class='date-header'>Selasa, 28 Maret 2017

MURABAHAH

OLEH YUSWADI

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Islam adalah agama yang universal sebagai pedoman yang mengatur segala aspek kehidupan manusia, pada garis besarnya menyangkut dua bagian pokok, yaitu ibadah dan muamalah. Ibadah adalah mengahambakan diri kepada Allah SWT dengan menaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Sedangkan muamalah ialah kegiatan-kegiatan yang menyangkut antar manusia yang meliputi aspek ekonomi, politik dan sosial. Untuk kegiatan muamalah yang menyangkut aspek ekonomi seperti jual beli, simpan pinjam, hutang piutang, usaha bersama dan lain sebagainya.
Adapun bentuk-bentuk jual beli yang telah dibahas oleh para ulama dalam fiqh muamalah Islamiyah terbilang sangat banyak. Jumlahnya bisa mencapai belasan atau puluhan. Sesungguhpun demikian, dari sekian banyak itu, ada salah satu jenis jual beli yang telah banyak dikembangkan sebagai sandaran pokok dalam pembiayaan modal kerja dan investasi dalam perbankan syariah, yaitu bai’ al-murabahah atau jual beli murabahah.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian Murabahah
2.      Apa Landasan Hukum Murabahah
3.      Apa Rukun, Syarat Murabahah
4.      Bagaimana Penggunaan Akad Murabahah pada Pembiayaan Lembaga Keuangan Syariah (LKS).
C.    Manfaat
1.      Mengetahui tentang Murabahah itu sendiri
2.      Mengetahui Landasan Hukum Murabahah
3.      Mengetahui Rukun dan Syarat Murabahah
4.      Mengetahui Penggunaan Akad Murabahah pada Pembiayaan Lembaga Keuangan Syariah (LKS).


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Murabahah
Kata al-Murabahah diambil dari bahasa Arab dari kata ar-ribhu (الرِبْحُ) yang berarti kelebihan dan tambahan (keuntungan), atau murabahah juga berarti Al-Irbaah karena salah satu dari dua orang yang bertransaksi memberikan keuntungan kepada yang lainnya. sedangkan secara istilah, Bai’ul murabahah adalah:
بَيْعٌ بِمِثلِ الثمَنِ الأوَّلِ مَعَ زِيَادَةِ رِبْحٍ مَعلُوْمٍ
Yaitu jual beli dengan harga awal disertai dengan tambahan keuntungan Definisi ini adalah definisi yang disepakati oleh para ahli fiqh, walaupun ungkapan yang digunakan berbeda-beda.
Murabahah dalam arti bahasa berasal dari kata raabaha yang asal katanya rabaha yang artinya tambahan.[1] Murabahah merupakan salah satu dari bentuk jual beli amanah. Murabahah adalah jual beli suatu barang di mana penjual memberitahukan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba.
Murabahah merupakan salah satu konsep Islam dalam melakukan jual beli. Konsep ini telah banyak digunakan oleh bank-bank dan lembaga-lembaga keuangan Islam untuk pembiayaan modal kerja, dan pembiayaan perdagangan para nasabahnya.
Ibnu Qudamah mendefinisikan, murabahah adalah menjual dengan harga asal ditambah dengan margin keuntungan yang telah disepakati.[2] Misalnya, sesorang membeli barang kemudian menjualnya kembali dengan keuntungan tertentu. Berapa besar keuntungan tersebut dapat dinyatakan dalam nominal rupiah tertentu atau dalam bentuk persentase dari harga pembeliannya, misalnya 10% atau 20%.
Dalam fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) No. 04/DSN-MUI/IV/2000. Pengertian murabahah yaitu menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba.[3] Dalam fatwa tersebut juga dibahas mengenai ketentuan umum murabahah dalam bank syariah, ketentuan murabahah kepada nasabah, jaminan, hutang, penundaan pembayaran, serta bangkrut dalam murabahah.[4]
Dari pengertian murabahah di atas dapat dikemukakan bahwa inti dari jual beli murabahah adalah penjual mendapatkan manfaat keuntungan dan pembeli mendapa manfaat dari benda yang dia beli. Karena dalam definisinya disebut adanya “keuntungan yang disepakati”, karakteristik murabahah adalah si penjual harus memberi tahu pembeli tentang harga pembelian barang dan menyatakan jumlah keuntungan yang ditambahkan pada biaya tersebut.
Menurut Para ahli hukum Islam  mendefinisikan bai’ al-murabahah sebagai berikut :
‘Abd ar-Rahman al-Jaziri mendefinisikan bai’ al-murabahah sebagai menjual barang dengan harga pokok beserta keuntungan dengan syarat-syarat tertentu.
Menurut Wahbah az-Zuhaili adalah jual-beli dengan harga pertama (pokok) beserta tambahan keuntungan.
Ibn Rusyd filosof dan ahli hukum Maliki mendefinisikannya sebagai jual-beli di mana penjual menjelaskan kepada pembeli harga pokok barang yang dibelinya dan meminta suatu margin keuntungan kepada pembeli.
Ibn Qudamah ahli hukum Hambali mengatakan bahwa arti jual-beli murabahah adalah jual-beli dengan harga pokok ditambah margin keuntungan.
Dengan kata lain, jual-beli murabahah adalah suatu bentuk jual-beli di mana penjual memberi tahu kepada pembeli tentang harga pokok (modal) barang dan pembeli membelinya berdasarkan harga pokok tersebut kemudian memberikan margin keuntungan kepada penjual sesuai dengan kesepakatan. Tentang “keuntungan yang disepakati”, penjual harus memberi tahu pembeli tentang harga pembelian barang dan menyatakan jumlah keuntungan yang ditambahkan pada biaya tersebut.
            Para ahli hukum Islam menetapkan beberapa syarat mengenai jual-beli murabahah. Wahbah az-Zuhaili mengatakan bahwa di dalam bai’ al-murabahah itu disyaratkan beberapa hal, yaitu :
1.      Mengetahui harga pokok
Dalam jual-beli murabahah disyaratkan agar mengetahui harga pokok/ harga asal karena mengetahui harga merupakan syarat sah jual-beli. Syarat ini juga diperuntukkan untuk jual-beli at-tauliyyah dan al-wadi’ah.
2.      Mengetahui keuntungan
Hendaknya margin keuntungan juga diketahui oleh si pembeli. Karena margin keuntungan termasuk bagian dari harga, sedangkan mengetahui harga merupakan syarat sah jual-beli.
3.      Harga pokok merupakan sesuatu yang dapat diukur, dihitung dan ditimbang, baik pada waktu terjadi jual-beli dengan penjual yang pertama atau setelahnya, seperti dirham, dinar, dan lain-lain.
Jual-beli murabahah merupakan jual-beli amanah, karena pembeli memberikan amanah kepada penjual untuk memberitahukan harga pokok barang tanpa bukti tertulis. Dengan demikian, dalam jual-beli ini tidak diperbolehkan berkhianat. Allah telah berfirman :
" ياأيها الذين أمنوا لاتخونوا الله والرسول وتخونوا أماناتكم وأ نتم تعلمون"
Berdasarkan ayat di atas, apabila terjadi jual-beli murabahah dan terdapat cacat pada barang, baik pada penjual maupun pada pembeli, maka dalam hal ini ada dua pendapat ulama.
Menurut Hanafiyah, penjual tidak perlu menjelaskan adanya cacat pada barang karena cacat itu merupakan bagian dari harga barang tersebut. Sementara jumhur ulama tidak memperbolehkan menyembunyikan cacat barang yang dijual karena hal itu termasuk khianat. Penyembunyian cacat barang atau tidak menjelaskannya menurut hukum Islam dianggap sebagai suatu pengkhianatan dan merupakan salah satu cacat kehendak (‘aib min ‘uyub al- iradah) yang berakibat pembeli diberi hak khiyar atau --dalam bahasa hukum perdata Barat-- pembeli diberi hak untuk minta pembatalan atas jual-beli tersebut. Ibn Juzai dari Mazhab Maliki mengatakan, “Tidak boleh ada penipuan jual-beli murabahah dan jual-beli lainnya”. Termasuk penipuan adalah menyembunyikan keadaan barang yang sebenarnya yang tidak diingini oleh pembeli atau mengurangi minatnya terhadap barang tersebut.
Pengkhianatan  dalam jual-beli murabahah ini bisa terjadi mengenai informasi tentang cara penjual memperoleh barang, yaitu apakah melalui pembelian secara tunai, pembelian hutang atau sebagai penggantian dari suatu kasus perdamaian. Pengkhianatan bisa juga terjadi tentang besarnya harga pembelian.
Apabila pengkhianatan terjadi dalam hal informasi cara memperoleh barang, dimana misalnya penjual menyatakan bahwa ia memperolehnya melalui pembelian tunai padahal melalui pembelian hutang atau merupakan barang penggantian dalam suatu kasus perdamaian, maka pembeli diberi hak khiyar untuk meneruskan atau membatalkan akad tersebut. Atau dalam bahasa hukum perdata, pengkhianatan ini merupakan suatu cacat kehendak dan memberikan hak kepada pembeli untuk meminta pembatalan akad tersebut.
Apabila pengkhianatan terjadi mengenai harga pokok barang di mana penjual menyatakan suatu harga yang lebih tinggi dari harga sebenarnya yang ia bayar, maka dalam hal ini ada perbedaan pendapat dalam mazhab Hanafi. Menurut Abu Hanifah, pembeli boleh melakukan khiyar untuk meneruskan jual-beli atau membatalkannya karena murabahah merupakan akad jual-beli yang berdasarkan amanah. Menurut Abu Yusuf (133-182 H), pembeli tidak mempunyai hak khiyar, melainkan berhak menurunkan harga ke tingkat harga riil sesungguhnya yang dibayarkan oleh penjual ketika membeli barang bersangkutan serta penurunan margin keuntungan dalam persentase yang sebanding dengan penurunan harga pokok barang. Mazhab Maliki sejalan dengan pendapat Abu Hanifah. Sedangkan mazhab Syafi’i dan Hambali sejalan dengan pendapat Abu Yusuf.
            Bai’ al-murabahah tidak memiliki rujukan/referensi langsung dari al-Qur’an dan Sunnah. Yang ada hanyalah referensi mengenai jual-beli dan perdagangan. Jual-beli murabahah ini hanya dibahas dalam kitab-kitab fiqih dan itupun sangat sedikit dan sepintas saja. Para ilmuwan, ulama, dan praktisi perbankan syari’ah agaknya menggunakan rujukan/dasar hukum jual-beli sebagai rujukannya, karena mereka menganggap bahwa murabahah termasuk jual-beli.
B.     Landasan Hukum Murabahah
Landasan hukum akad murabahah ini adalah:
1.      Al-Quran
Ayat-ayat Al-Quran yang secara umum membolehkan jual beli, diantaranya adalah firman Allah:
وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Artinya: "..dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba" (QS. Al-Baqarah:275).
Ayat ini menunjukkan bolehnya melakukan transaksi jual beli dan murabahah merupakan salah satu bentuk dari jual beli.[5]
Dan firman Allah:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ.
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu” (QS. An-Nisaa:29).
Dan firman Allah:
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَبْتَغُوا فَضْلاً مِّن رَّبِّكُمْ
Artinya: “Tidak ada dosa bagimu mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Rabbmu” (QS. Al-Baqarah:198)
Berdasarkan ayat diatas, maka murabahah merupakan upaya mencari rezki melalui jual beli. Murabahah menurut Azzuhaili (1997., hal.3766.) adalah jual beli berdasarkan suka sama suka antara kedua belah pihak yang bertransaksi.
2.      Assunnah
Sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassallam: “Pendapatan yang paling afdhal (utama) adalah hasil karya tangan seseorang dan jual beli yang mabrur”. (HR. Ahmad Al Bazzar Ath Thabrani).
Hadits dari riwayat Ibnu Majah, dari Syuaib:
أَنَّ النَّبِي صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ثَلاَثٌ فِيْهِنَّ البَرَكَة: البَيْعُ إِلىَ أَجَلٍ, وَالمُقـَارَضَة, وَ خَلْطُ البُرّ بِالشَّعِيْرِ لِلْبَيْتِ لاَ لِلْبَيْعِ. (رَوَاهُ ابْنُ مَاجَه)
”Tiga perkara yang didalamnya terdapat keberkahan: menjual dengan pembayaran secara tangguh, muqaradhah (nama lain dari mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah dan tidak untuk dijual” (HR. Ibnu Majah).
Ketika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassallam akan hijrah, Abu BakarRadhiyallahu 'Anhu, membeli dua ekor keledai, lalu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassallam berkata kepadanya, "jual kepada saya salah satunya", Abu Bakar Radhiyallahu 'Anhu menjawab, "salah satunya jadi milik anda tanpa ada kompensasi apapun", Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassallam bersabda, "kalau tanpa ada harga saya tidak mau".
Sebuah riwayat dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu 'Anhu, menyebutkan bahwa boleh melakukan jual beli dengan mengambil keuntungan satu dirham atau dua dirham untuk setiap sepuluh dirham harga pokok.
Dari Abu Said al-Khudri bahwa Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka”.
Hadits ini yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dan Ibnu Majah ini merupakan dalil atas keabsahan jual beli secara umum. Hadits ini memberikan prasyarat bahwa akad jual beli murabahah harus dilakukan dengan adanya kerelaan masing-masing pihak ketika melakukan transaksi. Segala ketentuan yang yang terdapat dalam jual beli murabahah, seperti penentuan harga jual, margin yang diinginkan, mekanisme pembayaran dan lainnya, harus terdapat persetujuan dan kerelaan antara pihak nasabah dan bank, tidak bisa ditentukan secara sepihak.[6]
Selain itu, transaksi dengan menggunakan akad jual beli murabahah ini sudah menjadi kebutuhan yang mendesak dalam kehidupan. Banyak manfaat yang dihasilkan, baik bagi yang berprofesi sebagai pedagang maupun bukan.
3.      Al-Ijma
Transaksi ini sudah dipraktekkan di berbagai kurun dan tempat tanpa ada yang mengingkarinya, ini berarti para ulama menyetujuinya.
Kaidah Fiqh, yang menyatakan:
الأَصْلُ فِى المُعَامَلاَتِ الإِبَاحَة ُ إِلا َّ أَنْ يَدُلَّ دَلِيْلٌ عَلىَ تَحْرِيْمِهَا
“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
4.      Fatwa Dewan Syari’ah Nasional
a.       Nomor 4/ DSN-MUI IV/ 2000 tanggal 1 April 2000 tentang Murabahah,
b.      Nomor 13/ DSN-MUI IX/ 2000 tanggal 16 September 2000 tentang Uang Muka Dalam Murabahah
c.       Nomor 16/ DSN-MUI IX/ 2000 tanggal 16 September 2000 tentang Diskon Dalam Murabahah,
Nomor 17/ DSN-MUI IX/ 2000 tanggal 16 September 2000 tentang Sanksi Atas Nasabah Mampu Yang Menunda-nunda Pembayaran, dan
d.      Nomor 23/ DSN-MUI/ III/ 2002 tanggal 28 Maret 2002 tentang Potongan Pelunasan Dalam Murabahah.
Berdasarkan fatwa-fatwa tersebut, Bank Indonesia mengatur lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia atau Surat Edaran Bank Indonesia, seperti tentang kolektibilitas dan Pedoman Akuntansi Perbankan Syari’ah Indonesia (PAPSI). Sesuai UU No.10/1998 tentang perubahan UU No.7 tentang Perbankan dalam penjelasan pasal 6 huruf m dijelaskan bahwa yang mempunyai kewenangan untuk mengatur kegiatan usaha Bank Syari’ah adalah Bank Indonesia.
5.      Ketentuan hukum dalam FATWA DSN MUI No.04/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Murabahah ini adalah sebagai berikut :[7]
Pertama : Ketentuan Umum Murabahah dalam Bank Syari’ah:
a.       Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba.
b.      Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syari’ah Islam.
c.       Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya.
d.      Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.
e.       Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara utang.
f.       Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini Bank harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.
g.      Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati.
h.      Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah.
i.        Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip, menjadi milik bank.
Kedua : Ketentuan Murabahah kepada Nasabah:
a.       Nasabah mengajukan permohonan dan janji pembelian suatu barang atau aset kepada bank.
b.      Jika bank menerima permohonan tersebut, ia harus membeli terlebih dahulu aset yang dipesannya secara sah dengan pedagang.
c.       Bank kemudian menawarkan aset tersebut kepada nasabah dan nasabah harus menerima (membeli)-nya sesuai dengan janji yang telah disepakatinya, karena secara hukum janji tersebut mengikat; kemudian kedua belah pihak harus membuat kontrak jual beli.
d.      Dalam jual beli ini bank dibolehkan meminta nasabah untuk membayar uang muka saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan.
e.       Jika nasabah kemudian menolak membeli barang tersebut, biaya riil bank harus dibayar dari uang muka tersebut.
f.       Jika nilai uang muka kurang dari kerugian yang harus ditanggung oleh bank, bank dapat meminta kembali sisa kerugiannya kepada nasabah.
g.      Jika uang muka memakai kontrak ‘urbun sebagai alternatif dari uang muka, maka :
1)      jika nasabah memutuskan untuk membeli barang tersebut, ia tinggal membayar sisa harga.
2)      jika nasabah batal membeli, uang muka menjadi milik bank maksimal sebesar kerugian yang ditanggung oleh bank akibat pembatalan tersebut; dan jika uang muka tidak mencukupi, nasabah wajib melunasi kekurangannya.
Ketiga : Jaminan dalam Murabahah:
a.       Jaminan dalam murabahah dibolehkan, agar nasabah serius dengan pesanannya.
b.      Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan jaminan yang dapat dipegang.
Keempat : Utang dalam Murabahah:
a.       Secara prinsip, penyelesaian utang nasabah dalam transaksi murabahah tidak ada kaitannya dengan transaksi lain yang dilakukan nasabah dengan pihak ketiga atas barang tersebut. Jika nasabah menjual kembali barang tersebut dengan keuntungan atau kerugian, ia tetap berkewajiban untuk menyelesaikan utangnya kepada bank.
b.      Jika nasabah menjual barang tersebut sebelum masa angsuran berakhir, ia tidak wajib segera melunasi seluruh angsurannya.
c.       Jika penjualan barang tersebut menyebabkan kerugian, nasabah tetap harus menyelesaikan utangnya sesuai kesepakatan awal. Ia tidak boleh memperlambat pembayaran angsuran atau meminta  kerugian itu diperhitungkan.
Kelima : Penundaan Pembayaran dalam Murabahah:
a.       Nasabah yang memiliki kemampuan tidak dibenarkan menunda penyelesaian utangnya.
b.      Jika nasabah menunda-nunda pembayaran dengan sengaja, atau jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Keenam : Bangkrut dalam Murabahah:
Jika nasabah telah dinyatakan pailit dan gagal menyelesaikan utangnya, bank harus menunda tagihan utang sampai ia menjadi sanggup kembali, atau berdasarkan kesepakatan.
C.    Rukun dan Syarat Murabahah
Rukunnya
Rukun adalah sesuatu yang wajib ada dalam suatu transaksi (necessary condition), misalnya ada penjual dan pembeli. Tanpa adanya penjual dan pembeli, maka jual beli tidak akan ada. Para ekonom-ekonom Islam dan ahli-ahli Fiqh, menganggap Murabahah sebagai bagian dalam jual beli. Maka, secara umum kaidah yang digunakan adalah jual beli. Rukun jual beli ada tiga, yaitu akad (ijab qabul), orang-orang yang berakad (penjual dan pembeli) dan ma’kud alaih (obyek akad).[8]
  1. Rukun Jual Beli Murabahah
Dalam jual beli ada tiga rukun yang harus dipenuhi.
  1. Orang yang berakad.
  2. Penjual
  3. Pembeli
  4. Ma’kud alaih (obyek akad):
  5. Barang yang diperjual belikan.
  6. Harga.
  7. Akad/ Shighot:
  8. Serah (Ijab)
  9. Terima (Qabul)
Syarat Jual Beli
Selain karena faktor yang telah ada seperti akad menjadi sah atau lengkap adalah adanya syarat. Syarat yaitu sesuatu yang keberadaannya melengkapi rukun (sufficient condition). Contohnya: adalah pelaku transaksi haruslah orang yang cakap hukum (mukalaf) menurut mazhab Hanafi, bila rukun sudah terpenuhi tapi syarat tidak terpenuhi maka rukun menjadi tidak lengkap sehingga transaksi tersebut menjadi fasid (rusak).[9]
Adapun syarat-syarat jualbeli sebagai berikut.[10]
  1. Penjual dan Pembeli
  2. Berakal
  3. Dengan kehendak sendiri
  4. Keadaan tidak Mubadzir (pemboros)
  5. Baliq
  6. Uang dan Benda yang dibeli (obyek yang diperjual belikan)
  7. Suci
  8. Ada manfaat
  9. Keadaan barang tersebut dapat di serahkan
  10. Keadaan barang tersebut kepunyaan penjual atau kepunyaan yang diwakilkan
  11. Barang tersebut diketahui antarasi penjual dan pembeli dengan terang dzat, bentuk, kadar (ukuran) dan sifat-sifatnya sehingga tidak terjadi keadaan yang mengecewakan
  12. Ijab Qabul
  13. Jangan ada yang memisahkan, janganlah pembeeli diam saja setelah penjual menyatakan ijabnya begitu pula sebaliknya
  14. Jangan diselingi dengan kata-kata lain antara ijab dan qabul
  15. Beragama Islam, syarat ini khusus utuk pembeli saja dalam benda-benda tertentu seperti seseorang dilarang menjual hambanya yang beragama islam kepada pembeli yang beragama tidak islam, sebab besar kemungkinan pembeli tersebut akan merendahkan abid yang beragama Islam, sedangkan Allah melarang orang mu’min.
Paparan tentang jual beli murabahah di atas merupakan konsep dan praktik murabahah yang banyak dituangkan dalam berbagai literatur klasik (kitab fikih turats), dimana komoditas/barang yang menjadi obyek murabahah tersedia dan dimiliki penjual pada waktu negosiasi atau akad jual beli berlangsung. Kemudian ia menjual barang tersebut kepada pembeli dengan menjelaskan harga pembelian dan keuntungan yang akan diperoleh. Karena itu, dapat dikatakan praktik tersebut adalah transaksi jual beli  biasa, kelebihannya terletak pada pengetahuan pembeli tentang harga pembelian awal sehingga menuntut kejujuran penjual dalam menjelaskan harga awal yang sebenarnya.
D.    Penggunaan Akad Murabahah pada Pembiayaan Lembaga Keuangan Syariah (LKS).
Dalam praktik di Lembaga Keuangan Syariah (LKS) termasuk bank syariah, bentuk murabahah dalam fikih klasik tersebut mengalami beberapa modifikasi. Murabahah yang dipraktikkan pada LKS dikenal dengan murâbahah li al-âmir bi al-Syirâ’ , yaitu transaksi jual beli di mana seorang nasabah datang kepada pihak bank untuk membelikan sebuah komoditas dengan kriteria tertentu, dan ia berjanji akan membeli komoditas/barang tersebut secara murabahah, yakni sesuai harga pokok pembelian ditambah dengan tingkat keuntungan yang disepakati kedua pihak, dan nasabah akan melakukan pembayaran secara installment (cicilan berkala) sesuai dengan kemampuan finansial yang dimiliki.[11]
Mengenai kedudukan hukum praktik murâbahah li al-âmir bi al-Syira’ ulama kontemporer berbeda pendapat. Ada yang memperbolehkan dan ada juga yang melarang atau mengharamkan.
Di antara ulama yang mengakui keabsahan/kebolehan murâbahah li al-âmir bi al-Syirâ adalah Sami Hasan Hamud, Yusuf Qardhawi, Ali Ahmad Salus, Shadiq Muhammad Amin, Ibrahim Fadhil, dan lainnya. Adapun argumentasi mereka adalah sebagai berikut.[12]
Pertama, hukum asal dalam muamalah adalah diperbolehkan dan mubah kecuali terdapat nash shahih dan sharih yang melarang dan mengharamkannya. Berbeda dengan ibadah Mahdhah hukum asalnya adalah haram kecuali ada nash yang memerintahkan untuk melakukannya. Oleh karena itu dalam muamalah tidak perlu mempertanyakan dalil yang mengakui keabsahan dan kehalalan, yang perlu diperhatikan adalah dalil yang melarang dan mengharamkannya. Sepanjang tidak terdapat dalil yang melarangnya, maka transaksi muamalah sah dan halal hukumnya.
Kedua, keumuman nash Al-Qur’an dan hadis yang menunjukan kehalalan segala  bentuk jual beli, kecuali terdapat dalil khusus yang melarangnya. Yusuf Qardhawi mengatakan, dalam surat al-Baqarah; 275 Allah menghalalkan segala bentuk jual beli secara umum, baik jual beli muqâydhah (barter), sharf  (jual beli mata uang/valas), jual  beli salam ataupun jual beli mutlak serta bentuk jual beli lainnya. Semua jenis jual beli ini halal, karena ia masuk dalam kategori jual beli yang dihalalkan Allah, dan tidak ada  jual beli yang haram kecuali terdapat nash dari Allah dan Rasulnya yang mengharamkannya.
Ketiga, terdapat nash ulama fikih yang mengakui keabsahan akad ini, di antaranya pernyataan Imam Syafi’i dalam kitab al-Umm: “dan ketika seseorang memperlihatkan sebuah barang tertentu kepada orang lain, dan berkata: “belikanlah aku barang ini, dan engkau akan aku beri margin sekian”, kemudian orang tersebut mau untuk membelikannya, maka jual beli tersebut diperbolehkan”. Namun demikian, orang yang meminta untuk dibelikan tersebut memiliki hak khiyar, jika barang tersebut sesuai dengan kriterianya, maka bisa dilanjutkan dengan akad jual beli dan akadnya sah, sebaliknya, jika tidak sesuai, maka ia berhak untuk membatalkannya”.
Berdasarkan pernyataan ini, dapat disimpulkan bahwa Imam Syafi’i memperbolehkan transaksi Murâbahah li al-Âmir bi al-Syirâ, dengan syarat pembeli atau nasabah memiliki hak khiyar, yakni hak untuk meneruskan atau membatalkan akad. Selain itu, penjual juga memiliki hak khiyar, dengan demikian tidak terdapat janji yang mengikat kedua belah  pihak.
Keempat, transaksi muamalah dibangun atas asas maslahat. Hukum Islam tidak melarang bentuk transaksi kecuali terdapat unsur kezaliman di dalamnya, seperti riba,  penimbunan (ihtikar), penipuan dan lainnya, atau diindikasikan transaksi tersebut dapat menimbulkan perselisihan atau permusuhan di antara manusia, seperti adanya gharar atau bersifat spekulasi. Permasalahan pokok dalam muamalah adalah unsur kemaslahatan. Jika terdapat maslahah, maka sangat dimungkinkan transaksi tersebut diperbolehkan. Seperti halnya diperbolehkannya akad istishna, padahal ia merupakan  jual beli/bai‘ al-ma’dum (obyek tidak ada saat akad), karena adanya kebutuhan dan maslahah yang akan didapatkan, tidak menimbulkan perselisihan dan sudah menjadi kebiasaan masyarakat.
Kelima, pendapat yang memperbolehkan bentuk murabahah ini dimaksudkan untuk memudahkan persoalan hidup manusia. Syariah Islam datang untuk mempermudah urusan manusia dan meringankan beban yang ditanggungnya. Banyak firman Allah yang menyatakan hal ini, di antaranya: “Allah hendak memberikan keringanan kepadamu” (An-Nisa ayat 28), dan Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu (al-Baqarah ayat 185). Kehidupan manusia di zaman sekarang lebih kompleks, jadi mereka membutuhkan kemudahan-kemudahan. Akan tetapi maksud dari kemudahan di sini adalah menjaga kemaslahatan dan hajat hidup orang banyak sebagaimana ingin diwujudkan oleh syara’.
Adapun ulama kontemporer yang melarang dan mengharamkan praktik murabahah li al-amir bi al-Syira’ antara lain: Muhammad Sulaiman al-Asyqar, Bakr  bin Abdullah Abu Zaid, Rafîq al-Mishrî dan lainnya. Berikut ini argumen yang memperkuat pendapat mereka.
Pertama, transaksi murabahah di LKS/bank syariah sebenarnya bukan dimaksudkan untuk melakukan jual beli tapi hanya sekedar hîlah atau trik untuk menghalalkan riba. Mereka mengatakan bahwa maksud dan tujuan sebenarnya transaksi murabahah adalah untuk mendapatkan uang tunai, sebab kedatangan nasabah ke LKS/bank syariah sebenarnya adalah untuk mendapatkan uang tunai. Sementara itu,  pihak LKS/bank syariah tidak membeli barang melainkan hendak menjualnya kepada nasabah dengan cara cicilan, sehingga dapat dimaknai bahwa LKS/bank syariah sebenarnya tidak sungguh-sungguh membeli barang tersebut.
Kedua, tidak ada satu orang pun dari ulama terdahulu (salaf ) yang membolehkan murabahah, bahkan ada yang menyatakan keharaman murabahah.
Ketiga, transaksi murabahah termasuk jual beli ‘înah yang diharamkan. Jual beli ‘înah adalah pinjaman ribawi yang direkayasa dengan  praktik jual beli.
Keempat , Transaksi murabahah termasuk bay‘atani fi bay‘ah. Rasulullah SAW telah melarang bentuk jual beli bay‘ atâni fi bay‘ ah dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Nasa’i dan Tirmidzi. Untuk mengetahui apakah transaksi murabahah termasuk bay‘atâni fi bay‘ah, maka perlu mengetahui maksud dari model akad tersebut . Menurut Imam Syafi’i bay‘atâni fi bay‘ah maksudnya adalah: Seorang penjual berkata: Saya menjual barang ini kepada kamu Rp. 100.000,- secara tempo dan Rp.50.000,- secara kontan, terserah mau pilih yang mana, dan kontrak jual  beli berlangsung tanpa adanya satu pilihan pasti dan jual beli mengikat salah satu  pihak.
Kelima, Bank syariah dalam melakukan transaksi murabahah, menjual barang yang tidak atau belum dimilikinya (bai’ al-ma’dum) , dimana pihak bank syariah dan nasabah berjanji untuk melakukan transaksi murabahah. Untuk mewujudkan kesepakatan tersebut, mereka membuat transaksi janji; pihak bank berjanji untuk menjual barang, dan pihak nasabah berjanji untuk membeli barang. Keharusan nasabah untuk membeli karena perjanjian berubah menjadi transaksi yang sebenarnya, padahal  barangnya belum ada. Bentuk ini bertentangan dengan kaidah umum syariat yang melarang jual beli pada barang yang tidak dimiliki.
Keenam, Bank syariah dalam melakukan transaksi murabahah, telah mewajibkan transaksi dengan sekedar janji. Apabila janji tersebut tidak sampai menjadi suatu keharusan, maka tidak ada masalah dalam transaksi murabahah. Tapi apabila janji untuk membeli itu menjadi suatu keharusan, maka para ulama banyak yang menolaknya, karena dasar keharusan membeli tersebut tidak ada dalam kaidah umum syariat dan tidak boleh mewajibkan transaksi hanya dengan sekedar janji.
Atas dasar perbedaan ulama di atas, Muhammad Taqi Usmani mengakui bahwa pada mulanya murabahah bukan merupakan bentuk pembiayaan melainkan hanya alat untuk menghindari “bunga bank” dan juga bukan merupakan instrumen ideal untuk mengembangkan tujuan riil ekonomi Islam. Instrumen murabahah hanya digunakan sebagai langkah transisi yang diambil dalam proses islamisasi ekonomi. Sedangkan untuk menghindari praktik murabahah yang akan terjebak pada praktik hilah, bai’‘inah, bay‘atani fi bay‘ah, dan bai’ al-ma’dûm maka para ulama kontemporer mensyaratkan dalam praktik jual beli murabahah di lembaga keuangan syariah sebagai berikut:
a.       Jual beli murabahah bukan pinjaman yang diberikan dengan bunga, tetapi merupakan jual beli komoditas dengan harga tangguh termasuk margin keuntungan di atas biaya  perolehan yang disetujui bersama. Dalam kaitan ini, bila harga tangguh lebih tinggi dari harga tunai maka sebelum para pihak berpisah, pilihan harga tersebut harus telah disepakati agar terhindar dari bay‘atâni fi bay‘ah,
b.      Pemberi pembiayaan dalam hal ini  bank atau lembaga keuangan syariah lainnya, harus telah membeli komoditas/barang dan menyimpan dalam kekuasaannya, atau membeli melalui orang ketiga sebagai agennya sebelum dijual kepada nasabahnya. Bila tidak demikian maka akan terjadi bai’ al-ma’dûm (menjual belikan sesuatu yang belum ada/dimiliki). Namun demikian, bila pembelian langsung ke pihak supplier tidak praktis, diperbolehkan bagi pemberi pembiayaan untuk memanfaatkan nasabah sebagai agen/wakil dengan menggunakan akad wakalah untuk membeli komoditas yang diperlukan atas nama pemberi  pembiayaan.
Dalam kasus seperti ini, selama barang tersebut belum dibelikan oleh nasabah sebagai agen maka tidak boleh dilakukan akad jual beli komoditas/barang antara nasabah dan pihak pemberi pembiayaan. Bahkan bila nasabah sudah membelikan komoditasnya pun, resiko atas rusak atau hilangnya barang masih ada pada pihak  pemberi pembiayaan hingga dilakukan akad jual beli antara kedua belah pihak. 
c.       Pembelian komoditas tidak boleh dari nasabah sendiri (komoditas milik nasabah) dengan perjanjian buy back (pembelian kembali) karena model perjanjian seperti ini masuk kategori bai ‘ inah yang diharamkan oleh sebagian besar ulama. Sejalan dengan syarat-syarat di atas, maka praktik murabahah li al-âmir bi al-Syirâ’ di lembaga Keuangan Syariah (LKS) ditempuh dengan prosedur sebagai berikut:
Nasabah dan LKS menandatangani perjanjian umum ketika LKS berjanji untuk menjual dan nasabah berjanji untuk membeli komoditas atau barang tertentu pada tingkat margin tertentu yang ditambahkan dari biaya perolehan barang;
LKS selanjutnya bisa menunjuk nasabah sebagai agennya untuk membeli komoditas yang diperlukan nasabah atas nama LKS, dan perjanjian keagenan dengan akad wakalah ditandatangani oleh kedua belah pihak;
Nasabah membelikan komoditas atas nama LKS dan mengambil alih penguasaan  barang sebagai agen LKS, pada tahap ini resiko komoditas masih ada pada LKS;
Nasabah menginformasikan kepada LKS bahwa ia telah membeli komoditas/atau  barang atas nama LKS, dan pada saat yang sama menyampaikan penawaran untuk membeli barang tersebut dari LKS.
LKS menerima penawaran tersebut dan proses jual beli berlangsung dengan  pembayaran secara cicilan/tangguh sesuai kesepakatan. Jika proses jual beli telah  berlangsung maka kepemilikan dan resiko komoditas/barang telah beralih ke tangan nasabah.
Langkah-langkah di atas diperlukan apabila LKS menjadikan nasabah sebagai agennya, tetapi jika LKS membeli komoditas/barang langsung ke supplier  maka perjanjian keagenan seperti di atas tidak diperlukan. Dalam hal ini, setelah LKS membelikan barang langsung ke pihak supplier maka proses jual beli antara LKS dan nasabah bisa dilaksanakan.[13]
Aplikasi Murabahah pada Bank  Syariah Indonesia
Di Indonesia, aplikasi jual beli murabahah pada bank  syariah di dasarkan pada Keputusan Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Peraturan Bank Indonesia (PBI). Menurut keputusan fatwa DSN Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000 ketentuan murabahah pada perbankan syariah adalah sebagai berikut (Dewan Syariah Nasional MUI dan Bank Indonesia. 2006 : 24-25).
Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba.
Barang yang diperjual-belikan tidak diharamkan oleh syari’ah Islam.
Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya.
Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan  pembelian ini harus sah dan bebas riba.
Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya  jika pembelian dilakukan secara hutang.
Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga  jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini Bank harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.
Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati.
Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak  bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah.
Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip, menjadi milik bank.
Selain itu, ketentuan pelaksanaan pembiayaan murabahah di perbankan syariah diatur berdasarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) nomor 9/19/PBI/2007 jo Surat Edaran BI No. 10/14/DPbS tanggal 17 Maret 2008, sebagai berikut  :
Bank bertindak sebagai pihak penyedia dana dalam rangka membelikan barang terkait dengan kegiatan transaksi Murabahah dengan nasabah sebagai pihak pembeli  barang;
Barang adalah obyek jual beli yang diketahui secara jelas kuantitas, kualitas, harga  perolehan dan spesifikasinya;
Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik produk Pembiayaan atas dasar Akad Murabahah, serta hak dan kewajiban nasabah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai transparansi informasi produk Bank dan penggunaan data pribadi nasabah;
Bank wajib melakukan analisis atas permohonan Pembiayaan atas dasar Akad Murabahah dari nasabah yang antara lain meliputi aspek personal berupa analisa atas karakter (Character) dan/atau aspek usaha antara lain meliputi analisa kapasitas usaha (Capacity), keuangan (Capital ), dan/atau prospek usaha (Condition);
Bank dapat membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya;
Bank wajib menyediakan dana untuk merealisasikan penyediaan barang yang dipesan nasabah;
Kesepakatan atas marjin ditentukan hanya satu kali pada awal Pembiayaan atas dasar Murabahah dan tidak berubah selama periode Pembiayaan
Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan dalam bentuk perjanjian tertulis  berupa Akad Pembiayaan atas dasar Murabahah; dan
Jangka waktu pembayaran harga barang oleh nasabah kepada Bank ditentukan  berdasarkan kesepakatan Bank dan nasabah.
Atas dasar peraturan yang berkaitan dengan murabahah baik yang bersumber dari Fatwa DSN maupun PBI, perbankan syariah melaksanakan pembiayaan murabahah. Namun demikian, dalam praktiknya tidak ada keseragaman model penerapan pembiayaan murabahah karena beberapa faktor yang melatarbelakanginya.
Ada beberapa tipe penerapan murabahah dalam praktik perbankan syariah yang kesemuanya dapat dibagi menjadi tiga kategori besar, yaitu:
Tipe Pertama penerapan murabahah adalah tipe konsisten terhadap fiqih muamalah. Dalam tipe ini bank membeli dahulu barang yang akan dibeli oleh nasabah setelah ada perjanjian sebelumnya. Setelah barang dibeli atas nama bank kemudian dijual ke nasabah dengan harga perolehan ditambah margin keuntungan sesuai kesepakatan. Pembelian dapat dilakukan secara tunai (cash), atau tangguh  baik berupa angsuran atau sekaligus pada waktu tertentu. Pada umumnya nasabah membayar secara tangguh. Untuk lebih jelasnya
Tipe Kedua mirip dengan tipe yang pertama, tapi perpindahan kepemilikan langsung dari supplier kepada nasabah, sedangkan pembayaran dilakukan bank langsung kepada penjual pertama/supplier. Nasabah selaku pembeli akhir menerima barang setelah sebelumnya melakukan perjanjian murabahah dengan bank. Pembelian dapat dilakukan secara tunai (cash), atau tangguh baik berupa angsuran atau sekaligus pada waktu tertentu. Pada umumnya nasabah membayar secara tangguh. Transaksi ini lebih dekat dengan murabahah yang asli, tapi rawan dari masalah legal. Dalam beberapa kasus ditemukan adanya klaim nasabah bahwa mereka tidak berhutang kepada bank, tapi kepada pihak ketiga yang mengirimkan  barang.
Meskipun nasabah telah menandatangani perjanjian murabahah dengan  bank, perjanjian ini kurang memiliki kekuatan hukum karena tidak ada tanda bukti  bahwa nasabah menerima uang dari bank sebagai bukti pinjaman/hutang. Untuk mengindari kejadian seperti itu maka ketika bank syariah dan nasabah telah menyetujui untuk melakukan transaksi murabahah maka bank akan mentransfer pembayaran barang ke rekening nasabah (numpang lewat) kemudian didebet dengan persetujuan nasabah untuk ditranfer ke rekening supplier. Dengan cara seperti ini maka ada bukti bahwa dana pernah ditranfer ke rekening nasabah. Namun demikian, dari perspektif syariah model murabahah seperti ini tetap saja  berpeluang melanggar ketentuan syariah jika pihak bank sebagai pembeli pertama tidak pernah menerima barang (qabdh) atas namanya tetapi langsung atas nama nasabah. Karena dalam prinsip syariah akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip, menjadi milik bank .
Tipe Ketiga ini yang paling banyak dipraktekkan oleh bank syariah. Bank melakukan  perjajian murabahah dengan nasabah, dan pada saat yang sama mewakilkan (akad wakalah) kepada nasabah untuk membeli sendiri barang yang akan dibelinya. Dana lalu dikredit ke rekening nasabah dan nasabah menandatangi tanda terima uang. Tanda terima uang ini menjadi dasar bagi bank untuk menghindari klaim bahwa nasabah tidak berhutang kepada bank karena tidak menerima uang sebagai sarana  pinjaman. Tipe kedua ini bisa menyalahi ketentuan syariah jika bank mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, sementara akad jual beli murabahah telah dilakukan sebelum barang, secara prinsip, menjadi milik bank.[14]
Berbagai tipe praktek jual beli murabahah di atas dilatar belakangi motivasi yang bermacam-macam. Ada kalanya untuk lebih menyederhanakan prosedur sehingga  bank tidak perlu repot-repot membeli barang yang dibutuhkan nasabah tetapi cukup dengan menunjuk atau menghubungi supplier agar menyediakan barang dan langsung mengirimkan ke nasabah sekaligus dengan atas nama nassabah (Tipe II). Atau dengan cara bank langsung memberikan uang ke nasabah kemudian nasabah membeli sendiri barang yang dibutuhkan dengan melaporkan nota pembelian kepada pihak bank (tipe III). Kedua cara tersebut sering dilakukan perbankan syariah untuk menghindari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dua kali yang dinilai akan mengurangi nilai kompetitif produk bank syariah dibandingkan bank konvensional yang dikecualikan dari PPN. Ini terjadi karena dalam jual beli murabahah tipe I, di mana bank terlebih dahulu akan membelikan barang yang dibutuhkan nasabah atas nama bank baru kemudian dijual ke nasabah secara murabahah maka akan terjadi perpindahan kepemilikan dua kali, yaitu dari supplair ke bank dan dari bank ke nasabah. Melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) nomor 9/19/PBI/2007 jo Surat Edaran BI No. 10/14/DPbS tanggal 17 Maret 2008 yang menghapus keberlakuan PBI Nomor 7/46/PBI/2005 tentang Akad penghimpunan dan Penyaluran dana Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, pelaksanaan pembiayaan murabahah semakin menempatkan bank syariah semata-mata lembaga intermediary yang bertindak sebagai penyedia dana bukan pelaku jual beli murabahah. Hal ini ditegaskan dalam teks Surat Edaran BI No. 10/14/DPbS pada point III.3, bahwa ” Bank bertindak sebagai pihak penyedia dana dalam rangka membelikan barang terkait dengan kegiatan transaksi Murabahah dengan nasabah sebagai pihak pembeli barang ”. Di lihat dari teks surat edaran ini, jelas ada upaya Bank Indonesia untuk menegaskan bahwa transaksi perbankan syariah yang didasarkan pada prinsip jual beli murabahah tetap merupakan pembiayaan sebagaimana transaksi lainnya yang menggunakan akad mudharabah, musyarakah, salam, istishna, ijarah, dan ijarah muntahiya bit tamlik.
Mekanisme pembiayaan murabahah dapat digunakan untuk pengadaan barang, modal kerja, pembangunan rumah dan lain-lain. Berikut ini beberapa contoh aplikasi mekanisme pembiayaan murabahah dalam perbankan syariah:
a.      Pengadaan Barang
Transaksi ini dilakukan oleh bank syariah dengan prinsip jual beli murabahah, seperti pengadaan sepeda motor, kulkas, kebutuhan barang untuk investasi untuk pabrik dan sejenisnya. Apabila seorang nasabah menginginkan untuk memiliki sebuah kulkas, ia dapat datang ke bank syariah dan kemudian mengajukan permohonan agar bank membelikannya. Setelah bank syariah meneliti keadaan nasabah dan menganggap  bahwa ia layak untuk mendapatkan pembiayaan untuk pengadaan kulkas, bank kemudiaan membeli kulkas dan menyerahkannya kepada pemohon, yaitu nasabah. Harga kulkas tersebut sebesar Rp. 4.000.000,- dan pihak bank ingin mendapatkan keuntungan sebesar RP. 800.000,-. Jika pembayaran angsuran selama dua tahun, maka nasabah dapat mencicil pembayarannya sebesar Rp. 200.000,- per bulan. Selain memberikan keuntungan kepada bank syariah, nasabah juga dibebani dengan biaya administrasi yang jumlahnya belum ada ketentuannya. Dalam praktiknya biaya ini menjadi pendapatan fee base income bank syariah. Biaya-biaya lain yang diharus ditanggung oleh nasabah adalah biaya asuransi, biaya notaris atau biaya kepada pihak ketiga.
b.      Modal Kerja (Modal Kerja Barang)
Penyediaan barang persediaan untuk modal kerja dapat dilakukan dengan prinsip  jual beli murabahah. Akan tetapi, transaksi ini hanya berlaku sekali putus, bukan satu akad dengan pembelian barang berulang-ulang. Sebenarnya, penyediaan modal kerja berupa uang tidak terlalu tepat menggunakan prinsip jual beli murabahah. Transaksi pembiayaan modal kerja dalam bentuk barang atau uang lebih tepat menggunakan prinsip mudharabah (bagi hasil) atau musyarakah (penyertaan modal). Karena, jika pembiayaan modal kerja dalam bentuk uang menggunakan mekanisme murabahah, maka transaksi ini sama dengan consumer finance (pembiayaan konsumen) dalam bank konvesional yang mengandung usur bunga. Transaksi dalam consumer finance menggunakan pinjam meminjam uang dan dalam murabahah menggunakan transaksi  jual beli.
c.       Renovasi Rumah (Pengadaan Material Renovasi Rumah)
Pengadaan material renovasi rumah dapat menggunakan mekanisme jual beli murabahah. Barang-barang yang diperjualbelikan adalah segala bentuk barang yang dibutuhkan untuk renovasi rumah, seperti bata merah, genteng, cat, kayu dan lainlain. Transaksi dalam pembiayaan ini hanya berlaku sekali putus, tidak satu akad dilakukan berulang-ulang.
Adapun contoh perhitungan pembiayaan murabahah adalah sebagai berikut:
Tuan A, pengusaha toko buku, mengajukan permohonan pembiayaan murabahah (modal kerja) guna pembelian bahan baku kertas, seniali Rp.100 juta. Setelah dievaluasi bank syariah, usahanya layak dan permohonannya disetujui, maka bank syariah akan mengangkat Tuan A sebagai wakil bank syariah untuk membeli dengan dana dan atas namanya kemudian menjual barang tersebut kembali kepada Tuan A sejumlah Rp 120 juta, dengan jangka waktu 3 bulan dan dibayar lunas pada saat jatuh tempo. Asumsi penetapan harga jual Rp. 120 juta telah dilakukan: (1) Tawar menawar harga jual antara Tuan A dengan bank syariah. (2) Harga jual yang disetujui, tidak akan  berubah selama jangka waktu pembiayaan (dalam hal ini 3 bulan) walaupun dalam masa tersebut terjadi devaluasi, inflasi, maupun perubahan tingkat suku bunga bank konvensional di pasar.
  

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Murabahah adalah suatu jenis pembiayaan yang termasuk dalam kategori penjualan dengan pembayaran tunda. Meskipun tidak didasarkan pada teks al-Quran dan Sunnah, namun dalam kajian fiqh Islam jenis transaksi ini dapat dibenarkan. Bank-bank Islam telah menggunakan kontrak murabahah dalam kativitas pembiayaan mereka dimana barang-barang dilibatkan dan bank telah memperluas cakupan dan tingkat penggunaannya. Pembiayaan semacam ini sekarang telah mencapai lebih dari tujuh puluh lima persen pembiyaan bank Islam berkat kemampuannya untuk memberikan keuntungan yang ditetapkan di muka dari investasi bank, sangat mirip dengan keuntungan yang ditetapkan di muka pada bank-bank berbasis bunga.
Pembiayaan murabahah dan harga kreditnya yang lebih tinggi jelas menunjukkan bahwa ada nilai waktu dalam pembiayaan berbasis murabahah yang mendorong, meski secara tidak langsung, kepada pengakuan nilai waktu pada uang. Gampang sekali dilupakan bahwa mengakui nilai waktu pada uang secara logika menggiring kepada pengakuan terhadap bunga. Dengan mengakui nilai waktu dalam transaksi-transaksi murabahah dan kemudian penolakan hal yang sama dalam transaksi-transaksi finansial, tampak sebagai sikap yang tidak konsisten dan tidak logis.
Bentuk khusus kontrak keuangan yang sedang dikembangkan untuk menggantikan sistem bunga dan transaksi keuangan adalah mekanisme bagi hasil merupakan core product bagi bisnis syariah sebab bisnis syariah secara eklisit melarang penerapan tingkat bunga pada semua transaksi keuangannya bentuk bisnis yang berdasarkan syariah dapat dikembangkan dengan mengacu pada konsep syariah yaitu murabahah.
Murabahah sebagai sebuah kegiatan kerjasama ekonomi antara dua pihak mempunyai bebrapa ketentuan yang harus dipenuhi dalam rangka meningkat jalinan kerja sama dimana bank membiayai pembelian yang diperlukan nasabah dengan sistem pembayaran ditangguhkan. Pembiayaan murabahah ini mirip dengan kredit modal kerja pada bank konvensional, karena itu jangka waktu pembiayaan tidak lebih dari satu tahun dan seringnya untuk pembiayaan yang bersifat konsumtif seperti rumah, tanah, toko, mobil, motor dan sebagainya.
B.   Saran
Demikianlah makalah yang dapat penulis sampaikan. Penulis yakin dalam penulisan maupun penyampaiannya masih terdapat kesalahan serta kekurangan, untuk itu penulis mohon ma’af yang sebesar-besarnya. Dan saran yang membangun dari pembaca penulis harapkan untuk perbaikan. Dan semoga makalah ini bermanfa’at bagi pembaca.


DAFTAR PUSTAKA

1.      Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2013)
2.      Abdul Ghofur Anshori, Payung Hukum Perbankan Syariah (UU di Bidang Perbankan, Fatwa DSN-MUI, dan Peraturan Bank Indonesia), (Yogyakarta: UII Press, 2007)
3.      Adi Warman Azram karim, Bank Islam, analisis fiqh dan keuangan, (Jakarta: IIIT Indonesia, 2003)
4.      Ah Azharuddin Lathif, Konsep Dan Aplikasi Akad Murabahah Pada Perbankan Syariah DiIndonesia, Jurnal http://www.academia.edu/6497439/Konsep_dan_Aplikasi_Akad_Murabahah_pada_Perbankan_Syariah_di_Indonesia, dikases pada tanggal 15 juni 2014.
5.      Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2010)
6.      Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2002)
7.      http://www.mui.or.id, di unduh pada (26 November 2016)
8.      Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syari’ah; Dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani, 2001)
9.      Muhamad, Sistem dan Prosedur Oprasional Bank Syariah, (Yogyakarta: UII Press, 2000).
1         10.  Osmad Muthaher, Akuntansi Perbankan Syariah, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012)
11.  Sulaiman Rusdid, Fiqh Islam, (Jakarta: Wijaya Jakarta, 1954)
12.  Sami Hasan Hamud, Tathwîr al- A’mâl al-Mashrafiyah Bimâ Yattafiq al-Syarî ’ ah al-Islâmiyah , (Aman: Mathba’ah al-Syarq, 1992)



[1] Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2013). hlm.207
[2] Muhamad, Sistem dan Prosedur Oprasional Bank Syariah, (Yogyakarta: UII Press, 2000). hlm.23
[3] Osmad Muthaher, Akuntansi Perbankan Syariah, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012). hlm.57
[4] Abdul Ghofur Anshori, Payung Hukum Perbankan Syariah (UU di Bidan Perbankan, Fatwa DSN-MUI, dan Peraturan Bank Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2007). hlm.82
[5] Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syari’ah; Dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani, 2001). hlm. 102
[6] Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2010).  hlm 106-107
[7] http://www.mui.or.id, di unduh pada (26 November 2016 pukul 21:36 WIB)
[8] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2002). Hlm.70
[9] Adi Warman Azram karim, Bank Islam, analisis fiqh dan keuangan, (Jakarta: IIIT Indonesia, 2003).. Hlm.47
[10] Sulaiman Rusdid, Fiqh Islam, (Jakarta: Wijaya Jakarta, 1954). Hlm.243
[11] Sami Hasan Hamud, Tathwîr al- A’mâl al-Mashrafiyah Bimâ Yattafiq al-Syarî ’ ah al-Islâmiyah , (Aman: Mathba’ah al-Syarq, 1992). Hlm.431
[12] Ah Azharuddin Lathif, Konsep Dan Aplikasi Akad Murabahah Pada Perbankan Syariah Di Indonesia,  Jurnal, 2014.
[13] Ah Azharuddin Lathif . 2014,…
[14] Cecep Maskanul Hakim, Problematika Penerapan Murabahah Dalam Bank Syariah, Paper Lokakarya Produk Murabahah di Balaikota Bogor,26 Agustus 2004.

Tidak ada komentar: