Banda Aceh | Harian Aceh – Politisi Partai Aceh (PA) Abdullah
Saleh menuding Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai biang kerok kisruhnya
pelaksanaan Pemilukada Aceh 2011. Karena, menurut dia, polemik tersebut
terjadi diawali oleh keputusan MK yang terkesan dipaksakan dan tanpa
konsultasi.
Hal itu disampaikan Abdullah Saleh kepada wartawan usai mengikuti
diskusi bertema ‘Pilkada Aceh dalam Perspektif Sosiologi dan Politik’
di Banda Aceh, Selasa (26/7). “MK harus bertanggung jawab atas polemik
yang terjadi di Aceh,” katanya.
Dia mengatakan persoalan awal dari polemik ini diciptakan oleh MK
yang memberi keputusan atas judicial review pasal 256 UUPA secara
sepihak tanpa berkonsultasi dengan eksekutif dan legislatif yang
membuat dan mengesahkan undang-undang.
Pasal 256 UUPA mengamanahkan calon perseorangan hanya diperkenankan
sekali pada Pilkada Aceh. Namun, berdasarkan keputusan MK tertanggal 30
Desember 2010, maka pasal tersebut dibatalkan. Dengan demikian, calon
perseorangan diperkenankan pada pilkada berikutnya di Aceh.
Meski keputusan MK bersifat mengikat dan disebutkan wajib untuk
dijalankan, menurut Abdullah Saleh, tetapi bisa saja ditolak jika ada
pihak yang merasa dirugikan apalagi menyangkut dengan UUPA. “Masyarakat
Aceh dirugikan, DPRA selaku wakil rakyat harus menolak. Kami sudah
lakukan voting dan terbukti banyak menolak. Nah keputusan sepihak MK
inilah yang berujung pada permintaan penundaan Pemilukada,” sebutnya.
Sementara itu, pakar hukum tata negara Prof Dr Husni Jalil SH MH
mengatakan dalam memutuskan soal judicial review terhadap pasal 256
UUPA itu, MK sudah memenuhi prosedur yang berlaku. “Dalam memberikan
putusan MK tidak ada anjurkan harus berkonsultasi lebih dahulu dengan
eksekutif dan legislatif. MK hanya mendengarkan keterangan ahli di
bidangnya,” sebutnya.
Dikatakannya, proses sidang judicial review (terkait amandemen
undang-undang) tidak sama dengan proses sidang kasus pilkada atau
pemilu. Kasus pemilu harus ada saksi dan keterangan, baik yang digugat
maupun penggugat. “Ini tidak demikian. Keputusan juga bersifat
mengikat,” jelasnya.
Dia mengatakan memang ada suatu aturan yang menyatakan bahwa setiap
kebijakan pusat ke daerah harus dengan persetujuan gubernur dan ada
juga aturan lainnya yang menyatakan suatu kebijakan pusat ke daerah
juga atas persetujuan DPRD. “Tapi terkait keputusan MK ini, tidak masuk
dalam kategori itu. Ini bukan kebijakan pusat tetapi keputusan MK atas
judicial review yang diajukan seuatu kelompok. Jadi ada perbedaan,
itulah yang menjadi polemik ini. Artinya, keputusan MK dikaitkan dengan
kebijakan pusat,” katanya.
Pemilukada Lanjut
Sebelumnya, dalam diskusi itu, Akmal Abzal dari KIP Aceh menyatakan
pihaknya tidak bisa menunda Pemilukada Aceh sebelum turunnya perintah
KPU atas instruksi presiden. KIP, kata Akmal, bekerja bukan atas
persetujuan DPRA dan anggota KIP bukan digaji oleh APBA.
“KIP tunduk kepada atasan di pusat yakni KPU dan keuangan ditanggung
oleh APBN bukan APBA,” katanya. Karena itu, lanjut dia,
tahapan-tahapan Pemilukada Aceh masih berjalan sesuai jadwal sebelumnya
dan belum ada perubahan-perubahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar