OLEH YUSWADI
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dewasa ini
kehidupan ekonomi telah menjadi standar kehidupan individu dan kolektif suatu
Negara bangsa. Keunggulan suatu negara diukur berdasarkan tingkat kemajuan
ekonominya. Ukuran derajat keberhasilan menjadi sangat materialistik. Oleh karena
itu, ilmu ekonomi menjadi amat penting bagi kehidupan suatu bangsa. Namun
demikian, pakar ilmu ekonomi sekaliber Masrhal menyatakan bahwa kehidupan dunia
ini dikendalikan oleh dua kekuatan besar; ekonomi dan keimanan (agama), hanya
saja kekuatan ekonomi lebih kuat pengaruhnya daripada agama.
Demikian juta peradaban Islam yang gemilang di masa silam tidak mungkin
terwujud tanpa dukungan kekuatan ekonomi dan ilmu ekonominya. Kini kita perlu
menggabungkan dua kekuatan kehidupan hidup manusia untuk disatukan dalam apa
yang kita sebut membangun pemikiran dan disiplin ekonomi Islam dalam kerangka
kerja pembangunan sosial budaya dan politik.
Kontribusi kaum
Muslimin yang sangat besar terhadap kelangsungan dan perkembangan pemikiran
ekonomi pada khususnya dan peradaban dunia pada umumnya, telah diabaikan oleh
para ilmuwan Barat. Para sejarawan Barat telah menulis sejarah ekonomi dengan
sebuah asumsi bahwa periode antara Yunani dan Skolastik adalah steril dan tidak
produktif. Sebagai contoh, sejarawan sekaligus ekonom terkemuka, Josep
Schumpeter, sama sekali mengabaikan peranan kaum Muslimin. Ia memulai penulisan
sejarah ekonominya dari para filosof Yunani dan langsung melakukan loncatan
jauh selama 500 tahun, dikenal sebagai The Great Gap, ke zaman St.Thomas
Aquinas (1225-1274 M).
Sebaliknya,
meskipun telah memberikan kontribusi yang besar, kaum Muslimin tidak lupa
mengakui utang mereka kepada para ilmuwan Yunani, Persia, India dan Cina. Hal
ini sekaligus mengindikasikan inklusivitas para cendekiawan Muslim masa lalu
terhadap berbagai ide pemikiran dunia luar selama tidak bertentangan dengan
ajaran Islam.
Berbagai praktek
dan kebijakan ekonomi yang berlangsung pada masa Rasulullah Saw dan Al-Khulafa’
Ar-Rasyidin
merupakan empiris yang dijadikan pijakan bagi para cendekiawan Muslim dalam
melahirkan teori-teori ekonominya. Satu hal yang jelas, fokus perhatian mereka
tertuju pada pemenuhan kebutuhan, keadilan, efisiensi, pertumbuhan dan
kebebasan, yang tidak lain merupakan objek utama yang menginspirasikan
pemikiran ekonomi Islam sejak masa awal.
B. Rumusan Masalah
1. Apa
Pengertian Ekonomi Islam
2. Apa
Perkembangan Pemikiran Ekonomi Islam Klasik
3.
Bagaimana
Madzhab
Klasik Adam Smith dan Terjadinya Missing Link Sejarah Pemikiran Ekonomi
C. Manfaat
1. Untuk
mengetahui Pengertian Ekonomi Islam
2. Untuk
mengetahui Perkembangan Pemikiran Ekonomi Islam Klasik
3. Untuk mengetahui Madzhab Klasik Adam
Smith dan Terjadinya Missing Link Sejarah Pemikiran Ekonomi
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Ekonomi Islam
Pada dasarnya
persoalan ekonomi sama tuanya dengan keberadaan manusia itu sendiri. Akan
tetapi, bukti-bukti konkret paling awal yang bisa ditelusuri ke belakang hanya
hingga masa masa Yunani kuno.[1]
Sedangkan dalam pemikiran ekonomi Islam, bahwa pemikiran ekonomi Islam
merupakan respon para pemikir muslim terhadap tantangan-tantangan ekonomi pada
masa mereka. Pemikiran ekonomi tersebut diilhami dan dipandu oleh ajaran Al-Qur’an dan sunnah, ijtihad (pemikiran)
dan pengalaman empiris mereka. Objek kajian dalam pemikiran ekonomi Islam
bukanlah ajaran tentang ekonomi, tetapi pemikiran para ilmuan islam tentang
ekonomi dalam sejarah atau bagaimana mereka memahami ajaran Al-Quran dan sunnah
tentang ekonomi. Objek pemikiran ekonomi islam juga mencakup bagaimana sejarah
ekonomi Islam yang terjadi dalam praktik historis.
Menurut Muhammad Najatullah Ash-shiddiqy
pemikiran ekonomi islam adalah respon para pemikir muslim terhadap
tantangan-tantangan ekonomi pada masa mereka. Pemikiran ekonomi tersebut
diilhami dan dipandu oleh ajaran Al-quran sunnah, ijtihad (pemikiran) dan
pengalaman empiris mereka. Objek kajian dalam pemikiran ekonomi islam bukanlah
ajaran tentang ekonomi, tetapi pemikiran para ilmuan islam tentang ekonomi
dalam sejarah atau bagaimana mereka memahami ajaran Al-quran dan sunnah tentang
ekonomi. Objek pemikiran ekonomi islam juga mencakup bagaimana sejarah ekonomi
islam yang terjadi dalam praktik historis.[2]
Pemikiran adalah sebuah proses
kemanusiaan, namun ajaran Al-quran dan sunnah bukanlah pemikiran manusia. Yang
menjadi objek kajian dalam pemikiran ekonomi Islam bukanlah ajaran Al-quran dan
sunnah tentang ekonomi tetapi pemikiran para ilmuwan Islam tentang ekonomi
dalam sejarah atau bagaimana mereka memahami ajaran Al-quran dan Sunnah tentang
ekonomi.[3] Obyek pemikiran ekonomi Islam juga
mencakup bagaimana sejarah ekonomi Islam yang terjadi dalam praktek historis.
Dengan demikian, bagaimana usaha manusia dalam menginterpretasi dan
mengaplikasikan ajaran Alquran pada waktu dan tempat tertentu dan bagaimana
orang-orang dahulu mencoba memahami dan mengamati kegiatan ekonomi juga
menganalisa kebijakan-kebijakan ekonomi yang terjadi pada masanya.[4]
Merujuk pada
al-Qur’an (5:66), ekonomi Islam diidentikkan dengan iqtisad (muqtashid;
golongan pertengahan), atau bisa diartikan menggunakan rezeki yang ada di
sekitar kita dengan cara berhemat agar kita menjadi manusia-manusia yang baik
dan tidak merusak nikmat apapun yang diberikan kepadanya. Uraian di atas dapat
diambil kesimpulkan bahwa ekonomi Islam bukan nama baku dalam terminology
Islam, tidak ada peraturan atau undang-undang yang menyatakan harus bernama
ekonomi Islam. Iqtishadia, Sehingga bisa saja orang mengatakan ekonomi syariah,
ekonomi ilahiyah, ekonomi Qur’ani, ataupun ekonomi saja. Namun nama ekonomi
Islam lebih popular dikarenakan masyarakat lebih mudah mengidentifikasi nama
Islam di mana nama tersebut lebih familiar dengan masalah masyarakat
sehari-hari.[5]
Ahram Khan berpendapat ekonomi Islam atau ekonomi syariat adalah “Islamic
ecomic aims the wtudy of human falah (well being) achieved by organizing the
resources of the earth on the basic of cooperation and participation” (ilmu
ekonomi Islam adalah ilmu yang bertujuan untuk melakukan kajian tentang
kebahagian hidup manusia (human falah) yang dicapai dengan mengorganisasikan
sumber daya alam atas dasar gotong royong dan partisipan). Sekilas dapat
disimpulkan bahwa definisi di atas bermaksud memberikan muatan normatif dalam
tujuan-tujuan aktifitas ekonomi yakni kebahagiaan atau kesuksesan hidup manusia
yang tidak saja di dunia akan tetapi juga di akhirat nanti. Definisi ini secara
implicit juga menjelaskan tentang cara yang harus ditempuh untuk mencapai
tujuan itu, yaitu berupa kerja sama (ta’awun) dan partisipasi aktif dalam mencapai
tujuan yang baik.[6]
Hampir sama apa yang dikemukakan oleh Mannan,[7]
ekonomi Islam adalah “Islamics problems of a people imbued with the economics
problems of a people imbued with the values of Islam” (Ilmu ekonomi Islam
adalah ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi
masyarakat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam). Definisi di atas dapat
ditarik kesimpulan bahwa ilmu ekonomi Islam tidak hanya mempelajari individu
sosial melainkan juga manusia dengan bakat relegius manusia itu sendiri. Hal
ini disebabkan banyaknya kebutuhan dan kurangnya saran, maka timbullah masalah
ekonomi, baik dalam ekonomi modern maupun dalam ekonomi Islam.[8]
Istilah-istilah
di atas menjelaskan antara ekonomi dan Islam. Dengan adanya lebel Islam dalam
ekonomi, ini berarti menjadi dasar hukum bahwa ekonomi itu bukanlah ekonomi
konvensional. Dari sumber hukum ini yang menyebabkan ilmu ekonomi ini disebut
“ekonomi Islam”, atau kalau dihubungkan, berarti ekonomi Islam adalah sebuah
ilmu yang didasarkan atas al-Qur’an dan Hadis. Ini berarti bahwa kata Islam
sebagai syarat suatu perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhan didasarkan atas
pedoman ekonomi Islam. Maka kalau kata ekonomi tidak disandingkan dengan kata
Islam, maka tidak menggunakan dasar al-Qur’an dan hadis. Namun, hal ini akan
menimbulkan masalah apabila dalam praktiknya ekonomi Islam tidak sesuai dengan
apa yang diidealkan, sehingga menyebabkan Islam akan kehilangan makna sebagai
pedoman yang paling sempurna untuk manusia.[9]
Oleh karena itu,
nama ekonomi Islam sangat dipengaruhi oleh mainset dan penafsiran kaum muslimin
terhadap praktik ekonomi Islam yang kita temukan. Apabila pengalaman ekonomi
Islam berkaitan dengan aturan-aturan tentang perintah dan larangan semata, maka
nama ekonomi Islam lebih banyak berkaitan
dengan norma. Justru, interpretasi ini akan membangun paradigma bahwa ekonomi Islam sebagai ilmu
normative. Bila pengalaman yang kita temukan banyak berkaitan tentang persoalan
actual, misalnya praktik lembaga keuangan syariah dan praktik zakat maka
menghasilkan ekonomi Islam yang lebih berbeda.[10]
B.
Perkembangan
Pemikiran Ekonomi Islam Klasik
Praktek dan kebijakan ekonomi yang
berlangsung pada masa Rasulullah Saw dan Al-Khulafa’ Ar-Rasyidin merupakan
empiris yang dijadikan pijakan bagi para cendekiawan Muslim dalam melahirkan
teori-teori ekonominya. Satu hal yang jelas, fokus perhatian mereka tertuju
pada pemenuhan kebutuhan, keadilan, efisiensi, pertumbuhan dan kebebasan, yang
tidak lain merupakan objek utama yang menginspirasikan pemikiran ekonomi Islam
sejak masa awal.
Berkenaan dengan
hal tersebut, sejarah pemikiran ekonomi Islam dibagi dalam tiga fase, yaitu:
fase dasar-dasar ekonomi Islam, fase kemajuan dan fase stagnasi, sebagai
berikut:
a. Fase Pertama.
Fase pertama
merupakan fase abad awal sampai dengan abad ke-5 Hijriyah atau abad ke-11
Masehi yang dikenal sebagai fase dasar-dasar ekonomi Islam yang dirintis oleh
para fuqaha, diikuti oleh sufi dan kemudian filosof. Pemikiran ekonomi Islam
pada tahap ini banyak ditemukan dalam kitab-kitab turats (peninggalan ulama).[11]
Dari turats itulah para intelektual Muslim maupun non-Muslim melakukan kajian,
penelitian, analisis, dan kodifikasi pemikiran-pemikiran ekonomi Islam yang
pernah ada atau dikaji pada masa itu. Pemikiran-pemikiran ekonomi yang terdapat
dalam kitab tafsir, fiqih, tasawuf dan lainnya, adalah produk ijtihad sekaligus
interpretasi mereka terhadap sumber Islam saat dihadapkan pada berbagai
kegiatan-kegiatan ekonomi dan persoalan-persoalan ekonomi yang dihadapi masa
itu.
Pada awalnya,
pemikiran mereka berasal dari orang yang berbeda, tetapi di kemudian hari, para
ahli mempunyai dasar pengetahuan dari ketiga disiplin tersebut. Fokus fiqih
adalah apa yang diturunkan oleh syariat dan, dalam konteks ini, para fuqaha
mendiskusikan fenomena ekonomi. Tujuan mereka tidak terbatas pada penggambaran
dan penjelasan fenomena ini. Namun demikian, dengan mengacu pada Al-Qur’an dan
Hadits Nabi, mereka mengeksplorasi konsep maslahah (utility) dan mafsadah
(disutility) yang terkait dengan aktivitas ekonomi.
Tokoh-tokoh pemikir ekonomi Islam
pada fase pertama ini antara lain diwakili oleh:
1.
Zaid bin Ali (10-80 H/699-738 M)
Zaid bin Ali
berpandangan bahwa penjualan suatu barang secara kredit dengan harga yang lebih
tinggi dari pada harga tunai merupakan salah satu bentuk transaksi yang sah,
selama transaksi kredit tersebut di dasari oleh ‘aqd, atau prinsip saling ridho
antar kedua belah pihak.[12] Laba
dari perkreditan adalah murni dari bagian perniagaan dan tidak termasuk riba.
Keuntungan yang diperoleh pedagang yang menjual secara kredit merupakan suatu
bentuk kompensasi atas kemudahan yang diperoleh seseorang dalam membeli suatu
barang. Meskipun demikian, penjualan secara kredit tidak serta merta
mengindikasikan bahwa harga lebih tinggi selalu berkaitan dengan jangka waktu,
melainkan menjual secara kredit dapat pula ditetapkan dengan harga rendah,
sehingga lebih mempermudah dan menambah kepuasan konsumen.
2.
Abu Hanifah (80-150 H/699-767 M)
Ahli hukum besar
ini merupakan seorang pedagang yang beroperasi di Kufah, di mana pusat kegiatan
perdagangan berkembang pesat di sana. Salah satu transaksi yang sangat populer
saat itu adalah bai’ as-salam, yaitu menjual barang yang akan dikirimkan
kemudian, sedangkan pembayaran dilakukan secara tunai pada waktu akan disepakati.
Abu Hanifah meragukan keabsahan akad tersebut yang dapat mengarah kepada
perselisihan. Ia mencoba menghilangkan perselisihan ini dengan merinci lebih
khusus apa yang harus diketahui dan dinyatakan dengan jelas di dalam akad
seperti jenis komoditi, mutu dan kuantitas serta waktu dan tempat pengiriman.[13]
Abu Hanifah
mengusung nilai-nilai kemanusiaan dalam metode hukumnya. Ia mengkhawatirkan
masyarakat miskin dan lemah. Dengan demikian, ia tidak membebaskan perhiasan
dari zakat. Namun ia membebaskan orang yang memiliki utang dari zakat jika
utangnya menutupi seluruh harta miliknya. Ia juga menolak untuk mengesahkan
bagi hasil (muzara’ah) dalam kasus tanah yang tidak menghasilkan apa-apa, untuk
melindungi pihak yang lemah.
3.
Al-Awza’i (88-157 H/707-774 M)
Abdurrahman Al-
Al-Awza’i berasal dari Beirut, hidup sezaman dengan Abu Hanifah. Ia menegakkan
kebebasan akad untuk memudahkan orang dalam bertransaksi. Ia mengizinkan bagi
hasil (mudharabah) dari modal yang diajukan, baik modal dalam bentuk tunai atau
pun modal dalam bentuk barang. Sementara para ahli fiqih lainnya bersikeras
menetapkan bahwa modal itu dalam bentuk tunai.
4.
Malik (93-179 H/717-796 M)
Metode Imam
Malik yang relevan untuk ekonomi adalah pendekatan hukumnya yang menggunakan
metode maslahah (utilitas, apakah individu atau sosial).
Berdasarkan metode maslahahnya,
negara Islam berhak memungut pajak dari rakyatnya.
5.
Abu Yusuf (113-182 H/731-798 M)
Abu Yusuf Ya’qub
bin Ibrahim dilahirkan di Kufah. Ia pernah menyandang gelar ahli hukum (qadhi
al-qudhat) pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid. Ia murid tersohor imam Abu
Hanifah. Kitabnya al-Kharaj, sempat menjadi panduan manual perpajakan pada
masa pemerintahan Harun al-Rasyid. Kitabnya ini merupakan jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Khalifah Harun al-Rasyid dan
pertanyaan-pertanyaan yang dibuat oleh dirinya sendiri. Istilah “al-Kharāj”
sendiri dalam perspektif Abu Yusuf mengandung dua makna: Pertama, makna yang
berdimensi umum yaitu al-amwal
al-‘ammah (keuangan
publik), atau sumber pendapatan negara. Hal ini terlihat ketika Abu Yusuf
mendiskusikan tema-tema yang berkaitan dengan sumber pendapatan negara
seperti ghanimah, fai’, al-Kharaj, al-jizyah, dan harta-harta yang
berkedudukan sebagai pengganti seperti al-Kharaj dan shadaqah.
Kedua,
makna al-Kharāj yang berdimensi khusus terlihat ketika ia menyebutkan
sewa tanah atau kompensasi atas pemanfaatan tanah.
Abu Yusuf mengusulkan
dalam kitabnya al-Kharaj,
bahwa pajak atas tanah pertanian diganti dengan zakat pertanian, sehingga perhitungannya
tidak berdasarkan harga tanahnya tetapi dikaitkan dengan jumlah hasil panennya.
Begitu pula dengan pajak perniagaan digantikan dengan sistem zakat perniagaan.
Menurut Abu
Yusuf, harta yang diperoleh dari hasil pajak tanah (kharaj) tidak layak digabungkan dengan harta
yang diperoleh dari hasil zakat. Karena harta hasil pajak tanah adalah harta
”rampasan” untuk seluruh kaum muslimin, sedangkan harta zakat diperuntukkan
bagi mereka yang disebutkan Allah dalam al-Qur’an.
Pendapat Abu
Yusuf yang mirip dengan aliran fisiokratisme yang dimotori oleh Francis Quesnay
(1694-1774 M), adalah pendapatnya yang kontroversial dalam analisis ekonomi
tentang masalah pengendalian harga (tas’ir). Ia menentang penguasa yang
menetapkan harga.[14]
Argumennya didasarkan pada hadits Nabi Saw: Diriwayatkan dari Anas, ia
mengatakan bahwa harga pernah mendadak naik pada masa Rasulullah Saw. Para
sahabat mengatakan, “Wahai Rasulullah, tentukanlah harga untuk kami. Beliau
menjawab, “sesungguhnya Allah adalah Penentu harga, Penahan, Pencurah, serta
Pemberi rejeki. Aku mengharapkan dapat menemui Tuhanku di mana salah
seorang dari kalian tidak menuntutku karena kezaliman dalam hal darah dan
harta.” Abu Yusuf menyatakan dalam kitab al-Kharaj, “tidak ada batasan tertentu tentang
murah dan mahal yang dapat dipastikan. Hal tersebut ada yang mengaturnya.
Prinsipnya tidak bisa diketahui. Murah bukan karena melimpahnya makanan. Murah
dan mahal merupakan ketentuan Allah. Kadang-kadang makanan berlimpah, tetapi
tetap mahal dan kadang-kadang makanan sangat sedikit tetapi murah.” Namun di
sisi lain, Abu Yusuf juga tidak menolak peranan permintaan dan penawaran dalam
penentuan harga.
Abu Yusuf
menegaskan bahwa sumber ekonomi berada pada dua tingkatan; tingkatan pertama
meliputi unsur-unsur alam (antara lain air dan tanah). Unsur-unsur ini paling
kuat dan berproduksi secara mandiri. Tingkatan kedua ialah tenaga kerja.
Tingkatan yang kedua ini berperan kurang maksimal dan tidak rutin seperti
perbaikan dan pemanfaatan tanah, membuat sistem irigasi dan lain-lain.
6.
Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani (132-189
H/750-804 M)
Dalam kitabnya
Al-Kasb, Asy-Syaibani membahas pendapatan dan belanja rumah tangga. Ia
mendefinisikan kerja (al-kasb) sebagai pencarian dalam memperoleh harta melalui
berbagai cara yang halal. Dalam ekonomi Islam, aktivitas demikian termasuk
aktivitas produksi atau segala aktivitas yang menghasilkan barang dan jasa
dengan cara yang halal. Islam memandang bahwa suatu barang atau jasa mempunyai
nilai guna jika mengandung kemaslahatan.
Sementara, kemaslahatan hanya bisa dapat dicapai dengan memelihara 5 unsur pokok
kehidupan, yaitu; agama (Ad-Din),
jiwa (An-Nafs), akal (Al-‘Aql), keturunan (An-Nasl) dan harta (Al-Māl).
Asy-Syaibani
menegaskan bahwa kerja (yang menjadi unsur utama produksi) mempunyai kedudukan
yang sangat penting dalam kehidupan, karena menunjang pelaksanaan ibadah kepada
Allah, dan karenanya hukum bekerja adalah wajib. Ia mengklasifikasikan jenis
pekerjaan ke dalam 4 hal, yakni sewa-menyewa (ijarah), perdagangan (tijarah),
pertanian (zira’ah), dan industri (shina’ah). Di antara keempat usaha
perekonomian tersebut, ia lebih mengutamakan pertanian memproduksi berbagai
kebutuhan dasar manusia yang sangat menunjang dalam melaksanakan berbagai
kewajibannya. Pendapatnya ini sangat mirip dengan pemikiran ekonomi aliran
Fisiokratisme 9 abad kemudian, tepatnya pada abad ke-17 M.
Asy-Syaibani
juga memiliki konsep spesialisasi dan distribusi pekerjaan (division of
labour). Ia menyatakan bahwa manusia dalam hidupnya selalu membutuhkan yang
lain. Seseorang tidak akan menguasai semua pengetahuan yang dibutuhkan
sepanjang hidupnya, dan kalaupun manusia berusaha keras maka usia akan
membatasi usahanya. Oleh karena itu, Allah memberi kemudahan pada setiap orang
untuk menguasai pengetahuan salah satu atau beberapa saja di antaranya,
sehingga manusia dapat bekerja sama dalam memenuhi kebutuhannya. Lebih lanjut,
ia menandaskan bahwa seorang yang fakir membutuhkan upah dari orang kaya
sedangkan yang kaya membutuhkan tenaga orang miskin. Dari hasil tolong-menolong
tersebut, manusia akan semakin mudah dalam menjalankan aktivitas ibadah kepada
Allah. Dengan demikian, distribusi pekerjaan seperti ini merupakan objek
ekonomi yang mempunyai 2 aspek sekaligus, yaitu aspek religius dan aspek
ekonomis.
Menurut
asy-Syaibani, sifat-sifat fakir mempunyai kedudukan yang lebih tinggi,
sekalipun banyak dalil yang menunjukkan keutamaan sifat-sifat kaya. Ia
menyatakan bahwa apabila manusia telah merasa cukup dari apa yang dibutuhkan
kemudian bergegas pada kebajikan, sehingga mencurahkan perhatian pada urusan
akhiratnya, adalah lebih baik bagi mereka. Dalam konteks ini, sifat-sifat fakir
diartikannya sebagai kondisi yang cukup (kifāyah), bukan kondisi papa dan
meminta-minta (kafafah).
Pada dasarnya, asy-Syaibani menyerukan agar manusia hidup dalam kecukupan, baik
untuk diri sendiri maupun keluarganya. Di sisi lain, ia berpendapat bahwa
sifat-sifat kaya berpotensi membawa pemiliknya hidup dalam kemewahan. Sekalipun
begitu, ia tidak menentang gaya hidup yang lebih dari cukup selama kelebihan
tersebut hanya dipergunakan untuk kebaikan.
7.
Yahya bin Adam Al-Qarashi (203 H/818 M)
Masa Abbasiyyah
awal tampaknya telah mengilhami banyak penulis untuk membahas keuangan publik.
Dari beberapa karya yang masih ada, beberapa telah mendapat perhatian dari para
penulis baru-baru ini, yaitu Kitab Al-Kharaj karya Yahya bin Adam.
8.
Abu Ubaid (224 H/828 M)
Pembahasan
Keuangan Publik Islam dalam karya Abu Ubaid, al-Amwal, diawali dengan judul “Hak pemimpin
terhadap rakyatnya dan hak rakyat terhadap pemimpinnya”. Menurutnya, jika
kepentingan individu berbenturan dengan kepentingan publik, maka kepentingan
publik mesti didahulukan.
Jika isi
kitab al-Amwal dievaluasi
dari sisi filosofi hukum, akan nampak bahwa Abu Ubaid menekankan keadilan
sebagai prinsip utama. Bagi Abu Ubaid, pelaksanaan dari prinsip ini akan
membawa kepada kesejahteraan ekonomi dan keselarasan sosial.
Abu Ubaid sangat menentang pendapat
yang menyatakan bahwa pembagian harta zakat harus dilakukan secara merata di
antara 8 (delapan) ashnaf dan cenderung menentukan suatu
batas tertinggi terhadap bagian perorangan. Bagi Abu Ubaid, yang paling penting
adalah memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar, seberapapun besarnya, serta
bagaimana menyelamatkan orang-orang dari bahaya kelaparan. Namun pada saat yang
bersamaan, Abu Ubaid tidak memberikan hak penerimaan zakat kepada orang-orang
yang memiliki 40 dirham atau 4 dinar (sekitar Rp. 9 juta) atau harta lainnya
yang setara. Di sisi lain, Abu Ubaid menganggap bahwa seseorang yang memiliki
200 dirham atau 20 dinar (sekitar Rp. 46 juta) maka ia terkena kewajiban
membayar zakat. Oleh karena itu, pendekatan yang digunakan Abu Ubaid ini
mengindikasikan adanya 3 kelompok sosio-ekonomi yang terkait dengan status
zakat, yaitu; pertama, kalangan kaya yang terkena wajib zakat (≥ 200
dirham atau ≥ 20 dinar, yaitu sekitar ≥ Rp. 46 juta); kedua, kalangan
menengah yang tidak terkena wajib zakat, tetapi juga tidak berhak menerima
zakat (40-200 dirham atau 4-20 dinar, yaitu antara sekitar Rp. 9 juta – Rp. 46 juta); dan ketiga,
kalangan penerima zakat (≤ 40 dirham atau 4 dinar, yaitu sekitar Rp. 9 juta).
9.
Ahmad bin Hanbal (164-241 H/780-855 M)
Salah satu
pendapat Imam Ahmad bin Hanbal terkait dengan persoalan ekonomi adalah
kecamannya terhadap pembelian dari penjual yang menurunkan harga komoditi dalam
rangka untuk menghalangi orang untuk membeli komoditi yang sama dari
pesaingnya. Dengan demikian, penjual yang menurunkan harga komoditinya akhirnya
bisa memonopoli komoditi tersebut, karena telah menghilangkan persaingan dari
penjual lain, dan kemudian ia dapat mendikte harga sesukanya. Imam Ahmad ingin
pemerintah turut campur tangan menangani kasus tersebut untuk mencegah praktek
monopoli dan hal-hal yang tidak diinginkan.
10.
Ibnu Miskawaih (421 H/1030 M)
Salah satu pandangan
Ibnu Miskawaih yang terkait dengan aktivitas ekonomi adalah tentang pertukaran
dan peranan uang. Lebih jauh, ia menegaskan bahwa logam yang dapat dijadikan
sebagai mata uang adalah logam yang dapat diterima secara universal melalui
konvensi, yakni tahan lama, mudah dibawa, tidak mudah rusak, dikehendaki orang
dan orang senang melihatnya.
11.
Al-Mawardi (450 H/1058 M)
Abu Al-Hasan
Al-Mawardi menulis Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, sebagai rujukan utama untuk
masalah pengawasan pasar, hubungan pertanian dan perpajakan.
12.
Ibnu Hazm (456 H/1064 M)
Abu Muhammad
Ibnu Hazm adalah seorang ahli hukum besar dengan pendekatan yang unik untuk
hukum Islam, dan menolak penalaran analogis (qiyas) serta istihsan. Ia
adalah satu-satunya ahli hukum besar yang menolak penyewaan lahan pertanian.
Hal ini menyisakan dua opsi untuk lahan tersebut, apakah digarap sendiri atau
masuk ke dalam pengaturan bagi hasil dengan penggarap atau pengolah.
13.
Nizam Al-Mulk Ath-Thusi (408-485
H/1018-1093 M)
Nizam Al-Mulk
menyadari sepenuhnya mengenai 3 arah faktor-faktor kemakmuran, produktivitas
dan efisiensi. Mengamankan kesejahteraan dapat meningkatkan lebih besar
produktivitas yang diharapkan dan efisiensi.
Menurut Nizam Al-Mulk, stabilitas
nasional dapat dicapai dengan memastikan bahwa kebutuhan pokok masyarakat
dipenuhi secukupnya. Negara harus bisa menjamin ketersediaan pasokan yang cukup
selama terjadi serangan hama atau gagal panen.
Nizam Al-Mulk menegaskan bahwa
persamaan hak dalam kesempatan melakukan kegiatan ekonomi adalah persyaratan
awal untuk mencapai persamaan sosial. Upaya ekonomi untuk mencapai tujuan ini
mencakup manajemen zakat yang efektif, bangunan pondok dan rumah untuk rakyat
miskin, dan tersedianya lapangan kerja bagi rakyat sesuai kapasitas dan
imbalannya.
Tentang pajak,
Nizam Al-Mulk tidak menyangkal bahwa sistem pajak yang baik menjadi basis
keuangan yang sehat. Walaupun demikian, ia percaya bahwa keuangan yang sehat
bukanlah segala-galanya untuk menghindari kesulitan nasional. Terkait dengan
persoalan pajak tanah, Nizam Al-Mulk merekomendasikan pembatalan dari
pembebanan (charge) oleh tuan tanah terhadap petani yang tidak dapat memenuhi
kewajibannya membayar pajak. Dalam pandangannya, tuan tanah hanyalah sebatas
pengumpul pajak, bahkan mereka tidak mempunyai hak untuk menetapkan jumlah
pajak karena hal tersebut merupakan hak mutlak pemerintah. Dalam hal ini, Nizam
Al-Mulk ingin mengurangi kekuasaan dan hak mutlak para tuan tanah, dan
menjadikan pemerintah menjadi lebih berkuasa.
b. Fase Kedua
Fase kedua yang
dimulai pada abad ke-11 sampai dengan abad ke-15 Masehi dikenal sebagai fase
cemerlang karena meninggalkan warisan intelektual yang sangat kaya. Para
cendekiawan muslim di masa ini mampu menyusun suatu konsep tentang bagaimana
umat melaksanakan kegiatan ekonomi yang seharusnya berdasarkan landasan
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Di sisi lain, mereka juga menghadapi realitas politik
yang ditandai oleh dua hal; pertama, disintegrasi pusat kekuasaan Bani
Abbasiyyah dan terbaginya kerajaan ke dalam beberapa kekuatan regional yang mayoritasnya
didasarkan pada kekuatan ketimbang kehendak rakyat; kedua, merebaknya
tindakan korupsi di kalangan para penguasa diiringi dengan dekadensi moral di
kalangan masyarakat yang mengakibatkan terjadinya ketimpangan sosial, sehingga
terjadi gap (jurang pemisah) antara orang kaya dan orang miskin.
Tokoh-tokoh pemikir ekonomi Islam
pada fase kedua ini antara lain diwakili oleh:
1.
Al-Ghazali (451-505 H/1055-1111 M)
Nama lengkapnya
adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali. Pemikiran-pemikiran
ekonominya didasarkan pada pendekatan tasawwuf. Corak pemikirannya dituangkan
dalam kitab Ihya’
‘Ulum Ad-Din, Al-Mustashfa’ fī ‘Ilmi Al-Ushul dan Mizan
Al-‘Amal. Pemikiran sosio-ekonominya berakar dari sebuah konsep yang ia sebut
“fungsi kesejahteraan sosial Islami”. Menurutnya, kesejahteraan (maslahah) dari
suatu masyarakat tergantung pada pencarian dan pemeliharaan 5 tujuan dasar,
yakni agama (Ad-Dīn), jiwa (An-Nafs), akal (Al-‘Aql), keturunan (An-Nasl) dan
harta (Al-Māl). (dalam Ihyā’, juz2). Ia mendefinisikan aspek ekonomi dari
fungsi kesejahteraan sosialnya dalam kerangka sebuah hierarki utilitas individu
dan sosial, yakni mulai dari pemenuhan kebutuhan pokok (dharuriyyat), kebutuhan biasa (hajiyyat) dan kemewahan (tahsiniyyat).
Menurutnya,
seseorang harus memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya dalam rangka beribadah
kepada Allah SWT. Seluruh aktivitas sehari-hari termasuk aktivitas dalam bidang
ekonomi, harus dilaksanakan sesuai dengan syari’ah Islam.[15]
Ghazali bisa menoleransi pengambilan pajak jika pengeluaran untuk pertahanan
dan lain sebagainya tidak dapat tercukupi oleh kas pemerintah. Ia juga
mengemukakan tentang pelarangan riba, karena hal tersebut melanggar sifat dan
fungsi uang, serta mengutuk mereka yang melakukan penimbunan uang dengan alasan
uang itu sendiri dibuat untuk memudahkan pertukaran. Secara garis besar,
ekonomi dapat dikelompokkan menjadi : pertukaran dan evolusi pasar, produksi,
barter, evolusi uang serta peranan negara dan keuangan publik.[16]
Al-Ghazali
memandang petumbuhan ekonomi sebagai bagian dari tugas-tugas kewajiban sosial
(fardh kifayah)
yang sudah ditetapkan Allah. Artinya, jika hal-hal ini tidak dipenuhi,
kehidupan dunia akan runtuh dan kemanusiaan akan binasa (dalam Ihya’, juz 2). Ia menegaskan bahwa aktivitas
ekonomi harus dilakukan secara efisien karena merupakan bagian dari pemenuhan
tugas keagamaan seeorang (dalam Mizan Al-’Amal). Selanjutnya, ia
mengidentifikasi 3 alasan mengapa seseorang melakukan aktivitas-aktivitas ekonomi,
yaitu: Pertama, untuk mencukupi kebutuhan hidup yang
bersangkutan. Kedua, untuk mensejahterakan keluarga. Ketiga, untuk
membantu orang lain yang membutuhkan (dalam Mizan Al-’Amal). Ia menyatakan
bahwa pendapatan dan kekayaan seseorang berasal dari 3 sumber, yaitu pendapatan
tenaga individual, laba perdagangan, dan pendapatan karena nasib baik. Ia
mencontohkan dari sumber pendapatan yang ketiga adalah pendapatan melalui
warisan, menemukan harta karun atau mendapat hadiah. Namun ia menandaskan bahwa
seluruh sumber pendapatan tersebut harus diperoleh dengan cara yang halal.
Al-Ghazali
mengakui adanya tahapan produksi yang beragam sebelum produk tersebut
dikonsumsi. Tahapan dan keterkaitan produksi yang beragam mensyaratkan adanya
pembagian kerja, koordinasi dan kerja sama. Ia menguraikan argumen tahapan
produksi ini dengan menggunakan contoh jarum (dalam Ihya’, juz 4), senada dengan contoh pabrik
penitinya Adam Smith kurang lebih 6 abad kemudian.
Al-Ghazali
menganggap kerja sebagai bagian dari ibadah seseorang. Bahkan secara khusus, ia
memandang bahwa produksi barang-barang kebutuhan dasar sebagai kewajiban sosial
(fardh kifāyah). Dalam hal ini, pada prinsipnya, negara harus bertanggung jawab
dalam menjamin kebutuhan masyarakat terhadap barang-barang kebutuhan pokok. Di
samping itu, ia beralasan bahwa ketidak seimbangan
antara jumlah barang kebutuhan pokok yang tersedia dengan yang dibutuhkan
masyarakat cenderung akan merusak kehidupan masyarakat.
Al-Ghazali juga menganalisa hukum
permintaan dan penawaran. Ia mengatakan bahwa jika petani tidak mendapatkan
pembeli bagi produk-produknya, maka ia akan menjualnya pada harga yang sangat
rendah.
Tentang laba,
Al-Ghazali menyatakan bahwa pengurangan marjin keuntungan dengan mengurangi
harga akan menyebabkan peningkatan penjualan, dan karenanya terjadi peningkatan
laba. Ia mengakui motivasi mencari laba dan sumber-sumbernya. Ia menganggap
laba sebagai imbalan atas risiko dan ketidak pastian,
karena mereka (pedagang dan pelaku bisnis) menanggung banyak kesulitan dalam
mencari laba dan mengambil risiko, serta membahayakan kehidupan mereka dalam
kafilah-kafilah dagang. Lebih jauh, ia menekankan bahwa penjual seharusnya
didorong oleh “laba” yang akan diperoleh dari pasar yang “hakiki”, yakni
akhirat.
Tentang teori evolusi pasar,
Al-Ghazali mendeskripsikannya sebagai berikut: ”Setiap penjual akan membutuhkan
pembeli untuk membeli barang dagangannya. Namun ketika penjual dan pembeli
berada di tempat yang berbeda atau tidak berada pada satu tempat, maka hal ini
akan menimbulkan masalah. Oleh karena itulah, dibutuhkan suatu tempat yang
mempertemukan antara para penjual dan para pembeli, sehingga masing-masing dari
penjual dapat dengan mudah menemukan pembeli barang dagangannya, demikian juga
dengan pembeli dapat dengan mudah menemukan setiap barang yang dibutuhkannya.
Tempat inilah yang disebut dengan pasar. Sebagaimana aliran fisiokratisme pada
abad 17 Masehi, bagi al-Ghazali, pasar berevolusi sebagai bagian dari “hukum
alam”, yakni sebuah ekspresi hasrat yang timbul dari diri sendiri untuk saling
memuaskan kebutuhan ekonomi” (dalam Ihya’, juz 3).
Sedangkan
tentang teori evolusi uang, Al-Ghazali mendeskripsikannya sebagai berikut:
”Evolusi uang terjadi hanya karena kesepakatan dan kebiasaan (konvensi), yakni
tidak akan ada masyarakat tanpa pertukaran barang dan tidak ada pertukaran yang
efektif tanpa ekuivalensi, dan ekuivalensi demikian hanya dapat ditentukan
dengan tepat bila ada ukuran yang sama”. Ia menyatakan bahwa tujuan
satu-satunya dari emas dan perak adalah untuk dipergunakan sebagai uang (dinar
dan dirham). Ia mengutuk mereka yang menimbun kepingan-kepingan uang atau
mengubahnya menjadi bentuk yang lain. Ia berkata: “Uang tidak diciptakan untuk
menghasilkan uang. Dinar dan dirham adalah alat untuk mendapatkan barang-barang
lainnya. ”Pernyataannya ini menunjukkan bahwa
meminjamkan uang dengan mengambil keuntungan darinya (riba) adalah dilarang,
sekaligus juga memberikan isyarat tentang fungsi uang. Ia juga memperingatkan
bahwa memperdagangkan uang ibarat memenjarakan fungsi uang, jika banyak uang
yang diperdagangkan, niscaya tinggal sedikit uang yang dapat berfungsi sebagai
uang. Al-Ghazali pernah membolehkan peredaran uang yang tidak menggunakan emas dan
perak, dengan beberapa persyaratan. Di antaranya, pemerintah harus menyatakan
uang itu sebagai alat tukar resmi dan menjaga nilainya serta memastikan tidak
ada perdagangan uang.
2.
Al-Kasani (578 H/1182 M)
Abu Bakr bin
Mas’ud Al-Kasani adalah seorang ahli hukum Islam terkemuka Mazhab Hanafi yang
menganalisis beberapa isu ekonomi dalam karyanya Bada’i Ash-Shanā’i’.
Diskusinya tentang pembagian keuntungan dan liabilitas atas kerugian dalam
kontrakmudharabah, jelas dan tepat. Keuntungan dari modal yang diserahkan pada
ukurannya terhadap risiko dan ketidakpastian, membuat pemodal bertanggung jawab
atas kerugian, jika kerugiannya ada. Al-Kasani juga menjelaskan sifat sewa, ia
mendefiniskan sewa sebagai harga manfaat yang mengalir dari penggunaan
barang-barang sewaan.
3.
Najmuddin Ar-Razi (654 H/1256 M)
Najmuddin
Ar-Razi adalah seorang pemikir terkemuka abad ke-7 Hijriyyah. Ia menelusuri
akibat buruk dari penindasan dan pemerasan oleh petugas pajak dan tuan tanah.
Menurutnya, pertanian adalah perdagangan dengan Allah. Oleh karenanya,
pertanian adalah kegiatan ekonomi yang terbaik dari sektor industri dan sektor
perdagangan jika digarap dengan baik dan benar. Dengan demikian, pendapatnya
ini mirip dengan pendapat tokoh sebelumnya pada abad ke-2 Hijriyyah, yaitu
Asy-Syaibani, dan mirip dengan pendapat kaum Fisiokratis di kemudian hari pada
abad ke-17 Masehi. Selanjutnya, Ar-Razi kemudian meletakkan kode etik bagi para
agen ekonomi dengan menyebutkan hak dan kewajiban mereka, seperti tuan tanah,
petani, dan buruh upahan.
4.
Nasiruddin Ath-Thusi (597-672
H/1201-1274 M)
Nasiruddin
Ath-Thusi diakui keahliannya dengan risalahnya tentang Keuangan Publik,
yaitu Akhlaq-e-Nasiri (Nasirian Ethics). Ia menyatakan bahwa
spesialisasi dan pembagian tenaga kerja (division of labour) telah menciptakan
surplus ekonomi sehingga memungkinkan terjadinya kerja sama dalam masyarakat
untuk saling menyediakan barang dan jasa kebutuhan hidup. Hal ini merupakan
tuntunan alamiah sebab seseorang tidak bisa menyediakan semua kebutuhannya
sendiri sehingga menimbukan ketergantungan satu dengan lainnya. Akan tetapi,
jika proses ini dibiarkan secara alamiah, kemungkinan manusia akan saling
bertindak tidak adil dan menuruti kepentingannya sendiri-sendiri. Orang yang
kuat akan mengalahkan yang lemah. Oleh karena itu, diperlukan suatu strategi
(siyāsah) yang mendorong manusia untuk saling bekerjasama dalam mencapai
kesejahteraan masyarakat.
Ath-Thusi sangat
menekankan pentingnya tabungan, dan mengutuk konsumsi yang berlebihan serta
pengeluaran-pengeluaran untuk aset-aset yang tidak produktif, seperti perhiasan
dan penimbunan tanah yang tidak ditanami. Ia memandang pentingnya pembangunan
pertanian sebagai fondasi pembangunan ekonomi secara keseluruhan dan untuk
menjamin kesejahteraan masyarakat. Ia juga merekomendasikan pengurangan pajak,
di mana berbagai pajak yang tidak sesuai dengan syari’at Islam harus dilarang.
5.
Ibnu Taimiyyah (661-728 H/1263-1328 M)
Nama lengkapnya
adalah Taqiyyuddin Ahmad bin Abdul Halim bin Abdussalam bin Abdullah An-Namiri
Al-Harrani. Ia memiliki 3 teori keadilan dalam kegiatan ekonomi, yaitu upah
yang adil, laba yang adil dan harga yang adil. Tentang upah yang adil, menurut
Ibnu Taimiyyah, upah yang sepadan diatur dengan tingkat upah yang ditentukan
oleh tawar-menawar antara pekerja dengan pemberi kerja. Ia menyatakan bahwa
apabila terjadi ketidak sempurnaan
dalam pasar (bursa) tenaga kerja, di mana para pekerja menolak memberikan jasa
atau tenaga mereka sementara masyarakat sangat membutuhkannya, maka pemerintah
harus menetapkan upah para tenaga kerja, sehingga tidak merugikan masyarakat
dan juga tenaga kerja. Tujuan penetapan harga/upah ini adalah untuk menghindari
tindakan eksploitasi dari pihak majikan atau dari pihak pekerja. Pernyataannya
ini menunjukkan hukum penawaran dan permintaan tenaga kerja sehingga
mempengaruhi tingkat upah. Teori upah yang adil ini mirip dengan teori upah
alami (natural wage) dari David Ricardo empat abad kemudian.
Ibnu Taimiyah
membahas masalah perekonomian ditinjau dari segi sosial maupum hukum fiqh.
Beliau telah membahas pentingnya persaingan dalam pasar bebas, peranan market
supervisor dan lingkup dari negara. Dalam transaksi ia juga mensayaratkan
kesepakatan antara semua pihak, kesepakatann ini harus berdasarkan informasai
yang akurat dan memadai. Hal ini ditujukan agar transaksi menjadi lebih
bermakna. Moralitas yang diperintahkan agama diharuskan tanpa adanya paksaan
sedikitpun.[17]
Sehingga dengan demikian syari’at bisa berjalan sesuai dengan maksud dan
tujuannya. Negara harus mempraktekkan aturan perekonomian yang Islami hingga
para pelaku ekonomi melakukan transaksi-transaksi mereka dengan jujur dan ridho
satu sama lain.Negara juga harus mengawasi pasar dari tindakan-tindakan
merugikan yang memanfaatkan kelemahan pasar.
Tentang laba
yang adil, secara tersirat Ibnu Taimiyyah memandang laba sebagai penciptaan
tenaga kerja dan modal secara bersamaan. Ia mendefinisikan laba yang adil
sebagai laba normal yang secara umum diperoleh dari jenis perdagangan tertentu,
tanpa merugikan orang lain. Dalam hal ini, ia menyatakan bahwa para pedagang
tidak boleh menarik keuntungan dari pembeli yang tidak mengerti tentang harga
umum yang berlaku di pasar dari barang yang dibelinya. Selain itu, jika ada
orang miskin yang sangat membutuhkan untuk membeli beberapa barang guna memenuhi
kebutuhan hidupnya, maka penjual harus mengambil keuntungan yang sama dengan
keuntungan yang ia ambil dari pembeli yang lain yang tidak terlalu membutuhkan
sebagaimana orang miskin tersebut. Namun, pembeli tidak bisa seenaknya saja
menetapkan harga atas barang yang dibelinya. Oleh karena itulah, setiap orang
dapat meminta regulasi harga dari pemerintah.
Tentang harga
yang adil, Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa “harga yang sepadan adalah harga
standar yang berlaku ketika masyarakat menjual barang-barang dagangannya dan
secara umum dapat diterima sebagai sesuatu yang sepadan dengan barang-barang
tersebut atau barang-barang yang serupa pada waktu dan tempat yang khusus.” Di
sini ia menjelaskan bahwa harga yang sepadan adalah harga yang dibentuk oleh
kekuatan pasar yang berjalan secara bebas, yakni pertemuan antara kekuatan
permintaan (demand) dengan penawaran (supply).
Tentang
mekanisme pasar, Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa “naik dan turunnya harga tidak
selalu diakibatkan oleh kebijakan para penguasa atau pihak-pihak tertentu.
Terkadang hal tersebut disebabkan oleh kekurangan produksi atau penurunan impor
barang-barang yang diminta.”Artinya, naik dan turunnya harga ditentukan oleh
pasar berdasarkan hukum permintaan dan penawaran. Namun ketika permintaan (demand)
meningkat sementara persediaan (supply) tetap, maka harga akan mengalami
kenaikan. Ia menyebut kenaikan harga terjadi karena penurunan jumlah barang
atau peningkatan jumlah penduduk. Penurunan jumlah barang dapat disebut juga
sebagai penurunan persediaan (supply), sedangkan peningkatan jumlah penduduk
dapat disebut juga sebagai naiknya permintaan (demand).[18]
Suatu kenaikan harga yang disebabkan oleh penurunan supply atau
kenaikan demanddikategorikan sebagai kehendak Allah. Dalam hal persediaan
barang (supply), ia menyebutkan 2 sumber persediaan, yaitu produksi lokal dan
impor barang-barang yang diminta. Selanjutnya, Ibnu Taimiyyah menyebutkan
beberapa faktor yang mempengaruhi permintaan serta konsekuensinya terhadap
harga, yaitu; keinginan masyarakat terhadap berbagai jenis barang yang berbeda
dan selalu berubah-ubah, jumlah peminat terhadap suatu barang, lemah atau
kuatnya kebutuhan terhadap suatu barang serta besar atau kecilnya tingkat dan
ukuran kebutuhan, besar atau kecilnya biaya yang harus dikeluarkan oleh
produsen atau penjual, dan tingkat kepercayaan penjual terhadap pembeli.
Ibnu Taimiyyah
juga membahas masalah regulasi harga. Tujuannya adalah untuk menegakkan
keadilan serta memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Penetapan harga harus
dilakukan oleh pemerintah ketika terjadi kekurangan bahan pokok di
tengah-tengah masyarakat, sehingga tidak terjadi monopoli harga dan
barang-barang kebutuhan pokok. Namun untuk membuat regulasi harga ini,
pemerintah terlebih dahulu harus bermusyawarah dengan masyarakat yang mengerti
persoalan harga bahan pokok yang berlaku.
Tentang uang, Ibnu Taimiyyah
menyebutkan 2 fungsi uang, yaitu sebagai pengukur nilai dan media pertukaran.
Ia juga menyatakan bahwa volume uang yang beredar harus sesuai dengan proporsi
jumlah transaksi yang terjadi. Hal ini untuk menjamin harga yang adil. Ia
menganggap bahwa nilai intrinsik mata uang harus sesuai dengan daya beli di
pasar. Ia menyatakan bahwa penciptaan mata uang dengan nilai nominal yang lebih
besar dari pada nilai intrinsiknya, akan menyebabkan terjadinya penurunan nilai
mata uang serta menimbulkan inflasi dan perilaku pemalsuan mata uang.
6.
Ibnu Al-Qayyim (691-751 H/1292-1350 M)
Ibnu Al-Qayyim,
adalah seorang ahli hukum Islam terkemuka dan pemikiran sosial. Ia banyak
menguraikan pandangan gurunya, Ibnu Taimiyyah, dan menunjukkan wawasan
analitisnya dalam diskusi tentang masalah ekonomi. Ibnu Al-Qayyim
mengidentifikasi 2 fungsi utama uang, yaitu sebagai alat tukar dan sebagai
standar nilai. Ia juga mengobservasi secara signifikan bahwa gangguan fungsi
uang ini terjadi ketika orang mulai mencari uang untuk kepentingan sendiri.
7.
Abu Ishaq Asy-Syathibi (790 H/1388 M)
Karya bersejarah
Asy-Syathibi tentang prinsip-prinsip hukum Islam, Al-Muwāfaqāt fī Ushūl
Asy-Syarī’ah, bukanlah sebuah risalah tentang ekonomi. Tapi ia mengklasifikasi
3 tingkatan keinginan manusia, yaitu kebutuhan dasar (dharūriyyāt), kebutuhan
biasa (hājiyyāt), dan kemewahan (tahsīniyyāt). Ia mengelaborasi diskusi tentang
prinsip tindakan individu yang tidak dapat dibiarkan jika membahayakan
kepentingan orang lain. Penekanannya terhadap perlindungan dan penyebarluasan
kepentingan sosial sebagai tujuan dari hukum Islam, berimplikasi kuat terhadap
perekonomian Islam. Ia juga berpendirian secara realistis pada kompetensi
pemerintah Islam untuk memungut pajak selain yang ditentukan oleh syari’ah,
dalam kasus pajak tersebut memang dibutuhkan oleh negara.
8.
Ibnu Khaldun (732-808 H/1332-1404 M)
Nama lengkapnya
adalah Abdurrahman bin Muhammad bin Muhammad bin Khaldun Abu Zaid Waliyyuddin
Al-Hadhrami. Karya monumentalnya adalah al-Muqaddimah.
Bagi Ibnu Khaldun, produksi adalah
aktivitas manusia yang diorganisasikan secara sosial dan internasional.
Menurutnya, faktor produksi yang utama adala tenaga kerja manusia. Ia
menyatakan bahwa “tenaga manusia sangat penting untuk setiap akumulasi laba dan
modal … Tanpa tenaga manusia, tidak ada hasil yang akan dicapai, dan tidak ada
hasil yang berguna.” Karena itu, manusia harus melakukan produksi guna
mencukupi kebutuhan hidupnya, dan produksi berasal dari tenaga manusia.
Selanjutnya, ia menegaskan bahwa produksi agregat yang dihasilkan oleh manusia
yang bekerja secara bersama-sama adalah lebih besar dibandingkan dengan jumlah
total produksi individu dari setiap orang yang bekerja secara sendiri-sendiri,
dan lebih besar dibandingkan dengan jumlah yang dibutuhkan mereka untuk dapat
tetap bertahan hidup. Ia menyatakan “apa yang dicapai melalui kerja sama dari
sekelompok manusia dapat memuaskan kebutuhan kelompok berkali-kali lebih
besar.” Teorinya tentang produksi agregat ini merupakan embrio suatu teori
perdagangan internasional. Dengan kegiatan produksi yang dilakukan secara
bersama-sama pada suatu daerah tertentu, maka hasil produksinya dapat diekspor
ke daerah lain yang membutuhkannya, sehingga terjadilah perdagangan antar
daerah.
Ibnu Khaldun
membagi jenis barang menjadi dua, yaitu barang kebutuhan pokok dan barang
mewah. Menurutnya, bila suatu kota berkembang dan selanjutnya populasinya
bertambah banyak, maka persediaan kebutuhan pokok akan mendapat prioritas.
Sedangkan untuk barang-barang mewah, permintaannya akan meningkat sejalan
dengan berkembangnya kota dan berubahnya gaya hidup. Akibatnya, harga barang
mewah meningkat. Dalam hal ini, Ibnu Khaldun berkomentar bahwa memang pada
mulanya kemewahan dapat meningkatkan permintaan dan pendapatan sehingga
meningkatkan pembangunan dan memperkuat modal negara, namun hal demikian pada
gilirannya akan merusak moral dan melonggarkan batasan-batasan moral pada
belanja. Moderasi akan kehilangan akar dan digantikan dengan pola hidup
extravagansa. Rakyat akan cenderung mengumbar energi mereka pada barang-barang
mewah. Manakala mereka kesulitan untuk mendapatkan barang-barang ini lewat
cara-cara yang benar, mereka akan melakukan tindakan korupsi.
Ibnu Khaldun
mengungkapkan analisisnya tentang perdagangan internasional dan hubungan
internasional, bahwa adanya hubungan antara perbedaan tingkat harga antar
negara dengan ketersediaan faktor produksi, sebagaimana dalam teori perdagangan
modern. Penduduk merupakan faktor utama pendorong perdagangan dan perekonomian
internasional. Jika jumlah penduduk besar maka akan terjadi pemerataan tenaga
kerja sesuai dengan keahlian masing-masing, sehingga dapat mengakibatkan
meningkatnya surplus dan perdagangan internasional. Pembagian tenaga kerja
internasional akan lebih bergantung pada keahlian masing-masing individu dari
pada natural endowment.[19]
Ibnu Khaldun
menyatakan bahwa kekayaan (negara) tidak tumbuh manakala ditimbun dan disimpan.
Ia akan tumbuh dan berkembang manakala dibelanjakan untuk kepentingan
masyarakat, untuk diberikan kepada yang berhak, dan menghapuskan kesulitan.
Kekayaan (negara) juga bergantung kepada pembagian tenaga kerja (division of
labor) dan spesialisasi; makin besar tingkat spesialisasi, makin tinggi pertumbuhan
kekayaan. Selain itu, ia juga menyatakan bahwa kekayaan atau kemakmuran suatu
bangsa tidak ditentukan oleh jumlah uang dan asset atau Sumber Daya Alam yang
dimiliki bangsa tersebut, akan tetapi peradabanlah yang menentukannya.
“Peradaban yang besar menghasilkan laba yang besar karena jumlah tenaga kerja
yang banyak.” Jumlah tenaga kerja inilah yang menghasilkan barang dan jasa yang
pada gilirannya menghasilkan laba. Ia juga mengatakan bahwa jatuh bangunnya
suatu dinasti atau peradaban sangat tergantung pada kesejahteraan atau
kesulitan hidup manusia.
Tentang teori
nilai, Ibnu Khaldun mengukur nilai suatu produk sama dengan jumlah tenaga kerja
yang dikandungnya. Pendapatnya ini sangat mirip dengan teori nilai dari Adam
Smith tiga abad kemudian. Bagi Ibnu Khaldun, harga adalah hasil dari hukum
permintaan dan penawaran. Pengecualian satu-satunya dari hukum ini adalah uang
dinar dan dirham, yang menjadi standar moneter. Ia menjelaskan bahwa pemerintah
tidak perlu ikut campur tangan dalam menentukan harga selama mekanisme pasar
berjalan normal. Tapi bila mekanisme pasar tidak berjalan normal, maka
pemerintah disarankan melakukan kontrol harga. Selain itu, Ia menyatakan bahwa
pada awalnya, harga-harga akan cenderung menurun seiring dengan peningkatan
dalam pembangunan dan produksi. Namun, jika permintaan terus meningkat,
sementara penawaran tidak mampu berpacu dengannya, kelangkaan pun akan terjadi,
sehingga menimbulkan peningkatan dalam harga barang dan jasa. Akibatnya,
harga-harga kebutuhan pokok cenderung meningkat lebih cepat daripada harga
barang-barang mewah, dan harga-harga di perkotaan lebih cepat merangkak
daripada di pedesaan. Dan selanjutnya, ongkos tenaga kerja juga ikut naik
seiring dengan naiknya pajak. Hal ini menyebabkan pembangunan menjadi turun,
begitu juga dengan kemakmuran dan peradaban.
9.
Al-Maqrizi (766-845 H/1364-1441 M)
Al-Maqrizi
melakukan studi kasus tentang uang dan kenaikan harga-harga yang terjadi secara
periodik dalam keadaan kelaparan dan kekeringan. Al-Maqrizi mengidentifikasi 3
sebab dari peristiwa ini, yaitu korupsi dan administrasi yang buruk, beban
pajak yang berat terhadap para penggarap, dan kenaikan pasokan mata
uang fulus. Membahas penyebab ketiga, ia menekankan bahwa emas dan perak
adalah satu-satunya jenis uang yang dapat dijadikan sebagai standar nilai,
dalam hal sifatnya dan kesesuaiannya dengan syari;ah. Nilai emas dan perang
jarang naik dalam ukuran yang besar, meskipun nilai fulusmelambung tinggi.
c. Fase Ketiga
Fase ketiga yang
dimulai pada tahun 1446 hingga 1932 Masehi merupakan fase tertutupnya pintu
ijtihad[20]
yang mengakibatkan fase ini dikenal juga sebagai fase stagnasi. Pada fase ini,
para ulama hanya menulis catatan-catatan para pendahulunya dan mengeluarkan
fatwa yang sesuai dengan aturan standar bagi masing-masing mazhab.
Namun demikian
masih terdapat gerakan pembaharu selama dua abad terakhir yang menyeru untuk
kembali kepada Al-Qur’an dan Hadist. Para pemikir yang terkemuka pada fase ini
antara lain adalah :
Tokoh-tokoh pemikir ekonomi Islam
pada fase ini antara lain diwakili oleh:
1.
Shah Waliullah Ad-Dahlawi (1114-1176
H/1703-1763 M)
Pada abad
terakhir dari sejarah Islam, kita mendapatkan penjelasan yang sangat jelas dari
pemikiran ekonomi Islam dalam karya-karya Shah Waliullah dari Delhi, terutama
karyanya Hujjatullah
Al-Balighah. Meskipun
ia membahas secara panjang lebar, namun tidak ada upaya serius untuk
mempelajari filsafat ekonominya. Ia menganggap kesejahteraan ekonomi sangat
diperlukan untuk kehidupan yang baik. Dalam konteks ini, ia membahas kebutuhan
manusia, kepemilikan, sarana produksi, kebutuhan untuk bekerjasama dalam proses
produksi dan berbagai bentuk distribusi dan konsumsi. Ia juga menelusuri
evolusi masyarakat dari panggung primitif sederhana dengan budaya yang begitu
kompleks di masanya (di wilayah Delhi dan sekitarnya selama masa-masa terakhir
pemerintahan Mughal). Ia juga menekankan bagaimana pemborosan dan kemewahan
yang diumbar akan menyebabkan peradaban menjadi merosot. Dalam diskusinya
tentang sumber daya produktif, ia menyoroti fakta bahwa hukum Islam telah
menyatakan beberapa sumber daya alam yang menjadi milik sosial. Ia mengutuk
praktek monopoli dan pengambilan keuntungan secara berlebihan dari lahan
perekonomian. Ia menjadikan kejujuran dan keadilan dalam bertransaksi sebagai
prasyarat untuk mencapai kemakmuran dan kemajuan.
Shah Waliullah
membahas perlunya pembagian dan spesialisasi kerja, kelemahan dari sistem
barter, dan keuntungan dari penggunaaan uang sebagai alat tukar dalam konteks
evolusi masyarakat dari primitif ke negara maju. Menurutnya, kerjasama telah
membentuk satu-satunya dasar hubungan ekonomi yang manusiawi dan Islami.
Transaksi yang melibatkan bunga memiliki pengaruh yang merusak. Praktek bunga
menciptakan kecenderungan untuk menyembah uang. Hal ini menyebabkan masyarakat berlomba-lomba
dalam memperoleh kemewahan dan kekayaan. Poin paling penting dari filsafat
ekonominya adalah bahwa sosial ekonomi memiliki pengaruh yang mendalam terhadap
moralitas sosial. Oleh karena itu, kejujuran moral diperlukan untuk membentuk
tatanan ekonomi.
Shah Waliullah
menganalisis bahwa faktor utama yang menyebabkan menurunnya pendapatan adalah
tingkat konsumsi yang berlebihan dengan munculnya kelas kaya-miskin, dan
meningkatnya beban pajak atas orang-orang lemah. Analisis-analisis dari Shah
Waliullah sangat memungkinkan untuk dikaji lebih mendalam lagi dalam kerangka
ekonomi Islam modern karena kedekatan masa antar keduanya.
Menurutnya
manusia secara alamiah adalah makhluk sosial, sehingga harus bekerja sama
antara satu dengan yang lainnya. Kejasama ini juga berlaku pada bidang
perekonomian seperti pertukaran barang dan jasa, mudharabah,
musyarakah, kerjasama
pengolahan pertanian dan lain-lain. Dia juga melarang hal-hal yang dapat
merusak semangat kejasama sebagaimana Islam melarangnya, seperti perjudian dan
riba. Ia menekanan perlunya pembagian faktor-faktor alamiyah secara merata,
semisal tanah.[21]
2.
Muhammad Abduh (1266-1323 H/1849-1905 M)
Muhammad Abduh
menyatakan bahwa Islam mewajibkan kepada pemerintah untuk ikut campur tangan
dalam urusan perekonomian, demi kemaslahatan publik, yaitu apakah dengan
membangun pabrik industri dan perusahaan, atau dengan menentukan harga barang
perdagangan, atau memberikan hak keadilan kepada para buruh dengan cara
menaikkan gaji minimum mereka, atau dengan cara mengurangi jam kerja mereka,
atau dengan cara kedua-duanya secara bersamaan.
Muhammad Abduh
sangat mengecam orang-orang yang bersantai dan bermalas-masalan, dengan
kondisinya yang pengangguran, bahkan terhadap orang-orang kaya yang bersantai
dan bermalas-malasan sekalipun, juga ikut dikecam olehnya. Ia mensinyalir bahwa
bagaimana mungkin orang kaya bisa bersantai, padahal santai mereka itulah
sebenarnya yang disebut santai yang pengangguran dan malas. Ia juga mengatakan,
“siapa yang tidak mencicipi lezatnya bekerja, maka ia tidak mencicipi lezatnya
hakikat waktu luang (hari libur). Karena Tuhan tidak menciptakan waktu luang
selain untuk pekerjaan.”
Muhammad Abduh
juga sangat mengecam perilaku zalim dalam ekonomi. Bahkan ia menganggapnya
sebagai jenis kezaliman yang paling kejam. Karenanya, orang kaya yang mencintai
hartanya hingga mereka kikir mengeluarkan hartanya demi kemaslahatan umum, maka
mereka itu betul-betul kafir (dalam arti kufur nikmat) meskipun
mereka sendiri menyebut diri mereka beriman.
Abduh mengingatkan
akan bahaya yang menimpa masyarakat karena dominasi para pemilik modal
(kapitalis). Dalam hal ini, Abduh menganggap bahwa eksploitasi harta melalui
harta, atau menjadikan harta sebagai media untuk mendapatkan keuntungan dengan
cara mengeksploitasi kebutuhan orang lain, adalah termasuk faktor mendasar yang
menyebabkan riba diharamkan dalam Islam. Abduh mengisyaratkan pernyataannya ini
kepada bunga bank.
Muhammad Abduh
setuju bahwa kemiskinan seseorang itu memang sudah
menjadi sunnatullah dalam lingkungan masyarakat. Artinya, kemiskinan
itu disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya adalah karena faktor memang
tidak mampu bekerja, atau karena gagal berusaha, atau karena pengangguran dan
malas, atau karena faktor rendahnya pendidikan. Ia mengatakan, “jika kemiskinan
seseorang memang sudah menjadi sunnatullah, maka mengatasi kemiskinan itu
pun juga harus dengan sunnatullah,
begitu juga halnya dengan kekayaan seseorang.” Maksudnya adalah mengatasi
masalah kemiskinan itu harus dengan mengatasi faktor-faktor penyebabnya. Begitu
juga jika seseorang ingin memperoleh kekayaan, maka ia harus berusaha dan
bekerja untuk memperolehnya.
Bagi Muhammad
Abduh, ekonomi merupakan sikap moderat dalam pengeluaran/belanja. Artinya,
pemilik harta tidak boleh terlalu boros dalam pengeluaran dan belanja, dan juga
tidak boleh terlalu hemat atau terlalu pelit mengeluarkan harta, tapi harus
dipilah dan dipilih mana yang paling utama kemudian diurut kepada hal yang
lebih utama.
3.
Muhammad Iqbal (1289-1357 H/1873-1938 M)
Sang “Penyair
Dari Timur” ini memang memiliki pemikiran yang berkisar tentang hal-hal teknis
dalam ekonomi, tetapi lebih pada konsep-konsep umum yang mendasar. Ia
mencontohkan respon Islam terhadap Kapitalisme Barat dan reaksi ekstrim
Komunisme Uni Soviet, dengan menggarisbawahi kelemahan dari kedua sistem
tersebut, dan menampilkan sikap yang lebih baik dengan mengambil jalan tengah
sebagaimana yang telah disediakan oleh Islam. Ia mengajak umat untuk berpegang
teguh, dan tidak ragu mengambil intisari dari pengalaman sejarah manusia.
Menurutnya, semangat Kapitalisme, yaitu memupuk modal dan materi sebagai nilai
dasar sistem ini, bertentangan dengan semangat Islam. Demikian pula, semangat
komunisme yang banyak melakukan pemaksaan kepada masyarakat, juga bertentangan
dengan nilai-nilai Islam.
Iqbal sangat
prihatin terhadap petani, buruh dan masyarakat lemah lainnya. Ia menganggap
semangat Kapitalis yang eksploitatif menjadi asing bagi Islam. Ia menganggap
bahwa pembentukan keadilan sosial merupakan salah satu bagian dari tugas
pemerintahan Islam, dan memandang zakat sebagai potensi yang efektif untuk
menciptakan masyarakat yang adil.
C.
Madzhab
Klasik Adam Smith dan Terjadinya Missing Link Sejarah Pemikiran Ekonomi
Ada beberapa
tokoh yang termasuk dalam madzhab klasik ini, namun hanya akan dibahas sedikit
tentang Adam Smith. Adam Smith tidak seorangpun ahli ekonomi setenar Adam
Smith, dialah yang dikenal dengan Bapak Ekonomi. Pada akhir abad ke-18, ia
menerbitkan bukunya yang berjudul “An Inquiry Into the Nature and Cause of
Welth of Nations” yang merupakan pencerminan yang cemerlang dari ide-ide
kebebasan ekonomi yang tersusun rapi.
Adam Smith telah
membicarakan semua pokok pembahasan Ilmu Ekonomi yang kita kenal kini. Dia
beranggapan, bahwa dorongan ekonomi pribadi dari individu itulah yang menjadi
penggerak kehidupan perekonomian dan yang menetukan jalannya perekonomian
bangsa manapun.
Susunan
pemikiran ekonomi Adam Smith ini kemudian diikuti oleh Malthus, Ricardo, Jean
Baptise Say dari Perancis, Jhon Stuart Mill dan lainnya.
Timbulnya
Kapitalis dan Kritik Terhadapnya. Kapitalisme dapat dikatakan memiliki kelima
ciri utama berikut:[22]
1.
Ia menganggap ekspansi kekayaan yang
dipercepat, produksi maksimum dan pemuasan keinginan individu sebagai sesuatu
yang sangat penting untuk kesejahteraan manusia.
2. Kebebasan
individu tanpa batas untuk mencari, memiliki, dan mengatur kekayaan pribadi
sebagai sebuah keharusan bagi inisiatif individu.
3. Inisiatif
inidividu dapat mewujudkan efisiensi optimum pengalokasian sumber daya.
4. Tidak
mengakui perlunya peranan penting pemerintah dalam efisiensi alokasi dan
keadilan distribusi.
5.
Mengklaim bahwa pemenuhan kepentingan
pribadi secara otomatis memenuhi kepentingan sosial.
Kapitalisme
bergantung pada sistem pasar, dimana pasar tesebut yang menentukan distribusi,
mengalokasi sumber daya dan menetapkan tingkat-tingkat pendapatan gaji, biaya
sewa dan keuntungan kelas-kelas sosial yang berbeda. Dan meniadakan intervensi
pemerintah dalam kegiatan ekonominya.[23]
Al hasil dalam
sistem kapitalis ini, kekayaan benar-benar terpusat pada beberapa gelintir
orang saja. Sementara dalam masyarakat kapitalis terbentanglah jurang yang bias
diantara mayoritas kaum yang merana, dengan minoritas yang selalu berhasil.
Demi menjalani tujuan mereka untuk
menguasai negara-negara lemah dan menjadikan pasar mereka. Maka timbullah
banyak krisis (krisis over ataupun under-produksi, krisis moneter dan
seterusnya).[24]
Terjadinya
Missing Link Sejarah Pemikiran Ekonomi
Dalam Magnus
opusnya, History of Economic Analysis, JA. Schumpeter (1854)
mengatakan, bahwa terdapat suatu great gap dalam sejarah pemikiran
ekonomi selama lebih dari 500 tahun, yaitu pada masa dark ages oleh barat/ pada
masa kegelapan tersebut barat dalam keadaan terbelakang, dimana tidak terdapat
prestasi intelektual yang gemilang termasuk juga dalam pemikiran ekonomi[25]
Demikian pula pada kebanyakan buku sejarah ekonomi, misalnya Spiegel (1991) menganggap pada masa
dark age tidak terdapat karya pemikiran tentang
ekonomi. Siegel memang membuka sejarah pemikiran ekonomi dari Bibel
(1 M) pada para pemikir Yunani (SM), kemudian setelah itu melompat lebih dari
1000 tahun langsung pada pemikiran masa Scholastic, terutama
karya St. Thoams Aquinas (abad 13). Pada masa berikutnya, yaitu abad
ke 16-18 M, sejarah mencatat praktik perekonomian Merkantilikme dan pemikran
ekonomi kaum Physiokrat. Terdapat masa-masa stagnasi waktu yang amat panjang
dalam sejarah pemikiran ekonomi, sebelum kemudian berkembang pesat pasca
lahirnya “The Wealth of Nation” tahun 1776.
Sebenarnya
sebagian besar masa dark age itu justru merupakan masa kegemilangan
di dunia Islam, suatu hal yang berusaha ditutup-tutupi oleh barat. Pada masa
itu banyak karya-karya yang gemilang di berbagai bidang ilmu, temasuk ilmu
ekonomi, yang lahir dari sarjana-sarjan muslim bahkan pemikiran para sarjana
muslim tersebut banyak mempengaruhi pemikiran para sarjana barat, termasuk para
pemikir ekonominya. Jadi sesungguhnya terdapat missing link dalam sejarah
pemikiran ekonomi, yaitu : great gap pada masa dark age, dan kaitan
antara pemikiran di barat dan dunia islam.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pemikiran
ekonomi islam adalah respon para pemikir muslim terhadap tantangan-tantangan
ekonomi pada masa mereka. Pemikiran ekonomi tersebut diilhami dan dipandu oleh
ajaran Al-quran, sunnah, ijtihad (pemikiran) dan pengalaman empiris mereka.
Objek kajian dalam pemikiran ekonomi islam bukanlah ajaran tentang ekonomi,
tetapi pemikiran para ilmuan islam tentang ekonomi dalam sejarah atau bagaimana
mereka memahami ajaran Al-quran dan sunnah tentang ekonomi.
Perkembangan
pemikiran ekonomi Islam dapat di bagi dalam tiga fase utama, yaitu :
1. Fase Pertama/
Fondasi (masa awal Islam)
Fase pertama ini merupakan fase dari abad ke-5 hingga
abad ke-11 masehi. Fase ini juga di kenal sebagai fase dasar-dasar ekonomi
Islam, banyak sarjana muslim yang pernah hidup bersama para sahabat Rasulullah
dan para tabi’in sehingga dapat memperoleh referensi ajaran Islam yag autentik.
2. Fase kedua
Fase ini dimulai pada abad ke-11 sampai ke-15 M. Fese
kedua ini disebut sebagai fase cemerlang dikarenakan peninggalan warisan
intelektual yang sangat kaya. Para cendekia di masa ini mampu menyusun suatu
konsep tentang bagaimana kegiatan ekonomi yang seharusnya berdasarkan pada
Al-Qur’an dan Hadist.
3. Fase Ketiga
Fase ketiga dari sejarah pemikiran ekonomi Islam adalah
fase kemerosotan. Fase ketiga ini dimulai pada tahun 1446 M hingga 1932 M.
Salah satu penyebab kemerosotan pemikiran ekonomi Islam pada waktu itu adalah
asumsi yang mengatakan bahwa telah tertutupnya pintu Ijtihad. Namun demikian
masih terdapat gerakan pembaharu selama dua abad terakhir yang menyeru untuk
kembali kepada Al-Qur’an dan Hadist.
B.
Saran
Dengan
selesainya makalah ini penulis sadar
bahwasanya makalah ini masih jauh
dari kesempurnaan, karena masih banyak kekurangan dan kesalahan baik dari segi
materi pembahasan maupun ejaan kata, maka dari itu penulis mengharapkan
adanya saran dan kritik yang membangun dari pembaca agar di kemudian hari penulis dapat menyusun
makalah lebih baik lagi. Harapan penulis makalah ini dapat bermanfaat untuk
menambah wawasan mengenai sejarah pemikiran tentang ekonomi islam.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Arif Hoetoro, missing
link dalam sejarah pemikiran ekonomi, (Unibraw: BPFE, 2007)
2. Adiwarman
Azwar Karim, Sejarah Pemikiran
Ekonomi islam, (Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada ed 3, 2006)
3. Al-ghazali, Ihya Ulum Ad-din, (Beirut: Dar An
nadwah juz 2)
4. Boedi
Abdullah, Peradaban Pemikiran
Ekonomi Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2010)
5. Sudarsono,
Heri, Konsep Ekonomi Islam: Suatu
Pengantar, (Yogyakarta:
Ekonosia, 2002).
6. Hak,
Nurul, Ekonomi Islam: Hukum Bisnis
Syariah (Mengupas Ekonomi Islam, Bank Islam, Bunga Uang dan Bagi Hasil, Wakaf
Uang dan Sengketa Ekonomi Syariah). (Yogyakarta:
2011)
7. Mannan,
Muhammad Abdul, Islamic Economics, Theory
and Practice. Terjemahan Nastangin dengan judul Teori dan Praktik Ekonomi
Islam, (Yogyakarta:
PT Dana Bhakti Wakaf 2007).
8. Mariyah
Ulfah, Kapita Selekta Ekonomi Islam
Kontemporer, ( Bandung: Alfabeta, 2010)
9. Noor,
Deliar, Perkembangan Pemikiran Ekonomi,
Edisi Ketiga,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012).
10. P3EI
dan Bank Indonesia, Ekonomi Islam, Rajawali Pers, PT Rajagrafindo Persada,
(Yogyakarta 2008)
11.
M. Umer Chapra, Islam dan Tantangan
Ekonomi, diterjemahkan oleh Nur Hadi Ihsan dan Rifqi Amar,, (Risalah
Gusti: Surabaya, 1999)
12.
Robert Leckachman dan Borin Van Loon, Kapitalisme, Teori dan Sejarah
Perkembangannya, (Resist Book: Yogyakarta, 2008)
13.
Simon Tormey, Anti Kapitalisme, (Teraju Mizan: Jakarta, 2005)
[1] Noor, Deliar, Perkembangan Pemikiran Ekonomi, Edisi
Ketiga. Jakarta: Raja Grafindo Persada, (2012).
[2]
Boedi Abdullah, Peradaban Pemikiran Ekonomi Islam,
(Bandung: Pustaka Setia, 2010), hal.15.
[3]
Arif
Hoetoro, missing link dalam
sejarah pemikiran ekonomi, (Unibraw: BPFE, 2007), hal. 39.
[4]
Boedi Abdullah,… hal.144.
[5]
Sudarsono, Heri, Konsep Ekonomi Islam: Suatu Pengantar,
Yogyakarta: Ekonosia, (2002).
[6]
Hak,
Nurul, Ekonomi Islam: Hukum Bisnis
Syariah (Mengupas Ekonomi Islam, Bank Islam, Bunga Uang dan Bagi Hasil, Wakaf
Uang dan Sengketa Ekonomi Syariah). Yogyakarta: (2011).
[7] Mannan,
Muhammad Abdul, Islamic Economics, Theory
and Practice. Terjemahan Nastangin dengan judul Teori dan Praktik Ekonomi
Islam, Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf (2007).
[8]
Hak, Nurul,…
[9]
Sudarsono, Heri,…
[10]
Sudarsono, Heri,…
[11]
Al-ghazali,
Ihya Ulum Ad-din, (Beirut: Dar An nadwah), juz 2,. Hlm,109
[12]
Adiwarman Azwar
Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi
islam, (Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada ed 3,2006). hlm.12
[13] P3EI dan Bank
Indonesia, Ekonomi Islam, Rajawali Pers, PT Rajagrafindo Persada, (Yogyakarta
2008). Hlm.112
[15]
Al-ghazali,…
juz 2,. Hlm.109
[16]
P3EI dan Bank Indonesia,…
hlm.110
[17]
Adiwarman Azwar Karim,… hlm.353
[18]
Mariyah Ulfah, Kapita Selekta Ekonomi Islam Kontemporer,
( Bandung: Alfabeta, 2010 ). hlm.21
[20]
Adiwarman Azwar Karim,… hlm.21
[21]
P3EI dan Bank Indonesia,…
hlm.115
[22]
M. Umer Chapra, Islam dan Tantangan
Ekonomi, diterjemahkan oleh Nur Hadi Ihsan dan Rifqi Amar,, (Risalah
Gusti: Surabaya, 1999). hlm. 18
[23]
Robert Leckachman dan Borin
Van Loon, Kapitalisme, Teori dan
Sejarah Perkembangannya, (Resist Book: Yogyakarta, 2008). hlm. 3
[24]
Simon Tormey, Anti Kapitalisme, (Teraju Mizan:
Jakarta, 2005). hlm, 4
[25]
P3EI dan Bank Indonesia,…
hlm.119
Tidak ada komentar:
Posting Komentar