class='date-header'>Minggu, 09 Oktober 2011

Banda Aceh | Harian Aceh – Politisi Partai Aceh (PA) Abdullah Saleh menuding Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai biang kerok kisruhnya pelaksanaan Pemilukada Aceh 2011. Karena, menurut dia, polemik tersebut terjadi diawali oleh keputusan MK yang terkesan dipaksakan dan tanpa konsultasi.
Pimpinan Partai Aceh (PA) memberikan pernyataan pers terkait penetapan Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf sebagai Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh periode 2012-2017. Paket tersebut sudah final dan diyakini bisa memenangi Pemilukada 2011.(HARIAN ACEH | JUNAIDI HANAFIAH)
Hal itu disampaikan Abdullah Saleh kepada wartawan usai mengikuti diskusi bertema ‘Pilkada Aceh dalam Perspektif Sosiologi dan Politik’ di Banda Aceh, Selasa (26/7). “MK harus bertanggung jawab atas polemik yang terjadi di Aceh,” katanya.
Dia mengatakan persoalan awal dari polemik ini diciptakan oleh MK yang memberi keputusan atas judicial review pasal 256 UUPA secara sepihak tanpa berkonsultasi dengan eksekutif dan legislatif yang membuat dan mengesahkan undang-undang.
Pasal 256 UUPA mengamanahkan calon perseorangan hanya diperkenankan sekali pada Pilkada Aceh. Namun, berdasarkan keputusan MK tertanggal 30 Desember 2010, maka pasal tersebut dibatalkan. Dengan demikian, calon perseorangan diperkenankan pada pilkada berikutnya di Aceh.
Meski keputusan MK bersifat mengikat dan disebutkan wajib untuk dijalankan, menurut Abdullah Saleh, tetapi bisa saja ditolak jika ada pihak yang merasa dirugikan apalagi menyangkut dengan UUPA. “Masyarakat Aceh dirugikan, DPRA selaku wakil rakyat harus menolak. Kami sudah lakukan voting dan terbukti banyak menolak. Nah keputusan sepihak MK inilah yang berujung pada permintaan penundaan Pemilukada,” sebutnya.
Sementara itu, pakar hukum tata negara Prof Dr Husni Jalil SH MH mengatakan dalam memutuskan soal judicial review terhadap pasal 256 UUPA itu, MK sudah memenuhi prosedur yang berlaku. “Dalam memberikan putusan MK tidak ada anjurkan harus berkonsultasi lebih dahulu dengan eksekutif dan legislatif. MK hanya mendengarkan keterangan ahli di bidangnya,” sebutnya.
Dikatakannya, proses sidang judicial review (terkait amandemen undang-undang) tidak sama dengan proses sidang kasus pilkada atau pemilu. Kasus pemilu harus ada saksi dan keterangan, baik yang digugat maupun penggugat. “Ini tidak demikian. Keputusan juga bersifat mengikat,” jelasnya.
Dia mengatakan memang ada suatu aturan yang menyatakan bahwa setiap kebijakan pusat ke daerah harus dengan persetujuan gubernur dan ada juga aturan lainnya yang menyatakan suatu kebijakan pusat ke daerah juga atas persetujuan DPRD. “Tapi terkait keputusan MK ini, tidak masuk dalam kategori itu. Ini bukan kebijakan pusat tetapi keputusan MK atas judicial review yang diajukan seuatu kelompok. Jadi ada perbedaan, itulah yang menjadi polemik ini. Artinya, keputusan MK dikaitkan dengan kebijakan pusat,” katanya.
Pemilukada Lanjut
Sebelumnya, dalam diskusi itu, Akmal Abzal dari KIP Aceh menyatakan pihaknya tidak bisa menunda Pemilukada Aceh sebelum turunnya perintah KPU atas instruksi presiden. KIP, kata Akmal, bekerja bukan atas persetujuan DPRA dan anggota KIP bukan digaji oleh APBA.
“KIP tunduk kepada atasan di pusat yakni KPU dan keuangan ditanggung oleh APBN bukan APBA,” katanya. Karena itu, lanjut dia, tahapan-tahapan Pemilukada Aceh masih berjalan sesuai jadwal sebelumnya dan belum ada perubahan-perubahan.

Tidak ada komentar: