan menjauhinya. Amin
1. A. Mukti Ali, Filsafat Ibnu Khaldun tentang Sejarah: Pilihan
dari Muqaddimah karya Ibnu Khaldun dari Tunia (1332-1406), Penyalin bahasa :
Tinta Mas, Jakarta, 1962.
2. HM. Zurkani Jahja, Teologi Al-Ghozali : Pendekatan
Metodologi, Pustaka Pelajar, Cet. I jogyakarta, 1996.
3. H.M.Zurkani
jahja, Teologi Al-Ghazali pendekatan
Metodologi, Pustaka Pelajar (Anggota IKAPI),Cetakan I Juni, 1996.
4. Osman Bakar, Hierarki Ilmu : Membangun
Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu, Cet. I, Mizan, Bandung, 1997.
5. Harun Nasution, Teologi
Islam, Jakarta : UI Press, I \ 1986.
6. Muhammad
Thaib, Teologi Fuqaha’ kajian Terhadap Pemikiran Abu Hanifah Tentang Iman dan
Perbuatan Manusia, Cv.Citra Kreasi Utama Banda Aceh, Oktober 2008.
7. Ibn.Rusyd, Afrizal M. Perdebatan
Ulama Dalam Teologi Islam. Gelora Aksara Pratama. I \ 2006.
8. Rozak Abdul dan Rosihon Anwar, Ilmu
Kalam, Bandung. I, 2000.
9. Alkhendra, Pemikiran kalam. Bandung.
I, 2000.
10. Muhammad
Muhyiddin Abdul Hamid, Prinsip-prinsip
dasar Aliran Theologi Islam, Cv.Pustaka Setia, Bandung, 1998.
11. Abuddin Nata, Ilmu kalam, Filsafat, dan
tasawuf, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995.
12. M Yusran Asmuni, Ilmu
Tauhid, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1996.
13. Harun,Nasution.,Teologi Islam. Jakarta : Yayasan Penerbit
UniversitasIndonesia,
1972.
14. Muhammad
Tholhah Hasan, Ahlussunnah Wal-Jamaah dalam Perspektif dan Tradisi NU,
Lantabora Press, Jakarta Indonesia, 10 Oktober 2005.
[1].
A. Mukti
Ali, Filsafat Ibnu Khaldun tentang Sejarah: Pilihan dari Muqaddimah karya Ibnu
Khaldun dari Tunia (1332-1406), Penyalin bahasa : Tinta Mas, Jakarta, 1962.
[2].
HM.
Zurkani Jahja, Teologi Al-Ghozali : Pendekatan Metodologi, Pustaka Pelajar,
Cet. I jogyakarta, 1996, hal.81.
[3]. HM.
Zurkani Jahja… hal. 82.
[4]. H.M.Zurkani jahja, Teologi Al-Ghazali pendekatan Metodologi,
Pustaka Pelajar (Anggota IKAPI),Cetakan I Juni, 1996. Hal 80.
[5].
HM.
Zurkani Jahja… Hal. 71
[6].
HM.
Zurkani Jahja… Hal. 73
[7]. Osman
Bakar, Hierarki Ilmu : Membangun Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu, Cet. I, Mizan,
Bandung, 1997, hal 209.
[8]. HM.
Zurkani Jahja… Hal. 73
[10]. Muhammad Thaib, Teologi Fuqaha’
kajian Terhadap Pemikiran Abu Hanifah Tentang Iman dan Perbuatan Manusia,
Cv.Citra Kreasi Utama Banda Aceh, Oktober 2008. Hal 53.
[14]. Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Prinsip-prinsip dasar Aliran Theologi Islam,
Cv.Pustaka Setia, Bandung, 1998. Hal.33
[15]. Abuddin Nata, Ilmu
kalam, Filsafat, dan tasawuf, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995. Hal.
29.
[16]. M
Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid,
Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1996.
[17].
M Yusran
Asmuni… Hal 53
[18]. M.
Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid,
(Jakarta :RajaGrafindo Persada, 1996) hlm.102
[19].
M. Yusran
Asmuni… hlm 108
[21]. Muhammad Tholhah Hasan,
Ahlussunnah Wal-Jamaah dalam Perspektif dan Tradisi NU, Lantabora Press,
Jakarta Indonesia, 10 Oktober 2005. Hal 35
[22].
Muhammad Tholhah Hasan…
hal.40
[23].
Muhammad Tholhah Hasan…
hal.39
[24].
Muhammad Tholhah Hasan…
hal.44
Tidak ada komentar:
Posting Komentar