class='date-header'>Selasa, 11 Oktober 2016

SEJARAH TURUN DAN PEMELIHARAAN AL-QUR’AN

SEJARAH TURUN DAN PEMELIHARAAN AL-QUR’AN
OLEH: YUSWADI

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ulumul Qur’an adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan dalam keilmuan keislaman yang terkait dengan Al-Qur’an dari berbagai seginya. Sebagaimana diketahui Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW., Al-Qur’an mendapat perhatian yang demikian besar dari semua kalangan, Baik dari kaum muslimin sendiri ataupun kaum Quraisy Mekkah yang masih ingkar dengan kehadiran Al-Qur’an.
Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab. Oleh karena itu ada anggapan setiap orang yang mengerti bahasa Arab dapat mengerti isi Al-Qur’an. Lebih lagi, ada orang merasa telah dapat memahami dan menafsirkan Al-Qur’an dengan bantuan terjemahnya, sekalipun tidak mengerti bahasa arab. Padahal orang Arab sendiri banyak yang belum mengerti kandungan Al-Qur’an.
Kemudian Firman Allah SWT dan Hadist Rasulullah SAW tak akan pernah terhapus oleh masa, Maka dengan mengetahui sejarah perkembangan Al-Qur’an menjadi sesuatu yang luar biasa dalam ajaran umat islam, sehingga kita umat islam bisa mengetahui bagaimana perjuangan para syuhada yang telah merawat dan menjaga Al-Qur’an pada masa Nabi, Sahabat, dan tabi’in.
          Al-Qur’an adalah firman Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril yang diturunkan secara berangsur-angsur selama 22 tahun 2 bulan 22 hari di kota Mekkah dan Madinah. Pada waktu turunnya Al-Qur’an Bangsa Arab sedikit diantara mereka bisa menulis dan membaca, pada masa itu juga mereka belum mengenal Alqirthas yang berarti kertas yang dimana pada masa ini kita pakai untuk menampung tulisan yang kita tulis, melainkan mereka hanya menggunakan batu, kelopak kurma dan kulit binatang untuk menulis Al-Qur’an. [1]
          Walaupun Bangsa Arab pada waktu itu masih buta huruf, tapi mereka mempunyai ingatan yang sangat kuat. Pegangan mereka dalam memelihara dan meriwayatkan syair-syair dari pada pujangga, peristawa-peristiwa yang terjadi dan lain sebagainya adalah dengan hafalan semata.
B.Rumusan Masalah
1. Apa Sejarah Turun Al-Qur’an?
2. Apa Turunnya Al-Qur’an dengan Tujuh Huruf ?
3. Apa Pemeliharaan Al-Qur’an pada Masa Nabi?
4. Apa Pemeliharaan Al-Qur’an pada Masa Khulafaurrasyidin?
C.Tujuan
1. Untuk mengetahui Sejarah Turun Al-Qur’an
2. Untuk mengetahui Turunnya Al-Qur’an dengan Tujuh Huruf
3. Untuk mengetahui Pemeliharaan Al-Qur’an pada Masa Nabi
4. Untuk mengetahui Pemeliharaan Al-Qur’an pada Masa Khulafaurrasyidin
  
BAB II
PEMBAHASAN
Sejarah turun Al-Qur’an memiliki makna yang sangat dalam bagi penghuni langit dan bumi, sekaligus sebagai rahmat dan petunjuk untuk membimbing manusia. Al Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk memberikan jawaban atas keterpurukan aqidah dan akhlak manusia, gelapnya sendi-sendi kehidupan kemanusiaan. Kondisi kehidupan yang telah melampaui fitrah kemanusian, menyalahi aturan dan substansi yang telah diletakan oleh para rasul sebelumnya.
      Syaikh Manna’ Al-Qaththan dalam Mabahits Fii Ulumil Quran adalah “Allah menurunkan Al-Quran kepada Rasul kita Muhammad SAW untuk membimbing manusia. Turunnya Al-Quran merupakan peristiwa besar yang sekaligus menyatakan kedudukannya bagi penghuni langit dan bumi. [2]
Oleh karena itu, tidaklah aneh kalau Al-Qur’an itu, sebagaimana apa yang telah kita dengar, telah dihafal oleh sejumlah besar para sahabat. Karena salah satu hikmah Al-Qur’an diturunkan berangsur-angsur menurut hemat penulis adalah agar lebih mudah dihafal ataupun dipahami oleh umat Rasulullah SAW dikemudian hari.
Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam. Bagi Muslim, Al-Qur’an merupakan firman Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril dengan lafal dan maknanya. Al-Qur’an merupakan mukjizat Nabi Muhammad SAW yang sangat berharga bagi umat Islam hingga saat ini. Di dalamnya terkandung petunjuk dan pedoman bagi umat manusia dalam mencapai kebahagiaan hidup baik di dunia maupun akhirat.
            Sebagian ulama menyatakan jumlah ayat Al-Qur’an adalah 6.236, sebagian lagi menyatakan 6.666. Perbedaan jumlah ayat ini disebabkan karena perbedaan pandangan tentang kalimat Basmalah pada setiap awal surat (kecuali At-Taubah), kemudian tentang kata-kata pembuka surat yang terdiri dari susunan
huruf-huruf seperti Yaa Siin, Alif Lam Miim, Ha Mim. Ada yang  memasukkannya sebagai ayat, ada yang tidak mengikutsertakannya sebagai ayat.
Untuk memudahkan pembacaan dan penghafalan, para ulama membagi Al-Qur’an dalam 30 juz yang sama panjang, dan dalam 60 hizb (biasanya ditulis di bagian pinggir Al-Qur’an). [3]
A.Sejarah Turunnya al-Quran
Setiap kali mendapat wahyu, Nabi SAW lalu menghafalkannya. Beliau dapat mengulangi wahyu yang diterima tepat seperti apa yang telah disampaikan Jibril kepadanya. Hafalan Nabi SAW ini selalu dikontrol oleh Malaikat Jibril.
Al-Qur’an diturunkan dalam 2 periode, yang pertama Periode Mekah, yaitu saat Nabi SAW bermukim di Mekah (610-622 M) sampai Nabi SAW melakukan hijrah. Ayat-ayat yang diturunkan pada masa itu disebut ayat-ayat Makkiyah, yang berjumlah 4.726 ayat, meliputi 89 surat.
Kedua adalah Periode Madinah, yaitu masa setelah Nabi SAW hijrah ke Madinah (622-632 M). Ayat-ayat yang turun dalam periode ini dinamakan ayat-ayat Madaniyyah, meliputi 1.510 ayat dan mencakup 25 surat.
Ciri-ciri Ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyyah Ayat-ayatnya pendek-pendek, Ayat-ayatnya panjang-panjang, Diawali dengan yaa ayyuhan-nas (wahai manusia), Diawali dengan yaa ayyuhal-ladzinaamanu (wahai orang-orang yang beriman). Kebanyakan mengandung masalah tauhid, iman kepada Allah SWT, hal ihwal surga dan neraka, dan masalah-masalah yang menyangkut kehidupan akhirat (ukhrawi), Kebanyakan tentang hukum-hukum agama, orang-orang yang berhijrah (Muhajirin) dan kaum penolong (Anshar), kaum munafik, serta ahli kitab.
Ayat Al-Qur’an yang pertama diterima Nabi Muhammad SAW adalah 5 ayat pertama surat Al-‘Alaq, ketika ia sedang berkhalwat di Gua Hira, sebuah gua yang terletak di pegunungan sekitar kota Mekah, pada tanggal 17 Ramadhan (6 Agustus 610 M). [4]
Kala usia Nabi SAW 40 tahun. Kodifikasi Al-Qur’an
atau pengumpulan Al-Qur’an sudah dimulai sejak zaman Rasulullah SAW, bahkan sejak Al-Qur’an diturunkan. Setiap kali menerima wahyu, Nabi SAW membacakannya di hadapan para sahabat karena ia memang diperintahkan untuk mengajarkan Al-Qur’an kepada mereka. Disamping menyuruh mereka untuk menghafalkan ayat-ayat yang diajarkannya, Nabi SAW juga memerintahkan para sahabat untuk menuliskannya di atas pelepah-pelepah kurma, lempengan- lempengan batu, dan kepingan-kepingan tulang. Setelah ayat-ayat yang diturunkan cukup satu surat, Nabi SAW memberi nama surat tersebut untuk membedakannya dari yang lain. Nabi SAW juga memberi petunjuk tentang penempatan surat di dalam Al-Qur’an. Penyusunan ayat-ayat dan penempatannya di dalam susunan Al-Qur’an juga dilakukan berdasarkan petunjuk Nabi SAW.
B.Turunnya Al-Quran dengan Tujuh Huruf
Secara bahasa, pengertian kata  “harf” (jamaknya:ahruf) telah banyak dibahas oleh beberapa ahli. Secara etimologi,  harf berarti tepi/ujung terakhir dari sesuatu. Terkadang berarti sisi, arah, atau segi dari sesuatu. Arti lain adalah aksara (abjad), karena ia merupakan batas terputusnya suara atau ujung/akhir surat. Sedangkan pengertian kata  “tujuh”, ada yang mengartikannya secara harfiah, yakni sebagai sebuah bilangan dengan batasan yang jelas.
Ada juga yang mengartikannya secara makna, bahwa bilangan  “tujuh” bukanlah bilangan dalam arti sebenarnya, melainkan untuk maksud memudahkan, tidak mempersulit, dan memberi keleluasaan. Kata “tujuh” hanya menunjukkan pengertian jumlah yang banyak di dalam bilangan satuan.
Cukup banyak periwayatan hadist yang meredaksikan tentang penurunan Al-Qur’an dengan tujuh huruf. Hadist yang dianggap paling jelas, menurut Subhi As-Shalih,1 adalah hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Hadist ini menginformasikan bahwa suatu waktu Rasulullah SAW. mencegah Umar Ibn al-Khattab untuk melarang Hisyam Ibn Hakim memperdengarkan bacaan Al-Qur’an surat Al-Furqan yang sebagian dibaca dengan memakai beberapa “huruf” yang dianggap asing oleh ‘Umar. Rasulullah SAW menegaskan: (Al-Qur’an diturunkan dalam “tujuh huruf”, karena itu bacalah mana yang mudah dari Al-Qur’an).
Apabila orang Arab berbeda dialek dalam pengungkapan sesuatu makna dengan beberapa perbedaan tertentu, maka Al-Qur’an yang diwahyukan Allah kepada Rasulnya, menyempurnakan makna kemukjizatannya karena ia mencakup semua huruf dan ragam qiraah di antara lahjah-lahjah itu. Ini merupakan salah satu sebab yang memudahkan mereka untuk membaca, menghafal dan memahaminya.
Teks-teks hadist secara mutawatir mengemukakan mengenai turunnya Al-Qur’an dengan tujuh huruf (sab’atu ahruf). Di antaranya yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, berkata Rasulullah SAW bersabda :
“Jibril membacakan (Al-Qur’an) kepadaku dengan satu huruf. Kemudian berulang kali aku meminta agar huruf itu ditambah, Ia pun menambahnya kepadaku sampai dengan tujuh huruf”.
Dari “tujuh huruf” tadi, Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan maksud tujuh huruf ini. Dengan latar belakang di atas, tidak heran bila muncul berbagai macam interpretasi tentang “tujuh huruf”. Bahkan, kata Ibn Hayyan, perbedaan para ahli tentang makna  “tujuh huruf” ada sekitar 35 pendapat lebih.
Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:
Para Ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan maksud tujuh huruf ini dalam beberapa pendapat, yaitu:
1.      Sebagian besar ulama berpendapat bahwa tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa arab mengenai satu makna. Dikatakan bahwa tujuh bahasa tersebut adalah Quraisy, Huzail, Saqif, Hawazin, Kinanah dan Yaman. Namun dalam riwayat lain yang menyebutkan berbeda.
2.      Suatu kaum berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa arab dengan nama Al Qur’an diturunkan. Maksudnya adalah bahwa tujuh huruf yang betebaran di berbagai macam surat Al Qur’an, bukan tujuh bahasa yang berbeda dalam kata tetapi sama dalam makna.
3.      Sebagian ulama menyebutkan bahwa yang dimaksud tujuh huruf yaitu Amr (perintah),Nahi(larangan), Wa’ad (janji), Wa’id ( ancaman),  jadal (perdebatan), Qashas (cerita) dan Masal (perumpamaan). Atau Amr, nahi, halal, haram, muhkam,mutsyabih dan masal.
4.      Segolongan ulama berpendapat bahwa yang dimaksud tujuh huruf yaitu:
a.      Ikhtilaful Asma’ (perbedaan kata benda)
Yaitu dalam bentuk mufrad (tunggal), muzakkar (laki)dan cabang-cabangnya,seperti tasniyah,(double), jamak (plural)dan ta’nis(perempuan). Misalnya firman Allah (Al-Mukminun:8)
وَالَّذِينَ هُمْ لأمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ
Pada kata li amanatihim, bisa dibaca pendek pada huruf nun (li amanatihim) dengan makna tunggal, yaitu satu amanah saja. Namun bisa juga dibaca dengan panjang menjadi li amanaatihim dengan bentuk mufrad dan dibaca pula dengan bentuk jamak.
Sedangkan rasamnya (penulisannya) dalam bentuk mushaf adalah : لأمَانَتِهِمْ Yang memungkinkan kedua qiraat itu dibaca, baik pendek atau pun panjang, karena tidak adanya alif yang disukun.
Tetapi kesimpulan akhir dari kedua macam qiraat itu adalah sama. Sebab bacaan dengan bentuk jamak dimaksudkan untuk arti istighraq (keseluruhan) yang menunjukkan jenis-jenisnya.
Sedang bacaan dengan bentuk mufrad, dimaksudkan untuk jenis yang menunjukkan makna banyak. Yaitu semua jenis amanat yang mengandung bermacam-macam amanat yang banyak jumlahnya.
b.      Perbedaan dalam tashrif.
Contohnya seperti di dalam firman Allah SWT berikut ini:
رَبَّنَا بٰعِدْ بَيْنَ أَسْفَارِنَا
       Ya tuhan kami, jauhkanlah perjalanan kami (QS. Saba’: 19)
Lafadz rabbana oleh sebagian ulama dibaca dengan menasabkan (ربُّنا) karena menjadi munada mudhaf dan (بٰعِدْ) dibaca dengan bentuk perintah (fi’il amar).
Namun lafaz rabbana dibaca pula dengan tasrif yang berbeda menjadi rabbuna yang statusnya rafa’. Kedudukannya bukan sebagai 
Munada tetapi sebagai mubtada’. Dan kata ba’id berubah menjadi baa’ada. Dengan perbedaan pengucapan ini, maka artinya berubah menjadi,"Tuhan kami menjauhkan kami dalam perjalanan."[5]
c.       Perbedaan taqdim dan ta’khir
Perbedaan dalam taqdim (mendahulukan) dan ta’khir (mengakhirkan), baik terjadi pada huruf seperti firman-Nya: أفلم ييأ س dibaca (Ar-Ra’ad: 31), maupun di dalam kata seperti:  أفلم يأيس (At-Taubah: 111) di mana yang pertama dibaca dalam bentuk aktif, dan yang kedua dibaca dalam bentuk pasif, juga dibaca dengan sebaliknya, yaitu yang pertama dijadikan bentuk pasif dan yang kedua dibaca dalam bentuk aktif.
d.      Perbedaan dalam segi ibdal (penggantian)
Perbedaan dalam segi ibdal (penggantian), baik penggantian huruf dengan huruf, sepertiوانظرإلى العظام كيف نشزها (Al-Baqarah: 159) yang dibaca dengan huruf za’ dan mendhamahkan nun, tetapi juga dibaca dengan huruf ra’ dan menfathakan nun. Maupun menggantikan lafazh dengan lafazh, seperti firman-Nya:  كالعهن المنفوش(Al-Qari’ah: 5) Ibnu Mas’ud dan lain-lain membacanya dengan كالصوف النفوش. Terkadang penggantian ini terjadi pada sedikit perbedaan makhraj atau tempat keluar huruf, seperti:  طلح منصود(Al-Waqi’ah: 29), dibaca dengan  طلح منضودkarena makhraj ha’ dan ‘ain itu sama dan keduanya termasuk huruf halaq.
e.       Perbedaan dalam segi I’rab
Seperti firman Allah dalam Al-Qur’an : (QS. Yusuf:31)
مَا هٰذَا بَشَرًا

Jumhur ulama Qiraaat membacanya dengan nasab (accusative) menjadimaa hadzaa basyara, dengan alasan bahwa kata (ما) berfungsi seperti kata (ليس) dan ini adalah bahasa penduduk hijaz yang dalam bahasa inilah Qur’an diturunkan

Sedang Ibn Mas’ud membacanya dengan rafa’ (ماهذا بشرُ) menjadi maa hadza basyarun, sesuai dengan bahasa Bani Tamim, karena mereka tidak memfungsikan (ما) seperti (ليس).
f.       Perbedaan lahjah, seperti idzhar dan idham, fathah dan imalah.
Perbedaan lahjah dengan pembacaan tafkhim (tebal) dan tarqiq (tipis), fathah dan imalah, izhar dan idgham, hamzah dan tashil, isyam. Seperti membaca imalah dan tidak imalah seperti:  هل أتاك حد يث موسى (Thaha:9), yang dibaca dengan mengimalahkan kata  أتى dan موسى. Membaca taqriq huruf ra’ dalam خيرابصيراmentafkhimkan huruf lam dalam kata الطلاق, mentanhilkan (meringankan) huruf hamzah dalam ayat:  قدأفلح(Al-Muminun:1), huruf ghain dengan didhamahkan bersama kasrah dalam ayat:  وعيض الماء (Hud: 44) dan seterusnya. [6]
5.      Menurut sebagian ulama yaitu tujuh itu tidak diartikan harfiyah (bukan bilangan enam sampai delapan) tetapi bilangan tersebut hanya lambang kesempurnaan menurut kebiasaan orang arab.
Dengan demikian, maka kata tujuh adalah isyarat bahwa bahasa dan susunan al-Qur’an merupakan batas dan sumber utama dari perkataan semua orang Arab yang telah mencapai puncak kesempurnaan tertinggi. Sebab lafadz sab’ah [tujuh] dipergunakan pula untuk menunjukkan jumlah banyak dan sempurna dalam bilangan satuan, seperti tujuh puluh dalam bilangan puluhan, dan tujuh ratus dalam bilangan ratusan. Tetapi kata-kata itu tidak dimaksudkan untuk menunjukkan bilangan tertentu.
6.      Segolongan jumhur ulama berpendapat bahwa yang dimaksud tujuh huruf adalah tujuh qiraah.
Menurut jumhhur ulama’ Qiraah sab’ah ini semua riwatnya adalah mutawatir, para imam yang termasuk dalam Qira’ah sab’ah adalah:
a.       Nafi’ bin Abdurrahman (w.169 H.) di Madinah
Nama lengkapnya adalah Abu Ruwaim Nafi’ ibnu Abdurrahman ibnu Abi Na’im al-Laitsy, asalnya dari Isfahan. Dengan kemangkatan Nafi’ berakhirlah kepemimpinan para qari di Madinah Al-Munawwarah. Beliau wafat pada tahun 169 H. Perawinya adalah Qalun wafat pada tahun 12 H, dan Warasy wafat pada tahun 197 H.
Syaikh Syathiby mengemukakan: “Nafi’ seorang yang mulia lagi harum namanya, memilih Madinah sebagai tempat tinggalnya. Qalun atau Isa dan Utsman alias Warasy, sahabat mulia yang mengembangkannya.
b.      Ashim bin Abi Nujud Al-Asady (w. 127 H.) di Kufah
Nama lengkapnya adalah ‘Ashim ibnu Abi An-Nujud Al-Asady. Disebut juga dengan Ibnu Bahdalah. Panggilannya adalah Abu Bakar, ia adalah seorang tabi’in yang wafat pada sekitar tahun 127-128 H di Kufah. Kedua Perawinya adalah Syu’bah wafat pada tahun 193 H dan Hafsah wafat pada tahun 180 H.
Kitab Syathiby dalam sya’irnya mengatakan: “Di Kufah yang gemilang ada tiga orang. Keharuman mereka melebihi wangi-wangian dari cengkeh Abu Bakar atau Ashim ibnu Iyasy panggilannya. Syu’ba perawi utamanya lagi terkenal pula si Hafs yang terkenal dengan ketelitiannya, itulah murid Ibnu Iyasy atau Abu Bakar yang diridhai.
c.       Hamzah bin Habib At-Taymy (w. 158 H.) di Kufah
Nama lengkapnya adalah Hamzah Ibnu Habib Ibnu ‘Imarah az-Zayyat al-Fardhi ath-Thaimy seorang bekas hamba ‘Ikrimah ibnu Rabi’ at-Taimy, dipanggil dengan Ibnu ‘Imarh, wafat di Hawan pada masa Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur tahun 158 H. Kedua perawinya adalah Khalaf wafat tahun 229 H. Dan Khallad wafat tahun 220 H. dengan perantara Salim.
Syatiby mengemukakan: “Hamzah sungguh Imam yang takwa, sabar dan tekun dengan Al-Qur’an, Khalaf dan Khallad perawinya, perantaraan Salim meriwayatkannya.
d.      Ibnu amir al- yahuby (w. 118 H.) di Syam
Nama lengkapnya adalah Abdullah Al-Yahshshuby seorang qadhi di Damaskus pada masa pemerintahan Walid ibnu Abdul Malik. Pannggilannya adalah Abu Imran. Dia adalah seorang tabi’in, belajar qira’at dari Al-Mughirah ibnu Abi Syihab Al-Mahzumy dari Utsman bin Affan dari Rasulullah SAW. Beliau Wafat di Damaskus pada tahun 118 H. Orang yang menjadi murid, dalam qira’atnya adalah Hisyam dan Ibnu Dzakwan.
Dalam hal ini pengarang Asy-Syathiby mengatakan: “Damaskus tempat tinggal Ibnu ‘Amir, di sanalah tempat yang megah buat Abdullah. Hisyam adalah sebagai penerus Abdullah. Dzakwan juga mengambil dari sanadnya.
e.       Abdullah Ibnu Katsir (w. 130 H.) di Makkah
Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad Abdullah Ibnu Katsir Ad-Dary Al-Makky, ia adalah imam dalam hal qira’at di Makkah, ia adalah seorang tabi’in yang pernah hidup bersama shahabat Abdullah ibnu Jubair. Abu Ayyub Al-Anshari dan Anas ibnu Malik, dia wafat di Makkah pada tahun 130 H. Perawinya dan penerusnya adalah Al-Bazy wafat pada tahun 250 H. dan Qunbul wafat pada tahun 291 H.
Asy-Syathiby mengemukakan: “Makkah tempat tinggal Abdullah. Ibnu Katsir panggilan kaumnya. Ahmad Al-Bazy sebagai penerusnya. Juga  Muhammad yang disebut Qumbul namanya.
f.       Abu Amr Ibnul Ala (w. 154 H) di Basrah
Nama lengkapnya adalah Abu ‘Amr Zabban ibnul ‘Ala’ ibnu Ammar Al-Bashry, sorang guru besar pada rawi. Disebut juga sebagai namanya dengan Yahya, menurut sebagian orang nama Abu Amr itu nama panggilannya. Beliau wafat di Kufah pada tahun 154 H. Kedua perawinya adalah Ad-Dury wafat pada tahun 246 H. dan As-Susy wafat pada tahun 261 H.
Asy-Syathiby mengatakan “Imam Maziny dipanggil orang-orang dengan nama Abu ‘Amr Al-Bashry, ayahnya bernama ‘Ala, Menurunkan ilmunya pada Yahya Al-Yazidy. Namanya terkenal bagaikan sungai Evfrat. Orang yang paling shaleh diantara mereka, Abu Syua’ib atau As-Susy berguru padanya.
g.      Abu Ali Al- Kisa’i (w. 189 H) di Kufah
Nama lengkapnya adalah Ali Ibnu Hamzah, seorang imam nahwu golongan Kufah. Dipanggil dengan nama Abul Hasan, menurut sebagiam orang disebut dengan nama Kisaiy karena memakai kisa pada waktu ihram. Beliau wafat di Ranbawiyyah yaitu sebuah desa di Negeri Roy ketika ia dalam perjalanan ke Khurasan bersama Ar-Rasyid pada tahun 189 H. Perawinya adalah Abul Harits wafat pada tahun 424 H, dan Ad-Dury wafat tahun 246 H. [7]
Hikmah Turunnya Al-Qur’an dengan Tujuh Huruf adalah :
Mempermudah ummat Islam khususnya bangsa Arab yang dituruni Al-Qur’an sedangkan mereka memiliki beberapa dialeks (lahjah) meskipun mereka bisa disatukan oleh sifat kearabannya.
Seorang ahli tahqiq Ibnu Jazry berkata: Adapun sebabnya Al-Qur’an didatangkan dengan tujuh huruf, tujuannya adalah untuk memberikan keringanan kepada ummat, serta memberikan kemudahan sebagai bukti kemuliaan, keluasan, rahmat dan spesialisasi yang diberikan kepada ummat utama disamping untuk memenuhi tujuan Nabinya sebagai makhluk yang paling utama dan kekasih Allah SWT.
Dimana juga Jibril datang kepada Rasulullah SAW sambil berkata: Bahwa Allah SWT telah memerintahkan kamu untuk membacakan Al-Qur’an kepada ummatmu dengan satu huruf. Kemudian Nabi SAW menjawab: Saya akan minta ‘afiyah (kesehatan) dan pertolongan kepada Allah SWT karena ummatku tidak mampu. Beliau terus mengulang-ulang pertanyaan sampai dengan tujuh huruf.
Menyatukan ummat Islam dalam satu bahasa yang disatukan dengan bahasa Quraisy yang tersusun dari berbagai bahasa dikalangan suku-suku bangsa Arab yang berkunjung ke Makkah pada musim haji dan lainnya.
Hikmah lainnya yaitu:
1.      Untuk memudahkan bacaan dan hafalan bagi bangsa yang ummi, tidak bisa baca tulis, setiap kabilah yang mempunyai dialek masing-masing, namun tidak biasa menghafal sya’ir, apalagi mentradisikannya.
2.      Bukti kemukjizatan Al Qur’an terhadap fitrah kebahasaan orang arab.
3.      Kemukjizatan Al Qur’an dalam aspek makna dan hukum-hukumnya.
C.Pemeliharaan Al-Qur’an pada Masa Nabi
Pada masa Rasulullah SAW sudah banyak sahabat yang menjadi hafidz (penghafal Al-Qur’an), baik hafal sebagian saja atau seluruhnya. Di antara yang menghafal seluruh isinya adalah Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Talhah, Sa’ad, Huzaifah, Abu Hurairah, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Umar bin Khatab, Abdullah bin Abbas, Amr bin As, Mu’awiyah bin Abu Sofyan, Abdullah bin Zubair, Aisyah binti Abu Bakar, Hafsah binti Umar, Ummu Salamah, Ubay bin Ka’b, Mu’az bin Jabal, Zaid bin Tsabit, Abu Darda’, dan Anas bin Malik. Adapun sahabat-sahabat yang menjadi juru tulis wahyu antara lain adalah Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Amir bin Fuhairah, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’b, Mu’awiyah bin Abu Sofyan, Zubair bin Awwam, Khalid bin Walid, dan Amr bin As. Tulisan ayat-ayat Al-Qur’an yang ditulis oleh mereka disimpan di rumah Rasulullah SAW, mereka juga menulis untuk disimpan sendiri. Saat itu tulisan-tulisan tersebut belum terkumpul dalam satu mushaf seperti yang dijumpai sekarang. Pengumpulan Al-Qur’an menjadi satu mushaf baru dilakukan pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, setelah Rasulullah SAW wafat.[8]
Kenapa Al-Qur’an Tidak Dibukukan Dalam Satu Mushhaf (Pada Masa Nabi). Pengumpulan Al-Qur’an tidak dilakukan secara sekaligus, melainkan melalui beberapa masa, dimana kemudian menjadi suatu mushhaf yang utuh.
Di sini kita timbul pertanyaan, Kenapa Al-Qur’an pada masa Nabi SAW tidak dikumpulkan dan disusun dalam bentuk satu mushhaf?. Jawabnya adalah:
Pertama: Al-Qur’an diturunkan tidak sekaligus, tetapi berangsur-angsur dan terpisah-pisah. Tidaklah mungkin untuk membukukannya sebelum secara keseluruhannya selesai.
Kedua: Sebagian ayat ada yang dimansukhkan. Bila turun ayat yang menyatakan nasakh, maka bagaimana mungkin bisa dibukukan dalam satu buku.
Ketiga: Susunan ayat dan surat tidaklah berdasarkan urutan turunnya. Sebagian ayat ada yang turunnya pada saat terakhir wahyu tetapi urutannya ditempatkan pada awal surat. Yang demikian tentunya menghendaki perubahan susunan tulisan.
Keempat: Masa turunnya wahyu terakhir dengan wafatnya Rasululah SAW adalah sangat pendek/dekat. Kemudian Rasulullah SAW berpulang ke rahmatullah setelah sembilan hari dari turunnya ayat tersebut. Dengan demikian masanya sangat relatif singkat, yang tidak memungkinkan untuk menyusun atau membukukannya sebelum sempurna turunnya wahyu.
Kelima: Tidak ada motifasi yang mendorong untuk mengumpulkan Al-Qur’an menjadi satu mushhaf sebagaimana yang timbul pada masa Abu Bakar. Orang-orang Islam ada dalam keadaan baik, ahli baca Al-Qur’an begitu banyak, fitnah-fitnah dapat diatasi. Berbeda pada masa Abu Bakar dimana gejala-gejala telah ada banyaknya yang gugur dalam peperangan, sehingga khawatir kalau Al-Qur’an akan hilang/lenyap.
Jadi kalau Al-Qur’an sudah dibukukan dalam satu mushhaf, sedangkan situasi sebagaimana yang tersebut di atas, niscaya Al-Qur’an akan mengalami perubahan dan pergantian selaras dengan terjadinya naskh (ralat) atau munculnya sebab disamping perlengkapan menulis tidak mudah didapat.
Kondisi tidak akan membantu untuk melepaskan mushhaf yang lebih dahulu dan harus berpegang pada mushhaf yang baru karena tidak mungkin setiap bulan ada satu mushhaf yang mencakup tiap ayat Al-Qur’an yang diturunkan. Namun setelah masalahnya stabil yaitu dengan berakhirnya penurunan, wafatnya Rasulullah SAW, tidak lagi diralat, dan diketahuinya susunan, maka mungkinlah dibukukan menjadi satu mushhaf. Dan inilah yang dilakukan oleh Abu Bakar r.a. khalifah yang bijaksana.
Terdapat 3 unsur yang dapat memelihara Al-qur’an yang telah di turunkan, yaitu :
1.      Hafalan mereka yang hafal Al-qur’an.
2.      Naskah-naskah yang di tulis oleh Nabi SAW
3.      Naskah-naskah yang di tulis oleh mereka yang pandai menulis dan membaca untuk mereka masing-masing.
Ketika Nabi SAW wafat, Al-Qur’an tersebut telah sempurna di turunkan dan telah di hafalkan oleh ribuan manusia pada saat itu, dan telah di tuliskan semua ayat-ayatnya. Semua ayatnya telah disusun dengan tertib menurut urutan yang ditujukan sendiri oleh Nabi SAW. Mereka telah mendengar Al-Qur’an itu dari mulut Nabi SAW sendiri berkali-kali dalam shalat, dan Khutbah. Pendek kata Al-Qur’an tersebut telah terjaga dengan baik.
             Suatu hal yang menarik perhatiaan disaat Nabi SAW baru wafat dikala Al-Qur’an itu telah cukup diturunkan, dan Al-Qur’an itu sempurna di turunkan di waktu Nabi SAW telah mendekati masanya untuk kembali ke hadirat Allah SWT. Hal ini bukan suatu kebetulan saja, tapi telah di atur oleh Allah SWT.
D.Pemeliharaan Al-Qur’an pada Masa Khulafaurrasyidin
Setelah Rasullah SAW wafat, pemerintahan islam di pegang oleh Abu Bakar. Ketika Abu Bakar menjabat menggantikan Rasulullah SAW, dia menghadapi beberapa pristiwa-pristiwa besar berkenaan dengan kemurtadan sebagai orang arab. Karena itu beliau menyiapkan pasukan dan mengirimkan untuk memerangi orang-orang murtad itu.
1.Pemeliharaan Al-Qur’an pada Masa Abu Bakar
        Salah satu peperangan yang terjadi adalah peperangan Yahmamah yang terjadi pada tahun 12 H yang melibatkan para penghafal Al-Qur’an, dalam peperangan ini terdapat 70 qurra’ atau hafis Al-qur’an yang gugur. Umar bin Khatab merasa resah dengan banyaknya para sahabat penghafal Al-Qur’an wafat terbunuh dalam peperangan, lalu Umar bin Khatab menghadap ke Abu Bakar dan menyampaikan berita tentang banyaknya qurra’ yang wafat, setelah itu Umar mengumpulkan agar Al-Qur’an di mushaf kan agar Al-Qur’an tidak di musnahkan, karna itu Umar khwatir banyaknya nanti para penghafal Al-Qur’an terbunuh kembali dalam peperangan selanjutnya. [9]
          Pada awalnya Abu Bakar menolak pendapat Umar bin Khatab tersebut, lantaran hal tersebut tidak pernah di lakukan Rasullah SAW. Tetapi Umar menjawab dan bersumpah “ Demi Allah, perbuatan itu baik” Umar pun terus menunjuk Abu Bakar dan terus memberikan alasan-alasan yang baik, terhadap apa yang sedang terjadi pada umat islam pada waktu itu, dengan izin Allah SWT hati Abu Bakar pun terbuka atas usul yang telah Umar  sampaikan kepadanya. Setelah itu Abu Bakar menujuk salah satu sahabat yang membutuhkan Al-Qur’an ( mushaf ) yaitu Zaid bin Tsabit. Zaid bin Tsabit pun pada awalnya menolak, atas izin Allah SWT hati Zaid pun terbuka dengan penjelasan dari Abu Bakar, Zaid berkata “Demi Allah ini adalah pekerjaan yang berat bagiku. Seandainya aku di perintahkan untuk memindahkan sebuah bukit maka hal itu tidak lah berat bagiku dari pada mengumpulkan Al-Qur’an yang engkau perintahkan itu”. Zaid dalam usaha menngumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an itu Zaid bin Tsabit bekerja amat teliti. Sekalipun beliau hafal Al-Qur’an seluruhnya, tetapi untuk kepentingan mengumpulkan Al-Qur’an yang sangat penting bagi umat islam, masih memandang perlu mencocokkan hafalan dan catatan sahabat-sahabat yang lain dengan disaksikan oleh dua orang saksi. [10]
          Dengan demikian Al-Qur’an seluruhnya telah ditulis oleh Zaid bin Tsabit dalam lembaran-lembaran yang disusun dengan benar. Tersusun menurut ayat-ayatnya sebagai mana telah ditetapkan oleh Rasullah SAW, kemudian diserahkan kepada Abu Bakar. Mushaf ini tetap di Abu Bakar sampai beliau wafat, kemudian di pindahkan ke rumah Umar bin Khatab dan tetap di sana slama pemerintahannya. Setelah beliau wafat, mushaf itu di pindahkan ke rumah Hafsah, putri Umar , istri Rasullah SAW sampai masa pengumpulan dan penyusunan Al-Qur’an di masa Khalifa Utsman.

2.Pemeliharaan Al-Qur’an pada Masa Umar bin Khatab
          Setelah khalifah Abu Bakar wafat, maka di gantikan oleh khalifatul mukminin yaitu Umar bin Khatab. Demikian juga halnya mushaf, yang dahulunya di simpan oleh Abu Bakar maka setelah Umar menjadi khalifah mushaf tersebut berpindah tangan ke Umar bin Khatab
          Pada masa khalifah Umar ini tidak membicarakan Al-Qur’an melainkan lebih memfokuskan pada pengembangan ajaran islam dan wilayah kekuasaan Islam, serta mengendepankan ajaran Islam. Al-Qur’an juga tidak di pahami secara tekstual saja, tapi lebih jauh lagi di pahami secara kontekstual.
3.Pemeliharaan   Al-qur’an pada Masa Utsman bin Affan
          Di masa Ustman bin Affan, pemerintahan mereka telah sampai ke Armenia dan Azarbaiyan di sebelah Timur dan Tripoli di sebelah Barat. Dengan demikian kelihatanlah bahwa kaum muslimin di waktu itu telah terpencar-pencar di Mesir, Irak, Persia dan Afrika. Kemanapun mereka pergi dan mereka tinggal, Al-Qur’an itu tetap menjadi imam mereka, di antara mereka banyak menghafal Al-Qur’an. Pada mereka terdapat naskah-naskah Al-Qur’an, tetapi naskah-naskah yang mereka punya itu tidak sama susunan surat-suratnya. Asal mulanya perbedaan tersebut  adalah karena Rasullah SAW sendiripun memberikan kelonggaran kepada kabila-kabilah arab yang berada di masanya untuk membaca dan melafalkan Al-Qur’an itu menurut dialok mereka masing-masing. Kelonggaran ini di berikan oleh Nabi supaya mereka, menghafal Al-Qur’an. Tetapi kemudian terlihat tanda-tanda bahwa perbedaan bacaan tersebut bila di biarkan akan mendatanngkan perselisihan dan perpecahan yang tidak di inginkan dalam kalangan kaum Muslimin. [11]
          Orang pertama yang memperhatikan hal ini adalah seorang sahabat yang bernama Huzaifah     bin Yaman. Ketika beliau ikut dalam pertempuran menaklukan Armenia di Azerbaiyan, dalam perjalanan dia pernah mendengar pertikaian kaum Muslimin tentang bacaan beberapa ayat Al-Qur’an, dan pernah mendengar perkataan seorang muslim kepada temannya : “bacaan saya lebih baik dari pada bacaanmu”.
          Keadaan ini mengagetkanya, pada waktu dia telah kembali ke Madinah, segera ditemuinya Ustman bin Affan dan kepada beliau ceritakannya apa yang di lihatnya mengenai pertingkaian kaum muslimin tentang bacaan Al-Qur’an itu seraya berkata : “Susunlah umat Islam itu sebelum mereka berselisih tentang Al-kitab, sebagai perselisihan Yahudi dan Nasara ( Nasrani )”.
          Maka khalifah Utsman bin Affan meminta Hafsah binti Umar lembaran-lembaran Al-Qur’an yang di tulis di masa khalifah Abu Bakar yang di simpan olehnya untuk di salin. Utsman membentuk satu panitia yang terdiri dari Zaid bin Tsabit sebagai ketua, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin ‘Ash dan Abdur Rahman bin Haris bin Hisyam.
Tugas panitia ini adalah membukukan Al-Qur’an dengan menyalin dari lembaran-lembaran tersebut menjadi buku. Dalam pelaksanaan tugas ini, Ustman menasehatkan agar:
a.       Mengambil pedoman kepada bacaan mereka yang hafal Al-Qur’an.
b.      Bila ada pertikaian antara mereka tentang bahasa (bacaan),
maka haruslah dituliskan sebagai dialog mereka.
Maka tugas tersebut dikerjakan oleh para panitia, dan setelah tugas selesai, maka lembaran-lembaran Al-Qur’an yang dipinjam dari hafsah itu dikembalikan padanya.
Al-Qur’an yang telah dibukukan itu dinamai dengan “Al-Mushaf”, dan oleh panitia ditulis lima buah Al-mushaf, empat buah diantaranya dikirim ke Mekkah, Damaskus, Basrah dan Kufah, agar di tempat-tempat tersebut disalin pula dimasing-masing Mushaf itu, dan satu buah ditinggalkan di Madinah, untuk Utsman sendiri, dan itulah yang dinamai dengan “Mushaf Al-Imam”. [12]
Setelah itu Utsman memerintahkan mengumpulkan semua lembaran-lembaran yang bertuliskan Al-Qur’an yang ditulis sebelum itu dan membakarnya. Maka dari Mushaf yang ditulis di zaman Utsman itulah kaum Muslimin di seluruh pelosok menyalin Al-Qur’an itu.
Dengan demikian, maka pembukuan Al-Qur’an dimasa Utsman memiliki faedah diantaranya.
a.       Menyatukan kaum Muslimin pada satu macam Mushaf  yang seragam ejaan tulisannya.
b.      Menyatukan bacaan, walaupun masih ada kelainan bacaan, tapi bacaan itu tidak berlawanan dengan Mushaf-Mushaf Utsman. Sedangkan bacaan yang tidak sesuai dengan ejaan Mushaf-Mushaf Utsman tidak dibolehkan lagi.
c.       Menyatukan tertib susunan surat-surat, menurut tertib urut seperti pada Mushaf-Mushaf sekarang. [13]
4.Pemeliharaan   Al-Qur’an pada Masa Ali bin Abi Thalib
            Pada masa Utsman bin Affan Al-Qur’an belum memiliki harkat dan tanda baca, maka diadakanlah penyempurnaan pada masa Ali bin Abi Thalib. Pada masa ini Al-Quran sudah diberi harkat dan tanda baca, secara berangsur-angsur terus disempurnakan. Tercatat tiga nama disebut-sebut sebagai orang yang pertama kali meletakkan tanda titik  pada mushaf Utsmani yaitu Al-Aswad Ad-Du’ali, yahya ibn ya’mar (45-129H) dan Nashr ibn ‘Ashim Al-Laits. Sedangkan orang yang disebut-sebut pertama kali meletakkan hamzah, tasydid, Ar-Raum, dan Al-Isymam adalah al-khalil ibn ahmad Al-Farahidi Al-Azdi yang diberi kunyah Abu Abdurrahman (175H).   
            Penyempurnaan tulisan Al-Qur’an terus dilakukan, hal ini dibuktikan dengan adanya perintah khalifah Al-Walid (86-96H) kepada Khalid Abi hayyaj yang terkenal dengan keindahan tulisannya untuk menulis dibunduqiyyan pada tahun 1930 M, tetapi ketika dikeluarkan, penguasa gereja mengeluarkan perintah pemusnahan kitab suci agama Islam. Terakhir Al-Qur’an dicetak di Hamburgh (Jerman) pada tahun 1113 H.
            Disamping perhatian Ali bin Abi Thalib terhadap penyempurnaan tulisan Al-Qur’an, beliau juga memperhatikan kodifikasi ulumul Al-Qur’an, ia memerintahkan Abu Al-Aswad Ad-Dau’li untuk menetapkan dasar-dasar qaidah bahasa Arab bagi Al-Qur’an maka muncullah Ilmu Nahwu yang diikuti dengan ilmu ‘irab Al-Qur’an. Perintah ali inilah yang membuka gerbang pengkondifikasian ilmu-ilmu bahasa Arab. [14]    


BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Adapun kesimpulan yang dapat kita ambil dari penjelasan di atas yaitu:
  1. Dengan kita mengetahui bagaimana sejarah turunnya Al-Quran ke bumi ini, maka kita akan semakin mencintai Al-Quran itu karena kita tahu betapa istimewanya Al-Quran, mulai dari sejarah penururnannya, penulisannya sampai pada pemeliharaan Al-Quran itu.
  2. Pengumpulan Al-Qur’an pada masa Rasulullah, yaitu bahwa semua Al-Qur’an itu telah dituliskan dan telah tersusun berdasarkan petunjuk Rasul, walaupun sutat-suratnya belum tersusun seperti apa yang dilihat sekarang ini dan tulisan-tulisannya belum terhimpun dalam satu kesatuan yang terdiri dari benda-benda yang seragam, baik bahannya maupun ukurannya.
  3. Pengumpulan Al-Qur’an di masa Abu Bakar ini ialah bahwa Al-Qur’an itu terkumpul di dalam satu mushhaf yang terbuat dari lembaran-lembaran yang seragam, baik bahannya maupun ukurannya, dan ayat-ayatnya tetap tersusun sesuai yang telah ditunjukkan Rasulullah.
  4. Pengumpulan AL-Qur’an pada masa Usman bin Affan adalah menyeragamkan bacaan Al-Qur’an dengan jalan menyeragamkan penulisannya kemudian membukukannya dengan menyalinkan kembali ayat-ayat Al-Qur’an yang sudah ditulis pada masa Abu Bakar, sehingga menjadi mushhaf yang lebih sempurna yang akan dijadikan standar bagi seluruh kaum muslimin sebagai sumber bacaan dan hafalan lalu diperbanyak dan dikirimkan ke daerah-daerah.
 B.SARAN
Sebagai umat Islam, kita haruslah berpegang kepada Al-Quran dengan membaca, memahami dan mengamalkan serta menyebarluas ajarannya. Bagi mereka yang mencintai dan mendalaminya akan mengambil iktibar serta pengajaran, lalu menjadikannya sebagai panduan dalam meniti kehidupan dunia menuju akhirat yang kekal abadi.

DAFTAR PUSTAKA

1.      Nasrun Jami’ Daulay, Ulum Al-Qur’an, Cipta Pustaka Media Perintis, Bandung, 2010.
2.      Manna’ Al-Qaththan, Mabaahits fie ‘Uluumil Qur’aan, atau Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, terj. H. Aunur Rafiq El-Mazni, (Pustaka Al-Kautsar, 2004).
3.      Ali Hasan, Sejarah Dan Metodelogi Tafsir, Terj Arkom Jakarta, Rajawali, 1992.
4.      Asril Aidah Ritonga, Ilmu-Ilmu Al-Quran, Cipta Pustaka Media Perintis, Bandung, 2013.
5.      Mudzakir AS, Studi Ilmu-Ilmu Al-qur’an, (Bogor: Pustaka Litera Antarnusa, 2004).
6.      Hasanuddin Hf, Perbedaan Qiraat dan Pengaruhnya Terhadap Isthimbat Hukum Dalam Al-Qur’an, Jakarta, PT.Raja Grafindo Persada,1995.
7.      Manna’ Khalil Al-Qattan, studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Terj. Mudzakkir As, Jakarta pustaka Litera Antar Nusa.
8.      As-Shalih Subhi, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2008.
9.      Muhammad Nur Ichwan, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur'an, (Semarang, Rasail Media Group, 2008).
10.  A. Chaerudji Abdul Chalik, Ulumul Al-Qur’an, Jakarta : Diadit Media, 2007.





[1]. Nasrun Jami’ Daulay, Ulum Al-Qur’an, Cipta Pustaka Media Perintis, Bandung, 2010.
[2].Syaikh Manna’ Al Qaththan, Mabahits Fii ‘Ulumil Quran, diterjemahkan oleh H. Aunur  Rafiq El-Mazni, Pengantar Studi Ilmu Al Quran, Pustaka Al Kautsar, 2006. Hal 124.
[3]. Ibid
[4]. Ibid
[5]. As-Shalih Subhi, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2008.
[6]. Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur'an, (Semarang, Rasail Media Group, 2008), hlm, 201.
[7]. A. Chaerudji Abdul Chalik, Ulumul Al-Qur’an, Jakarta : Diadit Media, 2007. Hal. 177-178
[8]. Jalal Al-Din Al-Sayuthi, Al-Itqan Fi Ulumul Al-Qur’an, Yokyakarta, Dana Bhakti Prima Yasa, 1998, Hal 101.
[9]. Ibid hlm 159-210
[10]. Manna’ Khalil Al-Qattan, studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Terj. Mudzakkir As, Jakarta pustaka Litera Antar Nusa, 1994, Hal.190.
[11]. Ali Hasan, Sejarah Dan Metodelogi Tafsir, Terj Arkom Jakarta, Rajawali, 1992, Hal 14.
[12]. Ibid
[13]. Asril Aidah Ritonga, Ilmu-Ilmu Al-Quran, Cipta Pustaka Media Perintis, Bandung, 2013. Hal 3-8.
[14]. Hasanuddin Hf, Perbedaan Qiraat dan Pengaruhnya Terhadap Isthimbat Hukum Dalam Al-Qur’an, Jakarta, PT.Raja Grafindo Persada,1995, hal 96. 

Tidak ada komentar: