OLEH YUSWADI
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam adalah
agama yang universal sebagai pedoman yang mengatur segala aspek kehidupan
manusia, pada garis besarnya menyangkut dua bagian pokok, yaitu ibadah dan
muamalah. Ibadah adalah mengahambakan diri kepada Allah SWT dengan menaati
segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Sedangkan muamalah ialah
kegiatan-kegiatan yang menyangkut antar manusia yang meliputi aspek ekonomi,
politik dan sosial. Untuk kegiatan muamalah yang menyangkut aspek ekonomi
seperti jual beli, simpan pinjam, hutang piutang, usaha bersama dan lain
sebagainya.
Adapun
bentuk-bentuk jual beli yang telah dibahas oleh para ulama dalam fiqh
muamalah Islamiyah terbilang sangat banyak. Jumlahnya bisa mencapai
belasan atau puluhan. Sesungguhpun demikian, dari sekian banyak itu, ada salah
satu jenis jual beli yang telah banyak dikembangkan sebagai sandaran pokok
dalam pembiayaan modal kerja dan investasi dalam perbankan syariah, yaitu bai’
al-murabahah atau jual beli murabahah.
B. Rumusan Masalah
1. Apa
Pengertian Murabahah
2. Apa
Landasan Hukum Murabahah
3. Apa
Rukun, Syarat Murabahah
4. Bagaimana
Penggunaan Akad Murabahah pada Pembiayaan Lembaga Keuangan Syariah (LKS).
C.
Manfaat
1. Mengetahui
tentang Murabahah itu sendiri
2. Mengetahui
Landasan Hukum Murabahah
3. Mengetahui
Rukun dan Syarat Murabahah
4. Mengetahui
Penggunaan Akad Murabahah pada Pembiayaan Lembaga Keuangan Syariah (LKS).
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Murabahah
Kata al-Murabahah diambil
dari bahasa Arab dari kata ar-ribhu (الرِبْحُ) yang berarti kelebihan
dan tambahan (keuntungan), atau murabahah juga
berarti Al-Irbaah karena salah satu dari dua orang yang bertransaksi
memberikan keuntungan kepada yang lainnya. sedangkan secara istilah, Bai’ul
murabahah adalah:
بَيْعٌ بِمِثلِ الثمَنِ الأوَّلِ
مَعَ زِيَادَةِ رِبْحٍ مَعلُوْمٍ
Yaitu jual beli dengan harga awal
disertai dengan tambahan keuntungan Definisi ini adalah definisi yang
disepakati oleh para ahli fiqh, walaupun ungkapan yang digunakan berbeda-beda.
Murabahah dalam
arti bahasa berasal dari kata raabaha yang asal katanya rabaha yang artinya
tambahan.[1]
Murabahah merupakan salah satu dari bentuk jual beli amanah. Murabahah adalah
jual beli suatu barang di mana penjual memberitahukan harga belinya kepada
pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba.
Murabahah merupakan salah satu
konsep Islam dalam melakukan jual beli. Konsep ini telah banyak digunakan oleh
bank-bank dan lembaga-lembaga keuangan Islam untuk pembiayaan modal kerja, dan
pembiayaan perdagangan para nasabahnya.
Ibnu Qudamah
mendefinisikan, murabahah adalah menjual dengan harga asal ditambah dengan
margin keuntungan yang telah disepakati.[2]
Misalnya, sesorang membeli barang kemudian menjualnya kembali dengan keuntungan
tertentu. Berapa besar keuntungan tersebut dapat dinyatakan dalam nominal
rupiah tertentu atau dalam bentuk persentase dari harga pembeliannya, misalnya
10% atau 20%.
Dalam
fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) No. 04/DSN-MUI/IV/2000. Pengertian
murabahah yaitu menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada
pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba.[3]
Dalam fatwa tersebut juga dibahas mengenai ketentuan umum murabahah dalam bank syariah,
ketentuan murabahah kepada nasabah, jaminan, hutang, penundaan pembayaran, serta
bangkrut dalam murabahah.[4]
Dari pengertian murabahah di atas dapat dikemukakan bahwa inti
dari jual beli murabahah adalah penjual mendapatkan manfaat keuntungan dan
pembeli mendapa manfaat dari benda yang dia beli. Karena dalam definisinya
disebut adanya “keuntungan yang disepakati”, karakteristik murabahah adalah si
penjual harus memberi tahu pembeli tentang harga pembelian barang dan
menyatakan jumlah keuntungan yang ditambahkan pada biaya tersebut.
Menurut Para
ahli hukum Islam mendefinisikan bai’ al-murabahah sebagai
berikut :
‘Abd ar-Rahman al-Jaziri
mendefinisikan bai’ al-murabahah sebagai menjual barang dengan harga
pokok beserta keuntungan dengan syarat-syarat tertentu.
Menurut Wahbah az-Zuhaili adalah
jual-beli dengan harga pertama (pokok) beserta tambahan keuntungan.
Ibn Rusyd
filosof dan ahli hukum Maliki mendefinisikannya sebagai jual-beli di mana
penjual menjelaskan kepada pembeli harga pokok barang yang dibelinya dan
meminta suatu margin keuntungan kepada pembeli.
Ibn Qudamah ahli hukum Hambali
mengatakan bahwa arti jual-beli murabahah adalah
jual-beli dengan harga pokok ditambah margin keuntungan.
Dengan kata
lain, jual-beli murabahah adalah suatu bentuk jual-beli di mana
penjual memberi tahu kepada pembeli tentang harga pokok (modal) barang dan
pembeli membelinya berdasarkan harga pokok tersebut kemudian memberikan
margin keuntungan kepada penjual sesuai dengan kesepakatan. Tentang “keuntungan
yang disepakati”, penjual harus memberi tahu pembeli tentang harga pembelian
barang dan menyatakan jumlah keuntungan yang ditambahkan pada biaya tersebut.
Para
ahli hukum Islam menetapkan beberapa syarat mengenai jual-beli murabahah.
Wahbah az-Zuhaili mengatakan bahwa di dalam bai’ al-murabahah itu
disyaratkan beberapa hal, yaitu :
1.
Mengetahui harga pokok
Dalam
jual-beli murabahah disyaratkan agar mengetahui harga pokok/ harga
asal karena mengetahui harga merupakan syarat sah jual-beli. Syarat ini juga
diperuntukkan untuk jual-beli at-tauliyyah dan al-wadi’ah.
2.
Mengetahui keuntungan
Hendaknya
margin keuntungan juga diketahui oleh si pembeli. Karena margin keuntungan
termasuk bagian dari harga, sedangkan mengetahui harga merupakan syarat sah jual-beli.
3.
Harga pokok merupakan sesuatu yang dapat
diukur, dihitung dan ditimbang, baik pada waktu terjadi jual-beli dengan
penjual yang pertama atau setelahnya, seperti dirham, dinar, dan lain-lain.
Jual-beli murabahah merupakan
jual-beli amanah, karena pembeli memberikan amanah kepada penjual untuk
memberitahukan harga pokok barang tanpa bukti tertulis. Dengan demikian, dalam
jual-beli ini tidak diperbolehkan berkhianat. Allah telah berfirman :
" ياأيها الذين أمنوا لاتخونوا الله والرسول وتخونوا
أماناتكم وأ نتم تعلمون"
Berdasarkan ayat di atas, apabila
terjadi jual-beli murabahah dan terdapat cacat pada barang, baik pada
penjual maupun pada pembeli, maka dalam hal ini ada dua pendapat ulama.
Menurut
Hanafiyah, penjual tidak perlu menjelaskan adanya cacat pada barang karena
cacat itu merupakan bagian dari harga barang tersebut. Sementara jumhur ulama
tidak memperbolehkan menyembunyikan cacat barang yang dijual karena hal itu
termasuk khianat. Penyembunyian cacat barang atau tidak menjelaskannya menurut
hukum Islam dianggap sebagai suatu pengkhianatan dan merupakan salah satu cacat
kehendak (‘aib min ‘uyub al- iradah) yang berakibat pembeli diberi
hak khiyar atau --dalam bahasa hukum perdata Barat-- pembeli diberi
hak untuk minta pembatalan atas jual-beli tersebut. Ibn Juzai dari Mazhab
Maliki mengatakan, “Tidak boleh ada
penipuan jual-beli murabahah dan jual-beli lainnya”. Termasuk penipuan
adalah menyembunyikan keadaan barang yang sebenarnya yang tidak diingini oleh
pembeli atau mengurangi minatnya terhadap barang tersebut.
Pengkhianatan
dalam jual-beli murabahah ini bisa terjadi mengenai informasi tentang
cara penjual memperoleh barang, yaitu apakah melalui pembelian secara tunai,
pembelian hutang atau sebagai penggantian dari suatu kasus perdamaian.
Pengkhianatan bisa juga terjadi tentang besarnya harga pembelian.
Apabila
pengkhianatan terjadi dalam hal informasi cara memperoleh barang, dimana
misalnya penjual menyatakan bahwa ia memperolehnya melalui pembelian tunai
padahal melalui pembelian hutang atau merupakan barang penggantian dalam suatu
kasus perdamaian, maka pembeli diberi hak khiyar untuk meneruskan
atau membatalkan akad tersebut. Atau dalam bahasa hukum perdata, pengkhianatan
ini merupakan suatu cacat kehendak dan memberikan hak kepada pembeli untuk
meminta pembatalan akad tersebut.
Apabila pengkhianatan terjadi
mengenai harga pokok barang di mana penjual menyatakan suatu harga yang lebih
tinggi dari harga sebenarnya yang ia bayar, maka dalam hal ini ada perbedaan
pendapat dalam mazhab Hanafi. Menurut Abu Hanifah, pembeli boleh melakukan khiyar untuk
meneruskan jual-beli atau membatalkannya karena murabahah merupakan
akad jual-beli yang berdasarkan amanah. Menurut Abu Yusuf (133-182 H), pembeli
tidak mempunyai hak khiyar, melainkan berhak menurunkan harga ke tingkat
harga riil sesungguhnya yang dibayarkan oleh penjual ketika membeli barang
bersangkutan serta penurunan margin keuntungan dalam persentase yang sebanding dengan penurunan
harga pokok barang. Mazhab Maliki sejalan dengan pendapat Abu Hanifah.
Sedangkan mazhab Syafi’i dan Hambali sejalan dengan pendapat Abu Yusuf.
Bai’ al-murabahah tidak memiliki
rujukan/referensi langsung dari al-Qur’an dan Sunnah. Yang ada hanyalah
referensi mengenai jual-beli dan perdagangan. Jual-beli murabahah ini
hanya dibahas dalam kitab-kitab fiqih dan itupun sangat sedikit dan sepintas
saja. Para ilmuwan, ulama, dan praktisi perbankan syari’ah agaknya menggunakan
rujukan/dasar hukum jual-beli sebagai rujukannya, karena mereka menganggap
bahwa murabahah termasuk jual-beli.
B. Landasan Hukum Murabahah
Landasan hukum
akad murabahah ini adalah:
1.
Al-Quran
Ayat-ayat Al-Quran yang secara umum
membolehkan jual beli, diantaranya adalah firman Allah:
وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ
الرِّبَا
Artinya: "..dan Allah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba" (QS. Al-Baqarah:275).
Ayat ini menunjukkan bolehnya
melakukan transaksi jual beli dan murabahah merupakan
salah satu bentuk dari jual beli.[5]
Dan firman Allah:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَأْكُلُوا
أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ
مِّنكُمْ.
Artinya: “Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil,
kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara
kamu” (QS. An-Nisaa:29).
Dan firman Allah:
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن
تَبْتَغُوا فَضْلاً مِّن رَّبِّكُمْ
Artinya: “Tidak ada dosa bagimu
mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Rabbmu” (QS. Al-Baqarah:198)
Berdasarkan ayat diatas,
maka murabahah merupakan upaya mencari rezki melalui jual
beli. Murabahah menurut Azzuhaili (1997., hal.3766.) adalah jual beli
berdasarkan suka sama suka antara kedua belah pihak yang bertransaksi.
2.
Assunnah
Sabda Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wassallam: “Pendapatan yang paling afdhal (utama)
adalah hasil karya tangan seseorang dan jual beli yang mabrur”. (HR. Ahmad
Al Bazzar Ath Thabrani).
Hadits dari
riwayat Ibnu Majah, dari Syuaib:
أَنَّ النَّبِي صَلىَّ اللهُ
عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ثَلاَثٌ فِيْهِنَّ البَرَكَة: البَيْعُ إِلىَ
أَجَلٍ, وَالمُقـَارَضَة, وَ خَلْطُ البُرّ بِالشَّعِيْرِ لِلْبَيْتِ لاَ
لِلْبَيْعِ. (رَوَاهُ ابْنُ مَاجَه)
”Tiga perkara yang didalamnya
terdapat keberkahan: menjual dengan pembayaran secara tangguh, muqaradhah (nama
lain dari mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan
rumah dan tidak untuk dijual” (HR. Ibnu Majah).
Ketika Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wassallam akan hijrah, Abu BakarRadhiyallahu
'Anhu, membeli dua ekor keledai, lalu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wassallam berkata kepadanya, "jual kepada saya salah satunya",
Abu Bakar Radhiyallahu 'Anhu menjawab, "salah satunya jadi milik anda
tanpa ada kompensasi apapun", Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wassallam bersabda, "kalau tanpa ada harga saya tidak mau".
Sebuah riwayat
dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu 'Anhu, menyebutkan bahwa boleh
melakukan jual beli dengan mengambil keuntungan satu dirham atau dua dirham
untuk setiap sepuluh dirham harga pokok.
Dari Abu Said
al-Khudri bahwa Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya jual beli itu harus
dilakukan suka sama suka”.
Hadits ini yang diriwayatkan oleh
Al-Baihaqi dan Ibnu Majah ini merupakan dalil atas keabsahan jual beli secara
umum. Hadits ini memberikan prasyarat bahwa akad jual beli murabahah harus
dilakukan dengan adanya kerelaan masing-masing pihak ketika melakukan
transaksi. Segala ketentuan yang yang terdapat dalam jual beli murabahah,
seperti penentuan harga jual, margin yang diinginkan, mekanisme pembayaran dan
lainnya, harus terdapat persetujuan dan kerelaan antara pihak nasabah dan bank,
tidak bisa ditentukan secara sepihak.[6]
Selain itu,
transaksi dengan menggunakan akad jual beli murabahah ini sudah
menjadi kebutuhan yang mendesak dalam kehidupan. Banyak manfaat yang
dihasilkan, baik bagi yang berprofesi sebagai pedagang maupun bukan.
3.
Al-Ijma
Transaksi ini
sudah dipraktekkan di berbagai kurun dan tempat tanpa ada yang mengingkarinya,
ini berarti para ulama menyetujuinya.
Kaidah Fiqh, yang
menyatakan:
الأَصْلُ فِى المُعَامَلاَتِ
الإِبَاحَة ُ إِلا َّ أَنْ يَدُلَّ دَلِيْلٌ عَلىَ تَحْرِيْمِهَا
4. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional
a. Nomor
4/ DSN-MUI IV/ 2000 tanggal 1 April 2000 tentang Murabahah,
b. Nomor
13/ DSN-MUI IX/ 2000 tanggal 16 September 2000 tentang Uang Muka Dalam
Murabahah
c. Nomor
16/ DSN-MUI IX/ 2000 tanggal 16 September 2000 tentang Diskon Dalam Murabahah,
Nomor 17/ DSN-MUI IX/ 2000 tanggal 16 September 2000 tentang Sanksi Atas Nasabah Mampu Yang Menunda-nunda Pembayaran, dan
Nomor 17/ DSN-MUI IX/ 2000 tanggal 16 September 2000 tentang Sanksi Atas Nasabah Mampu Yang Menunda-nunda Pembayaran, dan
d.
Nomor 23/ DSN-MUI/ III/ 2002 tanggal 28
Maret 2002 tentang Potongan Pelunasan Dalam Murabahah.
Berdasarkan
fatwa-fatwa tersebut, Bank Indonesia mengatur lebih lanjut dalam bentuk
Peraturan Bank Indonesia atau Surat Edaran Bank Indonesia, seperti tentang
kolektibilitas dan Pedoman Akuntansi Perbankan Syari’ah Indonesia (PAPSI).
Sesuai UU No.10/1998 tentang perubahan UU No.7 tentang Perbankan dalam
penjelasan pasal 6 huruf m dijelaskan bahwa yang mempunyai kewenangan untuk
mengatur kegiatan usaha Bank Syari’ah adalah Bank Indonesia.
5.
Ketentuan
hukum dalam FATWA DSN MUI No.04/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Murabahah
ini adalah sebagai berikut :[7]
Pertama : Ketentuan Umum Murabahah
dalam Bank Syari’ah:
a.
Bank dan nasabah harus melakukan akad
murabahah yang bebas riba.
b. Barang
yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syari’ah Islam.
c. Bank
membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati
kualifikasinya.
d. Bank
membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian
ini harus sah dan bebas riba.
e. Bank
harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika
pembelian dilakukan secara utang.
f. Bank
kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual
senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini Bank harus memberitahu
secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.
g. Nasabah
membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu
yang telah disepakati.
h. Untuk
mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak bank
dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah.
i.
Jika bank hendak mewakilkan kepada
nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus
dilakukan setelah barang, secara prinsip, menjadi milik bank.
Kedua : Ketentuan Murabahah kepada
Nasabah:
a.
Nasabah mengajukan permohonan dan janji
pembelian suatu barang atau aset kepada bank.
b. Jika
bank menerima permohonan tersebut, ia harus membeli terlebih dahulu aset yang
dipesannya secara sah dengan pedagang.
c. Bank
kemudian menawarkan aset tersebut kepada nasabah dan nasabah harus menerima
(membeli)-nya sesuai dengan janji yang telah disepakatinya, karena secara hukum
janji tersebut mengikat; kemudian kedua belah pihak harus membuat kontrak jual
beli.
d. Dalam
jual beli ini bank dibolehkan meminta nasabah untuk membayar uang muka saat
menandatangani kesepakatan awal pemesanan.
e. Jika
nasabah kemudian menolak membeli barang tersebut, biaya riil bank harus dibayar
dari uang muka tersebut.
f. Jika
nilai uang muka kurang dari kerugian yang harus ditanggung oleh bank, bank
dapat meminta kembali sisa kerugiannya kepada nasabah.
g. Jika
uang muka memakai kontrak ‘urbun sebagai alternatif dari uang muka, maka :
1)
jika nasabah memutuskan untuk membeli
barang tersebut, ia tinggal membayar sisa harga.
2)
jika nasabah batal membeli, uang muka
menjadi milik bank maksimal sebesar kerugian yang ditanggung oleh bank akibat
pembatalan tersebut; dan jika uang muka tidak mencukupi, nasabah wajib melunasi
kekurangannya.
Ketiga : Jaminan dalam Murabahah:
a.
Jaminan dalam murabahah dibolehkan, agar
nasabah serius dengan pesanannya.
b.
Bank dapat meminta nasabah untuk
menyediakan jaminan yang dapat dipegang.
Keempat : Utang dalam Murabahah:
a.
Secara prinsip, penyelesaian utang
nasabah dalam transaksi murabahah tidak ada kaitannya dengan transaksi lain
yang dilakukan nasabah dengan pihak ketiga atas barang tersebut. Jika nasabah
menjual kembali barang tersebut dengan keuntungan atau kerugian, ia tetap
berkewajiban untuk menyelesaikan utangnya kepada bank.
b. Jika
nasabah menjual barang tersebut sebelum masa angsuran berakhir, ia tidak wajib
segera melunasi seluruh angsurannya.
c.
Jika penjualan barang tersebut
menyebabkan kerugian, nasabah tetap harus menyelesaikan utangnya sesuai
kesepakatan awal. Ia tidak boleh
memperlambat pembayaran angsuran atau meminta kerugian itu
diperhitungkan.
Kelima : Penundaan Pembayaran dalam
Murabahah:
a.
Nasabah yang memiliki kemampuan tidak
dibenarkan menunda penyelesaian utangnya.
b.
Jika nasabah menunda-nunda pembayaran
dengan sengaja, atau jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya, maka
penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak
tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Keenam : Bangkrut dalam Murabahah:
Jika nasabah telah dinyatakan
pailit dan gagal menyelesaikan utangnya, bank harus menunda tagihan utang
sampai ia menjadi sanggup kembali, atau berdasarkan kesepakatan.
C. Rukun dan Syarat Murabahah
Rukunnya
Rukun adalah sesuatu yang wajib ada dalam suatu transaksi (necessary
condition), misalnya ada penjual dan pembeli. Tanpa adanya penjual dan
pembeli, maka jual beli tidak akan ada. Para ekonom-ekonom Islam dan ahli-ahli Fiqh,
menganggap Murabahah sebagai bagian dalam jual beli. Maka, secara umum
kaidah yang digunakan adalah jual beli. Rukun jual beli ada tiga, yaitu akad (ijab
qabul), orang-orang yang berakad (penjual dan pembeli) dan ma’kud alaih (obyek
akad).[8]
- Rukun
Jual Beli Murabahah
Dalam
jual beli ada tiga rukun yang harus dipenuhi.
- Orang
yang berakad.
- Penjual
- Pembeli
- Ma’kud
alaih
(obyek akad):
- Barang
yang diperjual belikan.
- Harga.
- Akad/
Shighot:
- Serah
(Ijab)
- Terima
(Qabul)
Syarat Jual Beli
Selain karena faktor yang telah ada seperti akad menjadi sah
atau lengkap adalah adanya syarat. Syarat yaitu sesuatu yang keberadaannya
melengkapi rukun (sufficient condition). Contohnya: adalah pelaku
transaksi haruslah orang yang cakap hukum (mukalaf) menurut mazhab
Hanafi, bila rukun sudah terpenuhi tapi syarat tidak terpenuhi maka rukun
menjadi tidak lengkap sehingga transaksi tersebut menjadi fasid (rusak).[9]
Adapun
syarat-syarat jualbeli sebagai berikut.[10]
- Penjual
dan Pembeli
- Berakal
- Dengan
kehendak sendiri
- Keadaan
tidak Mubadzir (pemboros)
- Baliq
- Uang
dan Benda yang dibeli (obyek yang diperjual belikan)
- Suci
- Ada
manfaat
- Keadaan
barang tersebut dapat di serahkan
- Keadaan
barang tersebut kepunyaan penjual atau kepunyaan yang diwakilkan
- Barang
tersebut diketahui antarasi penjual dan pembeli dengan terang dzat,
bentuk, kadar (ukuran) dan sifat-sifatnya sehingga tidak terjadi keadaan
yang mengecewakan
- Ijab Qabul
- Jangan
ada yang memisahkan, janganlah pembeeli diam saja setelah penjual
menyatakan ijabnya begitu pula sebaliknya
- Jangan
diselingi dengan kata-kata lain antara ijab dan qabul
- Beragama
Islam, syarat ini khusus utuk pembeli saja dalam benda-benda tertentu
seperti seseorang dilarang menjual hambanya yang beragama islam kepada pembeli yang beragama tidak
islam, sebab besar kemungkinan pembeli tersebut akan merendahkan abid yang
beragama Islam, sedangkan Allah melarang orang mu’min.
Paparan tentang
jual beli murabahah di atas merupakan konsep dan praktik murabahah yang banyak
dituangkan dalam berbagai literatur klasik (kitab fikih turats), dimana
komoditas/barang yang menjadi obyek murabahah tersedia dan dimiliki penjual
pada waktu negosiasi atau akad jual beli berlangsung. Kemudian ia menjual
barang tersebut kepada pembeli dengan menjelaskan harga pembelian dan
keuntungan yang akan diperoleh. Karena itu, dapat dikatakan praktik tersebut
adalah transaksi jual beli biasa, kelebihannya terletak pada pengetahuan
pembeli tentang harga pembelian awal sehingga menuntut kejujuran penjual dalam
menjelaskan harga awal yang sebenarnya.
D. Penggunaan Akad Murabahah pada Pembiayaan
Lembaga Keuangan Syariah (LKS).
Dalam praktik di
Lembaga Keuangan Syariah (LKS) termasuk bank syariah, bentuk murabahah dalam
fikih klasik tersebut mengalami beberapa modifikasi. Murabahah yang
dipraktikkan pada LKS dikenal dengan murâbahah li al-âmir bi al-Syirâ’ ,
yaitu transaksi jual beli di mana seorang nasabah datang kepada pihak bank
untuk membelikan sebuah komoditas dengan kriteria tertentu, dan ia berjanji
akan membeli komoditas/barang tersebut secara murabahah, yakni sesuai harga
pokok pembelian ditambah dengan tingkat keuntungan yang disepakati kedua pihak,
dan nasabah akan melakukan pembayaran secara installment (cicilan berkala)
sesuai dengan kemampuan finansial yang dimiliki.[11]
Mengenai kedudukan hukum praktik
murâbahah li al-âmir bi al-Syira’ ulama kontemporer berbeda pendapat. Ada
yang memperbolehkan dan ada juga yang melarang atau mengharamkan.
Di antara ulama
yang mengakui keabsahan/kebolehan murâbahah li al-âmir bi al-Syirâ adalah
Sami Hasan Hamud, Yusuf Qardhawi, Ali Ahmad Salus, Shadiq Muhammad Amin,
Ibrahim Fadhil, dan lainnya. Adapun argumentasi mereka adalah sebagai
berikut.[12]
Pertama, hukum
asal dalam muamalah adalah diperbolehkan dan mubah kecuali terdapat nash shahih
dan sharih yang melarang dan mengharamkannya. Berbeda dengan ibadah Mahdhah
hukum asalnya adalah haram kecuali ada nash yang memerintahkan untuk
melakukannya. Oleh karena itu dalam muamalah tidak perlu mempertanyakan dalil
yang mengakui keabsahan dan kehalalan, yang perlu diperhatikan adalah dalil
yang melarang dan mengharamkannya. Sepanjang tidak terdapat dalil yang
melarangnya, maka transaksi muamalah sah dan halal hukumnya.
Kedua, keumuman
nash Al-Qur’an dan hadis yang menunjukan kehalalan segala bentuk jual
beli, kecuali terdapat dalil khusus yang melarangnya. Yusuf Qardhawi
mengatakan, dalam surat al-Baqarah; 275 Allah menghalalkan segala bentuk jual
beli secara umum, baik jual beli muqâydhah (barter), sharf (jual
beli mata uang/valas), jual beli salam ataupun jual beli mutlak serta
bentuk jual beli lainnya. Semua jenis jual beli ini halal, karena ia masuk
dalam kategori jual beli yang dihalalkan Allah, dan tidak ada jual beli
yang haram kecuali terdapat nash dari Allah dan Rasulnya yang mengharamkannya.
Ketiga, terdapat
nash ulama fikih yang mengakui keabsahan akad ini, di antaranya pernyataan Imam
Syafi’i dalam kitab al-Umm: “dan ketika seseorang memperlihatkan sebuah barang
tertentu kepada orang lain, dan berkata: “belikanlah aku barang ini, dan engkau
akan aku beri margin sekian”, kemudian orang tersebut mau untuk membelikannya,
maka jual beli tersebut diperbolehkan”. Namun demikian, orang yang meminta untuk
dibelikan tersebut memiliki hak khiyar, jika barang tersebut sesuai dengan
kriterianya, maka bisa dilanjutkan dengan akad jual beli dan akadnya sah,
sebaliknya, jika tidak sesuai, maka ia berhak untuk membatalkannya”.
Berdasarkan pernyataan ini, dapat disimpulkan
bahwa Imam Syafi’i memperbolehkan transaksi Murâbahah li al-Âmir bi al-Syirâ,
dengan syarat pembeli atau nasabah memiliki hak khiyar, yakni hak untuk
meneruskan atau membatalkan akad. Selain itu, penjual juga memiliki hak khiyar,
dengan demikian tidak terdapat janji yang mengikat kedua belah pihak.
Keempat,
transaksi muamalah dibangun atas asas maslahat. Hukum Islam tidak melarang
bentuk transaksi kecuali terdapat unsur kezaliman di dalamnya, seperti riba,
penimbunan (ihtikar), penipuan dan lainnya, atau diindikasikan transaksi
tersebut dapat menimbulkan perselisihan atau permusuhan di antara manusia,
seperti adanya gharar atau bersifat spekulasi. Permasalahan pokok dalam
muamalah adalah unsur kemaslahatan. Jika terdapat maslahah, maka sangat dimungkinkan
transaksi tersebut diperbolehkan. Seperti halnya diperbolehkannya akad
istishna, padahal ia merupakan jual beli/bai‘ al-ma’dum (obyek tidak
ada saat akad), karena adanya kebutuhan dan maslahah yang akan didapatkan,
tidak menimbulkan perselisihan dan sudah menjadi kebiasaan masyarakat.
Kelima, pendapat
yang memperbolehkan bentuk murabahah ini dimaksudkan untuk memudahkan persoalan
hidup manusia. Syariah Islam datang untuk mempermudah urusan manusia dan
meringankan beban yang ditanggungnya. Banyak firman Allah yang menyatakan hal
ini, di antaranya: “Allah hendak memberikan keringanan kepadamu” (An-Nisa ayat
28), dan Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu (al-Baqarah ayat 185). Kehidupan manusia di zaman sekarang lebih
kompleks, jadi mereka membutuhkan kemudahan-kemudahan. Akan tetapi maksud dari
kemudahan di sini adalah menjaga kemaslahatan dan hajat hidup orang banyak
sebagaimana ingin diwujudkan oleh syara’.
Adapun ulama
kontemporer yang melarang dan mengharamkan praktik murabahah li al-amir bi
al-Syira’ antara lain: Muhammad Sulaiman al-Asyqar, Bakr bin
Abdullah Abu Zaid, Rafîq al-Mishrî dan lainnya. Berikut ini argumen yang
memperkuat pendapat mereka.
Pertama,
transaksi murabahah di LKS/bank syariah sebenarnya bukan dimaksudkan untuk
melakukan jual beli tapi hanya sekedar hîlah atau trik untuk menghalalkan riba.
Mereka mengatakan bahwa maksud dan tujuan sebenarnya transaksi murabahah adalah
untuk mendapatkan uang tunai, sebab kedatangan nasabah ke LKS/bank syariah
sebenarnya adalah untuk mendapatkan uang tunai. Sementara itu, pihak
LKS/bank syariah tidak membeli barang melainkan hendak menjualnya kepada
nasabah dengan cara cicilan, sehingga dapat dimaknai bahwa LKS/bank syariah
sebenarnya tidak sungguh-sungguh membeli barang tersebut.
Kedua, tidak ada
satu orang pun dari ulama terdahulu (salaf ) yang membolehkan murabahah,
bahkan ada yang menyatakan keharaman murabahah.
Ketiga,
transaksi murabahah termasuk jual beli ‘înah yang diharamkan. Jual beli
‘înah adalah pinjaman ribawi yang direkayasa dengan praktik jual
beli.
Keempat ,
Transaksi murabahah termasuk bay‘atani fi bay‘ah. Rasulullah SAW telah melarang
bentuk jual beli bay‘ atâni fi bay‘ ah dalam sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Nasa’i dan Tirmidzi. Untuk mengetahui apakah
transaksi murabahah termasuk bay‘atâni fi bay‘ah, maka perlu mengetahui maksud
dari model akad tersebut . Menurut Imam Syafi’i bay‘atâni fi bay‘ah maksudnya
adalah: Seorang penjual berkata: Saya menjual barang ini kepada kamu Rp.
100.000,- secara tempo dan Rp.50.000,- secara kontan, terserah mau pilih yang
mana, dan kontrak jual beli berlangsung tanpa adanya satu pilihan pasti
dan jual beli mengikat salah satu pihak.
Kelima, Bank
syariah dalam melakukan transaksi murabahah, menjual barang yang tidak atau
belum dimilikinya (bai’ al-ma’dum) , dimana pihak bank syariah dan nasabah
berjanji untuk melakukan transaksi murabahah. Untuk mewujudkan kesepakatan
tersebut, mereka membuat transaksi janji; pihak bank berjanji untuk menjual
barang, dan pihak nasabah berjanji untuk membeli barang. Keharusan nasabah
untuk membeli karena perjanjian berubah menjadi transaksi yang sebenarnya,
padahal barangnya belum ada. Bentuk ini bertentangan dengan kaidah umum
syariat yang melarang jual beli pada barang yang tidak dimiliki.
Keenam, Bank
syariah dalam melakukan transaksi murabahah, telah mewajibkan transaksi dengan
sekedar janji. Apabila janji tersebut tidak sampai menjadi suatu keharusan,
maka tidak ada masalah dalam transaksi murabahah. Tapi apabila janji untuk
membeli itu menjadi suatu keharusan, maka para ulama banyak yang menolaknya,
karena dasar keharusan membeli tersebut tidak ada dalam kaidah umum syariat dan
tidak boleh mewajibkan transaksi hanya dengan sekedar janji.
Atas dasar perbedaan
ulama di atas, Muhammad Taqi Usmani mengakui bahwa pada mulanya murabahah bukan
merupakan bentuk pembiayaan melainkan hanya alat untuk menghindari “bunga bank”
dan juga bukan merupakan instrumen ideal untuk mengembangkan tujuan riil
ekonomi Islam. Instrumen murabahah hanya digunakan sebagai langkah transisi
yang diambil dalam proses islamisasi ekonomi. Sedangkan untuk menghindari
praktik murabahah yang akan terjebak pada praktik hilah, bai’‘inah, bay‘atani
fi bay‘ah, dan bai’ al-ma’dûm maka para ulama kontemporer mensyaratkan dalam
praktik jual beli murabahah di lembaga keuangan syariah sebagai berikut:
a.
Jual beli murabahah bukan pinjaman yang
diberikan dengan bunga, tetapi merupakan jual beli komoditas dengan harga
tangguh termasuk margin keuntungan di atas biaya perolehan yang disetujui
bersama. Dalam kaitan ini, bila harga tangguh lebih tinggi dari harga tunai
maka sebelum para pihak berpisah, pilihan harga tersebut harus telah disepakati
agar terhindar dari bay‘atâni fi bay‘ah,
b.
Pemberi pembiayaan dalam hal ini
bank atau lembaga keuangan syariah lainnya, harus telah membeli
komoditas/barang dan menyimpan dalam kekuasaannya, atau membeli melalui orang
ketiga sebagai agennya sebelum dijual kepada nasabahnya. Bila tidak demikian
maka akan terjadi bai’ al-ma’dûm (menjual belikan sesuatu yang belum
ada/dimiliki). Namun demikian, bila pembelian langsung ke pihak supplier
tidak praktis, diperbolehkan bagi pemberi pembiayaan untuk memanfaatkan nasabah
sebagai agen/wakil dengan menggunakan akad wakalah untuk membeli komoditas yang
diperlukan atas nama pemberi pembiayaan.
Dalam kasus
seperti ini, selama barang tersebut belum dibelikan oleh nasabah sebagai agen
maka tidak boleh dilakukan akad jual beli komoditas/barang antara nasabah dan
pihak pemberi pembiayaan. Bahkan bila nasabah sudah membelikan komoditasnya
pun, resiko atas rusak atau hilangnya barang masih ada pada pihak pemberi
pembiayaan hingga dilakukan akad jual beli antara kedua belah pihak.
c.
Pembelian komoditas tidak boleh dari
nasabah sendiri (komoditas milik nasabah) dengan perjanjian buy back (pembelian
kembali) karena model perjanjian seperti ini masuk kategori bai ‘ inah
yang diharamkan oleh sebagian besar ulama. Sejalan dengan syarat-syarat di
atas, maka praktik murabahah li al-âmir bi al-Syirâ’ di lembaga Keuangan
Syariah (LKS) ditempuh dengan prosedur sebagai berikut:
Nasabah dan LKS
menandatangani perjanjian umum ketika LKS berjanji untuk menjual dan nasabah
berjanji untuk membeli komoditas atau barang tertentu pada tingkat margin tertentu
yang ditambahkan dari biaya perolehan barang;
LKS selanjutnya
bisa menunjuk nasabah sebagai agennya untuk membeli komoditas yang diperlukan
nasabah atas nama LKS, dan perjanjian keagenan dengan akad wakalah
ditandatangani oleh kedua belah pihak;
Nasabah
membelikan komoditas atas nama LKS dan mengambil alih penguasaan barang
sebagai agen LKS, pada tahap ini resiko komoditas masih ada pada LKS;
Nasabah menginformasikan kepada LKS
bahwa ia telah membeli komoditas/atau barang atas nama LKS, dan pada saat
yang sama menyampaikan penawaran untuk membeli barang tersebut dari LKS.
LKS menerima
penawaran tersebut dan proses jual beli berlangsung dengan pembayaran
secara cicilan/tangguh sesuai kesepakatan. Jika proses jual beli telah
berlangsung maka kepemilikan dan resiko komoditas/barang telah beralih ke
tangan nasabah.
Langkah-langkah di atas diperlukan
apabila LKS menjadikan nasabah sebagai agennya, tetapi jika LKS membeli
komoditas/barang langsung ke supplier maka perjanjian keagenan
seperti di atas tidak diperlukan. Dalam hal ini, setelah LKS membelikan barang
langsung ke pihak supplier maka proses jual beli antara LKS dan nasabah bisa dilaksanakan.[13]
Aplikasi Murabahah pada Bank
Syariah Indonesia
Di Indonesia,
aplikasi jual beli murabahah pada bank syariah di dasarkan pada Keputusan
Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Peraturan
Bank Indonesia (PBI). Menurut keputusan fatwa DSN Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000
ketentuan murabahah pada perbankan syariah adalah sebagai berikut (Dewan
Syariah Nasional MUI dan Bank Indonesia. 2006 : 24-25).
Bank dan nasabah harus melakukan
akad murabahah yang bebas riba.
Barang yang diperjual-belikan tidak
diharamkan oleh syari’ah Islam.
Bank membiayai sebagian atau
seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya.
Bank membeli barang yang diperlukan
nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas
riba.
Bank harus menyampaikan semua hal
yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara
hutang.
Bank kemudian
menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual
senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini Bank harus memberitahu
secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.
Nasabah membayar harga barang yang
telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati.
Untuk mencegah
terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak bank dapat
mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah.
Jika bank hendak mewakilkan kepada
nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus
dilakukan setelah barang, secara prinsip, menjadi milik bank.
Selain itu, ketentuan pelaksanaan
pembiayaan murabahah di perbankan syariah diatur berdasarkan Peraturan Bank
Indonesia (PBI) nomor 9/19/PBI/2007 jo Surat Edaran BI No. 10/14/DPbS tanggal
17 Maret 2008, sebagai berikut :
Bank bertindak sebagai pihak
penyedia dana dalam rangka membelikan barang terkait dengan kegiatan transaksi
Murabahah dengan nasabah sebagai pihak pembeli barang;
Barang adalah obyek jual beli yang
diketahui secara jelas kuantitas, kualitas, harga perolehan dan
spesifikasinya;
Bank wajib menjelaskan kepada
nasabah mengenai karakteristik produk Pembiayaan atas dasar Akad Murabahah, serta
hak dan kewajiban nasabah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia
mengenai transparansi informasi produk Bank dan penggunaan data pribadi
nasabah;
Bank wajib melakukan analisis atas
permohonan Pembiayaan atas dasar Akad Murabahah dari nasabah yang antara lain
meliputi aspek personal berupa analisa atas karakter (Character) dan/atau aspek
usaha antara lain meliputi analisa kapasitas usaha (Capacity), keuangan
(Capital ), dan/atau prospek usaha (Condition);
Bank dapat membiayai sebagian atau
seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya;
Bank wajib
menyediakan dana untuk merealisasikan penyediaan barang yang dipesan nasabah;
Kesepakatan atas marjin ditentukan
hanya satu kali pada awal Pembiayaan atas dasar Murabahah dan tidak berubah
selama periode Pembiayaan
Bank dan nasabah wajib menuangkan
kesepakatan dalam bentuk perjanjian tertulis berupa Akad Pembiayaan atas
dasar Murabahah; dan
Jangka waktu pembayaran harga
barang oleh nasabah kepada Bank ditentukan berdasarkan kesepakatan Bank
dan nasabah.
Atas dasar
peraturan yang berkaitan dengan murabahah baik yang bersumber dari Fatwa DSN
maupun PBI, perbankan syariah melaksanakan pembiayaan murabahah. Namun
demikian, dalam praktiknya tidak ada keseragaman model penerapan pembiayaan
murabahah karena beberapa faktor yang melatarbelakanginya.
Ada beberapa
tipe penerapan murabahah dalam praktik perbankan syariah yang kesemuanya dapat
dibagi menjadi tiga kategori besar, yaitu:
Tipe Pertama
penerapan murabahah adalah tipe konsisten terhadap fiqih muamalah. Dalam tipe
ini bank membeli dahulu barang yang akan dibeli oleh nasabah setelah ada
perjanjian sebelumnya. Setelah barang dibeli atas nama bank kemudian dijual ke
nasabah dengan harga perolehan ditambah margin keuntungan sesuai kesepakatan.
Pembelian dapat dilakukan secara tunai (cash), atau tangguh baik berupa
angsuran atau sekaligus pada waktu tertentu. Pada umumnya nasabah membayar
secara tangguh. Untuk lebih jelasnya
Tipe Kedua mirip
dengan tipe yang pertama, tapi perpindahan kepemilikan langsung dari
supplier kepada nasabah, sedangkan pembayaran dilakukan bank langsung
kepada penjual pertama/supplier. Nasabah selaku pembeli akhir menerima barang
setelah sebelumnya melakukan perjanjian murabahah dengan bank. Pembelian
dapat dilakukan secara tunai (cash), atau tangguh baik berupa angsuran atau
sekaligus pada waktu tertentu. Pada umumnya nasabah membayar secara tangguh.
Transaksi ini lebih dekat dengan murabahah yang asli, tapi rawan dari
masalah legal. Dalam beberapa kasus ditemukan adanya klaim nasabah bahwa mereka
tidak berhutang kepada bank, tapi kepada pihak ketiga yang mengirimkan
barang.
Meskipun nasabah telah
menandatangani perjanjian murabahah dengan bank, perjanjian ini kurang
memiliki kekuatan hukum karena tidak ada tanda bukti bahwa nasabah
menerima uang dari bank sebagai bukti pinjaman/hutang. Untuk mengindari
kejadian seperti itu maka ketika bank syariah dan nasabah telah menyetujui
untuk melakukan transaksi murabahah maka bank akan mentransfer pembayaran
barang ke rekening nasabah (numpang lewat) kemudian didebet dengan persetujuan
nasabah untuk ditranfer ke rekening supplier. Dengan cara seperti ini maka ada
bukti bahwa dana pernah ditranfer ke rekening nasabah. Namun demikian, dari
perspektif syariah model murabahah seperti ini tetap saja berpeluang
melanggar ketentuan syariah jika pihak bank sebagai pembeli pertama tidak
pernah menerima barang (qabdh) atas namanya tetapi langsung atas nama nasabah.
Karena dalam prinsip syariah akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah
barang, secara prinsip, menjadi milik bank .
Tipe Ketiga ini
yang paling banyak dipraktekkan oleh bank syariah. Bank melakukan
perjajian murabahah dengan nasabah, dan pada saat yang sama mewakilkan
(akad wakalah) kepada nasabah untuk membeli sendiri barang yang akan dibelinya.
Dana lalu dikredit ke rekening nasabah dan nasabah menandatangi tanda terima
uang. Tanda terima uang ini menjadi dasar bagi bank untuk menghindari klaim bahwa
nasabah tidak berhutang kepada bank karena tidak menerima uang sebagai sarana
pinjaman. Tipe kedua ini bisa menyalahi ketentuan syariah jika bank
mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, sementara
akad jual beli murabahah telah dilakukan sebelum barang, secara prinsip,
menjadi milik bank.[14]
Berbagai tipe
praktek jual beli murabahah di atas dilatar belakangi motivasi yang
bermacam-macam. Ada kalanya untuk lebih menyederhanakan prosedur sehingga
bank tidak perlu repot-repot membeli barang yang dibutuhkan nasabah
tetapi cukup dengan menunjuk atau menghubungi supplier agar menyediakan
barang dan langsung mengirimkan ke nasabah sekaligus dengan atas nama nassabah
(Tipe II). Atau dengan cara bank langsung memberikan uang ke nasabah kemudian
nasabah membeli sendiri barang yang dibutuhkan dengan melaporkan nota pembelian
kepada pihak bank (tipe III). Kedua cara tersebut sering dilakukan perbankan
syariah untuk menghindari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dua kali yang
dinilai akan mengurangi nilai kompetitif produk bank syariah dibandingkan bank
konvensional yang dikecualikan dari PPN. Ini terjadi karena dalam jual beli
murabahah tipe I, di mana bank terlebih dahulu akan membelikan barang yang
dibutuhkan nasabah atas nama bank baru kemudian dijual ke nasabah secara
murabahah maka akan terjadi perpindahan kepemilikan dua kali, yaitu dari
supplair ke bank dan dari bank ke nasabah. Melalui Peraturan Bank Indonesia
(PBI) nomor 9/19/PBI/2007 jo Surat Edaran BI No. 10/14/DPbS tanggal 17 Maret
2008 yang menghapus keberlakuan PBI Nomor 7/46/PBI/2005 tentang Akad
penghimpunan dan Penyaluran dana Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha
Berdasarkan Prinsip Syariah, pelaksanaan pembiayaan murabahah semakin
menempatkan bank syariah semata-mata lembaga intermediary yang bertindak
sebagai penyedia dana bukan pelaku jual beli murabahah. Hal ini ditegaskan
dalam teks Surat Edaran BI No. 10/14/DPbS pada point III.3, bahwa ” Bank
bertindak sebagai pihak penyedia dana dalam rangka membelikan barang terkait
dengan kegiatan transaksi Murabahah dengan nasabah sebagai pihak pembeli
barang ”. Di lihat dari teks surat edaran ini, jelas ada upaya Bank
Indonesia untuk menegaskan bahwa transaksi perbankan syariah yang didasarkan
pada prinsip jual beli murabahah tetap merupakan pembiayaan sebagaimana
transaksi lainnya yang menggunakan akad mudharabah, musyarakah, salam,
istishna, ijarah, dan ijarah muntahiya bit tamlik.
Mekanisme
pembiayaan murabahah dapat digunakan untuk pengadaan barang, modal kerja,
pembangunan rumah dan lain-lain. Berikut ini beberapa contoh aplikasi mekanisme
pembiayaan murabahah dalam perbankan syariah:
a.
Pengadaan
Barang
Transaksi ini
dilakukan oleh bank syariah dengan prinsip jual beli murabahah, seperti
pengadaan sepeda motor, kulkas, kebutuhan barang untuk investasi untuk pabrik
dan sejenisnya. Apabila seorang nasabah menginginkan untuk memiliki sebuah
kulkas, ia dapat datang ke bank syariah dan kemudian mengajukan permohonan agar
bank membelikannya. Setelah bank syariah meneliti keadaan nasabah dan
menganggap bahwa ia layak untuk mendapatkan pembiayaan untuk pengadaan
kulkas, bank kemudiaan membeli kulkas dan menyerahkannya kepada pemohon, yaitu
nasabah. Harga kulkas tersebut sebesar Rp. 4.000.000,- dan pihak bank ingin
mendapatkan keuntungan sebesar RP. 800.000,-. Jika pembayaran angsuran selama
dua tahun, maka nasabah dapat mencicil pembayarannya sebesar Rp. 200.000,- per
bulan. Selain memberikan keuntungan kepada bank syariah, nasabah juga dibebani
dengan biaya administrasi yang jumlahnya belum ada ketentuannya. Dalam
praktiknya biaya ini menjadi pendapatan fee base income bank syariah.
Biaya-biaya lain yang diharus ditanggung oleh nasabah adalah biaya asuransi,
biaya notaris atau biaya kepada pihak ketiga.
b.
Modal
Kerja (Modal Kerja Barang)
Penyediaan
barang persediaan untuk modal kerja dapat dilakukan dengan prinsip jual
beli murabahah. Akan tetapi, transaksi ini hanya berlaku sekali putus, bukan
satu akad dengan pembelian barang berulang-ulang. Sebenarnya,
penyediaan modal kerja berupa uang tidak terlalu tepat menggunakan prinsip jual
beli murabahah. Transaksi pembiayaan modal kerja dalam bentuk barang atau uang
lebih tepat menggunakan prinsip mudharabah (bagi hasil) atau musyarakah
(penyertaan modal). Karena, jika pembiayaan modal kerja dalam bentuk uang
menggunakan mekanisme murabahah, maka transaksi ini sama dengan consumer
finance (pembiayaan konsumen) dalam bank konvesional yang mengandung usur
bunga. Transaksi dalam consumer finance menggunakan pinjam meminjam uang dan
dalam murabahah menggunakan transaksi jual beli.
c.
Renovasi
Rumah (Pengadaan Material Renovasi Rumah)
Pengadaan
material renovasi rumah dapat menggunakan mekanisme jual beli murabahah.
Barang-barang yang diperjualbelikan adalah segala bentuk barang yang dibutuhkan
untuk renovasi rumah, seperti bata merah, genteng, cat, kayu dan lainlain.
Transaksi dalam pembiayaan ini hanya berlaku sekali putus, tidak satu akad
dilakukan berulang-ulang.
Adapun contoh perhitungan
pembiayaan murabahah adalah sebagai berikut:
Tuan A, pengusaha toko buku,
mengajukan permohonan pembiayaan murabahah (modal kerja) guna pembelian bahan
baku kertas, seniali Rp.100 juta. Setelah dievaluasi bank syariah, usahanya
layak dan permohonannya disetujui, maka bank syariah akan mengangkat Tuan A
sebagai wakil bank syariah untuk membeli dengan dana dan atas namanya kemudian
menjual barang tersebut kembali kepada Tuan A sejumlah Rp 120 juta, dengan
jangka waktu 3 bulan dan dibayar lunas pada saat jatuh tempo. Asumsi penetapan
harga jual Rp. 120 juta telah dilakukan: (1) Tawar menawar harga jual antara
Tuan A dengan bank syariah. (2) Harga jual yang disetujui, tidak akan
berubah selama jangka waktu pembiayaan (dalam hal ini 3 bulan) walaupun
dalam masa tersebut terjadi devaluasi, inflasi, maupun perubahan tingkat suku
bunga bank konvensional di pasar.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Murabahah adalah
suatu jenis pembiayaan yang termasuk dalam kategori penjualan dengan pembayaran
tunda. Meskipun tidak didasarkan pada teks al-Quran dan Sunnah, namun dalam
kajian fiqh Islam jenis transaksi ini dapat dibenarkan. Bank-bank Islam telah
menggunakan kontrak murabahah dalam kativitas pembiayaan mereka dimana
barang-barang dilibatkan dan bank telah memperluas cakupan dan tingkat
penggunaannya. Pembiayaan semacam ini sekarang telah mencapai lebih dari tujuh
puluh lima persen pembiyaan bank Islam berkat kemampuannya untuk memberikan
keuntungan yang ditetapkan di muka dari investasi bank, sangat mirip dengan
keuntungan yang ditetapkan di muka pada bank-bank berbasis bunga.
Pembiayaan murabahah dan harga
kreditnya yang lebih tinggi jelas menunjukkan bahwa ada nilai waktu dalam
pembiayaan berbasis murabahah yang mendorong, meski secara tidak langsung,
kepada pengakuan nilai waktu pada uang. Gampang sekali dilupakan bahwa mengakui
nilai waktu pada uang secara logika menggiring kepada pengakuan terhadap bunga.
Dengan mengakui nilai waktu dalam transaksi-transaksi murabahah dan kemudian
penolakan hal yang sama dalam transaksi-transaksi finansial, tampak sebagai
sikap yang tidak konsisten dan tidak logis.
Bentuk khusus
kontrak keuangan yang sedang dikembangkan untuk menggantikan sistem bunga dan
transaksi keuangan adalah mekanisme bagi hasil merupakan core product bagi
bisnis syariah sebab bisnis syariah secara eklisit melarang penerapan tingkat
bunga pada semua transaksi keuangannya bentuk bisnis yang berdasarkan syariah
dapat dikembangkan dengan mengacu pada konsep syariah yaitu murabahah.
Murabahah
sebagai sebuah kegiatan kerjasama ekonomi antara dua pihak mempunyai bebrapa
ketentuan yang harus dipenuhi dalam rangka meningkat jalinan kerja sama dimana
bank membiayai pembelian yang diperlukan nasabah dengan sistem pembayaran
ditangguhkan. Pembiayaan murabahah ini mirip dengan kredit modal kerja pada
bank konvensional, karena itu jangka waktu pembiayaan tidak lebih dari satu
tahun dan seringnya untuk pembiayaan yang bersifat konsumtif seperti rumah,
tanah, toko, mobil, motor dan sebagainya.
B.
Saran
Demikianlah makalah yang dapat penulis
sampaikan. Penulis yakin
dalam penulisan maupun penyampaiannya masih terdapat kesalahan serta
kekurangan, untuk itu penulis mohon
ma’af yang sebesar-besarnya. Dan saran yang membangun dari pembaca penulis harapkan
untuk perbaikan. Dan semoga makalah ini bermanfa’at bagi pembaca.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Ahmad Wardi Muslich, Fiqh
Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2013)
2. Abdul Ghofur Anshori, Payung
Hukum Perbankan Syariah (UU di Bidang Perbankan, Fatwa
DSN-MUI, dan Peraturan Bank Indonesia), (Yogyakarta: UII Press, 2007)
3. Adi
Warman Azram karim, Bank Islam, analisis fiqh dan keuangan, (Jakarta:
IIIT Indonesia, 2003)
4. Ah
Azharuddin Lathif, Konsep Dan Aplikasi Akad Murabahah Pada Perbankan Syariah
DiIndonesia, Jurnal http://www.academia.edu/6497439/Konsep_dan_Aplikasi_Akad_Murabahah_pada_Perbankan_Syariah_di_Indonesia,
dikases pada tanggal 15 juni 2014.
5. Dimyauddin
Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah,
(Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2010)
6. Hendi
Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT
Raja Grafindo, 2002)
8. Muhammad
Syafi’I Antonio, Bank Syari’ah; Dari
Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani, 2001)
9. Muhamad, Sistem dan
Prosedur Oprasional Bank Syariah, (Yogyakarta: UII Press, 2000).
1 10. Osmad Muthaher, Akuntansi Perbankan Syariah, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012)
11. Sulaiman
Rusdid, Fiqh Islam, (Jakarta: Wijaya Jakarta, 1954)
12. Sami
Hasan Hamud, Tathwîr al- A’mâl al-Mashrafiyah Bimâ Yattafiq
al-Syarî ’ ah al-Islâmiyah , (Aman: Mathba’ah al-Syarq, 1992)
[1] Ahmad
Wardi Muslich, Fiqh Muamalat,
(Jakarta: Amzah, 2013). hlm.207
[2] Muhamad,
Sistem dan Prosedur Oprasional Bank
Syariah, (Yogyakarta: UII Press, 2000). hlm.23
[4] Abdul
Ghofur Anshori, Payung Hukum Perbankan
Syariah (UU di Bidan Perbankan, Fatwa DSN-MUI, dan Peraturan Bank Indonesia,
(Yogyakarta: UII Press, 2007). hlm.82
[5]
Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syari’ah; Dari Teori ke Praktik,
(Jakarta: Gema Insani, 2001). hlm. 102
[6]
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta:
Pustaka Belajar, 2010). hlm 106-107
[8]
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT Raja
Grafindo, 2002). Hlm.70
[9]
Adi Warman Azram karim, Bank
Islam, analisis fiqh dan keuangan, (Jakarta: IIIT Indonesia, 2003)..
Hlm.47
[10]
Sulaiman Rusdid, Fiqh
Islam, (Jakarta: Wijaya Jakarta, 1954). Hlm.243
[11]
Sami Hasan Hamud, Tathwîr
al- A’mâl al-Mashrafiyah Bimâ Yattafiq al-Syarî ’ ah
al-Islâmiyah , (Aman: Mathba’ah al-Syarq, 1992). Hlm.431
[12]
Ah Azharuddin Lathif,
Konsep Dan Aplikasi Akad Murabahah Pada Perbankan Syariah Di Indonesia,
Jurnal, 2014.
[13]
Ah Azharuddin Lathif .
2014,…
[14]
Cecep Maskanul Hakim, Problematika
Penerapan Murabahah Dalam Bank Syariah, Paper Lokakarya Produk Murabahah
di Balaikota Bogor,26 Agustus 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar