Allah menjadikan agama ini menjadi perpaduan
antara dua kepentingan yakni kepentingan fithrah kita manusia yang
memiliki kemestian/kecenderungan untuk bertuhan dan berhubungan dengan
tuhan yang diistilahkan oleh agama dengan hablumminallah.
Kemudian kepentingan kedua yang juga merupakan fithrah kemanusiaan yakni
hubungan sosial kemasyarakatan atau yang diistilahkan dengan hablumminannas. Dalam konteks hablumminannas,
tidak ada satu agama manapun yang mengkaitkan secara langsung antara
keimanan dan ketaqwaan dan ibadah kepada Allah dengan kepentingan dan
kemestian hidup bersosial masyarakat selain agama Islam. Sebagai
contoh di dalam Islam kita diperintahkan untuk shalat wajib 5 waktu.
Akan tetapi shalat itu akan menjadi perbuatan hina dan tercela jika
shalat itu tidak dibarengi dengan semangat bersosial bermasyarakat.
Kita
dapati firman Allah ta`ala yang menegaskan cercaan Allah terhadap orang
yang shalat dengan model yang seperti ini di dalam surat Al Ma`un
(4-7): “maka celakalah orang-orang yang shalat, yakni orang-orang
yang shalatnya lalai, dan mereka yang shalatnya itu riya` dan mencegah
orang menolong sesamanya”. Di dalam ayat ini Allah menegaskan
adanya shalat yang tercela yakni shalat yang tidak dibarenagi dengan
kewajiban sosial kemasyarakatan yakni menolong sesama manusia. Jadi
ibadah yang paling tinggi di dalam Islam ini yakni shalat, ternyata
terkait langsung dengan kewajiban sosial bermasyarakat, sehingga bila
kewajiban tersebut tidak dijalankan maka shalatnya menjadi shalat yang
celaka dan tercela. Kemudian kita dapati juga di dalam Sabda Rasulullah
Shalallahu `alayhi wasallam: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah menyakiti tetangganya“. [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (6475) dan Muslim (47) (74)]. Bahkan di dalam hadits lain ditegaskan:“Tidak akan masuk surga, seseorang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya”
(H.R.Muslim). Di dalam hadits ini Allah mengkaitkan secara langsung
antara keimanan dengan kemestian menjaga keamanan atau memberikan rasa
aman kepada lingkungan, bahkan Allah ta`ala mengancam orang yang
mengganggu ketentraman tetangganya dengan tidak akan dimasukkan ke surga
Allah. Dan masih banyak lagi ajaran-ajaran Islam yang senada yang itu
semua menunjukkan bahwa islam itu memang agama yang rahmatan lil
alamain, karena Islam demikian kuatnya menekankan tentang kemestian
bersosial seorang muslim terhadap lingkungannya, karib kerabatnya,
keluarganya dan terhadap bangsa dan negaranya.
Dalam hal ini, memang ada upaya dari musuh-musuh Allah dan RasulNya Shalallahu `Alayhi Wasallam
baik dari kalangan jin maupun manusia agar umat manusia tidak tertarik
apalagi beriman kepada Islam yang indah ini. Mereka musuh-musuh Islam
mencanangkan berbagai upaya antara lain melakukan makar dan
jebakan-jebakan dalam rangka mengecoh dan mengelabui orang agar tidak
tertarik dan masuk ke agama Islam. Jebakan-jebakan tersebut antara lain
yang diistilahkan dengan asy syahawaat dan asy syubuhaat. Asy syahawaat
yakni mengkampanyekan (menggiring) ummat kepada yang haram dan
diekspresikan perkara yang haram itu sebagai sesuatu yang sangat indah
dan bagus sementara yang diperintahkan oleh Allah itu sebagai sesuatu
yang sangat jelek dan menyeramkan. Kemudian dengan syahwat ini orang
dirayu dan dijebak kepada kegandrungan kepada pelanggaran syari`at
Allah. Sebagai contoh seorang suami digiring seakan-akan memandang
istrinya yang notabene setia menanti dirumah, halal, bersih dan mulya
itu dikesankan sebagai sosok yang membosankan, sementara pelacur di
jalanan yang kotor, rendah dan penuh dengan makar dan khianat itu
dikesankan sebagai sesuatu yang menarik, indah dan menyenangkan.
Sehingga orang yang terjebak ke dalam jebakan syahwat ini cenderung
kepada sesuatu yang bernilai rendah di hadapan syari`ah daripada sesuatu
yang jelas-jelas bernilai tinggi dan mulya di sisi Allat ta`ala. Yang
ke dua adalah jebakan yang lebih dahsyat dari pada Asysyahawaat yakni jebakan Asysyubuhaat,
yakni berbagai pengkaburan antara yang halal dengan yang haram. Yang
halal dikesankan seakan-akan haram, dan yang haram dikesankan
seakan-akan halal. Yang diajarkan oleh Nabi dikesankan seakan-akan
menyimpang, sementara yang menyimpang dari ajaran nabi dikesankan
seakan-akan sebagai ajaran Nabi. Orang menta`ati syari`at Allah
dikesankan kuno, lugu dan penakut, akan tetapi orang yang melanggar
syari`at Allah sering dikesankan pemberani, hebat, modern dan
seterusnya. Bentuk-bentuk syubhat ini ada dua macam yakni At Tafrith dan Al Ifrath.
At tafriith yakni terlalu
mengenteng-entengkan masalah agama. Mereka menganggap semuanya serba
boleh, asal nggak terlalu, yang penting enak dan senang dan
ungkapan-ungkapan yang senada dengan itu yang seakan-akan mereka ingin
hidup bebas dari segala ikatan-ikatan agama.
Adapun Al ifraath adalah lawan dari tafrith yakni
kecenderungan orang untuk digiring kedalam sikap ekstrim dalam
penafsiran dan pengamalan agama atau yang diistilahkan oleh Rasulullah Shalallahu `Alayhi Wasallam dengan ghuluw. Rasulullah Shalallahu `Alayhi Wasallam mengingatkan kita terhadap sikap ghuluw ini didalam sabda beliau: ”Jauhkanlah
diri kalian dari ghuluw (berlebih-lebihan) dalam agama, karena
sesungguhnya sikap ghuluw ini telah membinasakan orang-orang sebelum
kalian” (HSR. Ahmad (I/215, 347), dan lainnya, dari Sahabat Ibnu
‘Abbas Radhiyallahu ‘anhu). Umat-ummat sebelum kita seperti bani israil
itu binasa karena sikap ghuluw terhadap agama dan batas-batas yang Allah
tetapkan. Contoh dari sikap ghuluw ini antara lain merampok dikatakan
berjihad, membunuh sesama muslim dikatakan berjihad. Padahal jihad itu
memang disediakan di dalam Islam, namun karena ia juga merupakan salah
satu bentuk ibadah di dalam Islam yang sebagaimana ibadah-ibadah yang
lainnya, maka ia juga harus memenuhi ketentuan-ketentuan baku di dalam
Islam tentang ibadah jihad tersebut, sehingga tidak boleh sembarangan
mengatakan suatu perbuatan itu jihad sebelum syarat-syaratnya terpenuhi.
Begitulah di dalam pemahaman Islam yang ghuluw (ekstrim) yang ifrath
ini Islam ditafsirkan dan ditampilkan sebagai agama yang serba perang,
serba keras, serba pertumpahan darah, seolah-olah Islam itu harus
menumpahkan darah, dan seolah-olah ibadah yang paling tinggi di dalam
Islam ialah menumpahkan darah. Akhirnya dengan fitnah ifrath ini,
sesuatu yang sesungguhnya sudah mempunyai batasan yang demikian jelas di
dalam Islam itu akhirnya dibuang batas itu kemudian diganti dengan
sesuatu yang difahami secara ekstrim (diluar batasan Islam) yang
kemudian akhirnya pemahaman tersebut seakan-akan menjadi ajaran yang
pokok dalam Islam. Rasulullah Shalallahu `alayhi Wasallam telah mensiyalir gejala ini di dalam sabda beliau dihadapan para sahabat beliau:” Akan
muncul suatu kaum dari umatku yang membaca Al-Qur’an, yang mana bacaan
kalian tidaklah sebanding bacaan mereka sedikitpun, tidak pula shalat
kalian sebanding dengan shalat mereka sedikitpun, dan tidak pula puasa
kalian sebanding dengan puasa mereka sedikitpun”. [Muslim II/743-744 No. 1064]. Ternyata apa yang diberitakan oleh Nabi Shalallahu `alayhi Wasallam ini
terjadi di zaman khlifah Ali bin Abi Thalib kurang lebih 24 tahun
sepeninggal nabi. Muncul suatu kelompok yang namanya khawarij. Mereka
ahli ibadah luar biasa. Sampai-sampai saking ahli ibadahnya mereka
akhirnya merasa bahwa merekalah yang paling benar dan paling dekat
dengan Allah. Bahkan mereka menganggap siapapun yang berada diluar
komunitas mereka adalah kafir dan harus diperangi. Akhirnya mereka
menjadi suatu gerombolan yang begitu ekstrim dan reaksioner dan keras
terhadap kelompok-kelompok di luar mereka. Ketika mereka ditangkap oleh
Khalifah Ali bin Abi Thalib dan sebagiannya dibunuh oleh Khalifah,
didapati orang-orang yang ditangkap ini memang benar-benar ahli ibadah
sebagaimana yang di beritakan oleh Rasulullah Shalallahu `Alayhi Wasallam
kurang lebih 24 tahun sebelumnya. Dan pemahaman sesat semacam khawarij
ini terus berkembang hingga saat ini termasuk di negeri kita tercinta
ini.
Mengapa terjadi penafsiran ektrim seperti
ini, penyebabnya ialah karena mereka di dalam menafsirkan agama lepas
dari bimbingan Allah dan Rasulullah Shalallahu `alayhi Wasallam dalam
menafsirkan Agama. Di dalam menafsirkan Agama, Rasulullah telah
memberikan bimbingannya agar kita selamat dari penafsiran-penafsiran
yang menyimpang, yakni didalam sabda beliau: “Aku wasiatkan kepada
kalian untuk bertaqwa kepada Allah, patuh dan taat walaupun dipimpin
budak Habasyi, karena siapa yang masih hidup dari kalian sepeniggalku
nanti maka akan melihat perselisihan yang banyak. Maka berpegang
teguhlah kepada sunnahku dan sunnah pada Khulafaur Rasyidin yang memberi
petunjuk berpegang teguhlah kepadanya dan gigitlah dia dengan gigi
geraham kalian. Dan waspadalah terhadap perkara-perkara yang baru (yang
diada-adakan) kepada hal-hal yang baru itu adalah kebid’ahan dan setiap
kebid’ahan adalah kesesatan” [H.S.R Abu Dawud]”. Di dalam hadits diatas Rasulullah Shalallahu `alayhi Wasallam
menjelaskan bahwa nanti sepeninggal beliau akan terjadi perselisihan
yang banyak. Yakni akan muncul berbagai macam aliran-aliran sesat, akan
muncul berbagai penafsiran-penafsiran agama yang carut marut, maka
disaat itu nabi membimbing kita agar tetap belajar agama ini dengan
hanya merujuk kepada ajaran Nabi Muhammad Shalallahu `alayhi Wasallam
(Islam) dan ajaran para sahabat nabi( pemahaman 4 khalifah terbimbing
yakni Abu Bakr, Umar, Utsman dan Ali terhadap Islam). Sehingga bila
terjadi perselisihan tau perbedaan pendapat di dalam suatu masalah, maka
Rasulullah Shalallahu `alayhi Wasallam menuntun kita bukan membuat
pendapat sendiri-sendiri, akan tetapi justru kita harus merujuk dan
meneliti kembali ajaran nabi yakni agama Islam ini dan meneliti dan
mempelajari pemahaman atau penafsiran 4 khalifah yang terbimbing
tersebut terhadap ajaran Nabi Shalallahu `alayhi Wasallam
(Islam) termasuk juga penafsiran para sahabat yang mereka pimpin pada
masa itu. Sehingga bila ada sekian banyak pendapat, pemahaman dan
penafsiran yang berbeda-beda yang beredar tentang suatu masalah, maka
kita dibimbing untuk hanya memilih pendapat dan penafsiran para shahabat
nabi tersebut terhadap perkara tersebut agar kita selamat dalam
mengikuti pendapat dan pemahaman dan tentunya meninggalkan
pendapat-pendapat yang bertentangan dengan pemahaman para shahabat nabi
tersebut dari kalangan orang-orang setelah mereka (generasi setelah para
shahabat Nabi). Sebab para shahabat Nabi adalah orang-orang yang paling
kuat keilmuan Islamnya, karena mereka para shahabat adalah orang-orang
yang bertemu secara langsung dengan Rasulullah Shalallahu `alayhi Wasallam, mereka belajar tafsir dan pemahaman Al Qur`an dan Assunnah langsung kepada Rasulullah Shalallahu `alayhi Wasallam,
bahkan sebagian ayat dan hadits itu turun akibat teguran Allah terhadap
perbuatan mereka dimasa jahiliyah itu. Sehingga sangat wajar jika
mereka menjadi orang-orang yang paling faham terhadap Islam dan
penafsiran Islam dari pada orang-orang (generasi) yang setelah mereka.
Rasulullah Shalallahu `alayhi Wasallam menjelaskan status
mereka di dalam sabda beliau:” Sebaik-baik manusia adalah yang hidup
pada masaku, kemudian masa berikutnya, kemudian masa berikutnya”.
[Hadits Mutawatir sebagaimana dicantumkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar
dalam “Al-Isabah” 1/12, dan disepakati oleh Suyuthi, Al-Manawi,
Al-Kinani] Dua bentuk jebakan ini (AsySyahawaat dan Asyubuhaat) selalu
dikampanyekan dan diupayakan oleh musuh-musuh Islam yang didalam hal ini
terdiri dari manusia dan jin yang diistilahkan dalam syari`ah Islamiyah
dengan Syaithan. Mereka berusaha menjebak manusia agar memandang Islam
ini dengan pandangan yang salah. Islam dikesankan sebagai agama yang
tidak mengikat atau sebaliknya sebagai agama yang ekstrim serba keras.
Yang harapan akhir mereka tidak ada lain yaitu agar umat Islam bisa
keluar dari Islamnya (kufur) tanpa sadar, dan bagi orang-orang yang
belum berislam agar anti dan phobi terhadap Islam. Dan inilah yang
sering kita saksikan di banyak media masa, dimana Islam sering
digambarkan kepada salah satu dari dua versi yang keliru ini. Padahal
Islam adalah agama yang wasath (tengah-tengah). Tidak selalu ekstrim dan
tidak pula selalu lunak. Ada kalanya Islam itu harus keras namun sering
kali Islam itu harus lembut, tentu semua tergantung kondisi dan situasi
yang ada. Namun pada dasarnya Islam itu kalau mau dinilai secara
objektif adalah agama yang sangat cinta kedamaian dan penebar kasih
sayang. Bahkan peperangan yang kadang terjadi sesungguhnya masih dalam
rangka misinya untuk menebar cinta dan kasih sayang. Sebab terkadang ada
suatu permasalahan itu yang tidak bisa diselesaikan kecuali dengan cara
kekerasan dan perang. Namun Islam pada dasarnya mengajarkan bahwa
segala amalan termasuk perang itu dalam rangka dakwah kepada kebenaran
dan kebaikan yang hakiki, bukan sebaliknya dakwah dalam rangka perang
sebagaimana pola pikir ekstrim tadi. Berhubung watak dan karakter
masing-masing manusia itu berbeda-beda, maka metode untuk mengajak ummat
manusia kepada kedamaian dan kebahagiaan yang hakiki tersebutpun
tentunya berbeda-beda pula. Ada tipe orang yang cukup disikapi dengan
lembut sudah bisa memahami kebenaran Islam ini, namun ada pula tipe
orang yang perlu perlakuan khusus baru bisa memahami kebenaran Islam
ini.
Demikianlah sesungguhnya ummat Islam
menjalankan misi agamanya untuk menebarkan kasih sayang yang hakiki
kepada seluruh umat manusia. Walaupun ungkapan rasa sayang itu terkadang
harus diekspresikan dengan cara kekerasasan. Rasulullah Shalallahu `alayhi Wasallam bersabda: ”Dari Ibnu Umar radhiallahuanhuma, Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :”Aku
diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa
tidak ada Ilah selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah,
menegakkan shalat, menunaikan zakat. Jika mereka melakukan hal itu maka
darah dan harta mereka akan dilindungi kecuali dengan hak Islam dan
perhitungan mereka ada pada Allah Subhanahu wata’ala.”(Riwayat Al Bukhari dan Muslim)”. Terkadang Rasulullah Shalallahu `alayhi Wasallam
memerangi orang-orang yang masih ingkar kepada Allah, namun tujuan
akhir dari peperangan itu tidak lain ialah agar orang tersebut akhirnya
mau mengucapkan dan meyakini kalimah “laa ilaaha illallah”, suatu
kalimat yang dengan mengucapkannya orang tersebut akan dijamin oleh
Allah akan masuk ke surgaNya. Tentunya tidak ada kenikmatan yang lebih
tinggi dibandingkan dengan surga dan melihat wajah Allah yang mulia di
sana. Inilah ungkapan sayang yang hakiki dari Rasulullah Shalallahu `alayhi Wasallam
dan kita para pengikutnya. Namun sayangnya efek dari ungkapan tersebut
terkadang tidak bisa mereka rasakan di dunia ini, melainkan nanti di
hari perhitungan akhirat. Maka beruntunglah bagi mereka yang mau membuka
akal sehatnya menyambut ungkapan sayang tersebut dengan surga yang
akan mereka dapatkan dan celakalah bagi mereka yang menolak ungkapan
dan ajakan kasih sayang tersebut dengan siksaan neraka yang
membinasakan. Wallahu a`lamu bish shawab.
Sumber: http://samuderailmu.wordpress.com/2010/06/03/islam-agama-penebar-kasih-sayang/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar