JAKARTA - Organisasi Masyarakat Sipil menyiapkan upaya hukum berupa gugatan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Agung (MA) terhadap Qanun Aceh No 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.
Menurut Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Supriyadi Widodo Eddyono, beberapa hal menjadi pertentangan antara Qanun Jinayat dan kerangka hukum nasional Indonesia, termasuk konstitusi dan beberapa ketentuan Internasional yang sudah positif berlaku di Indonesia yakni:
Pertama, mengenai perumusan norma pidananya, yang berpotensi menyasar kelompok rentan yaitu perempuan, anak dan LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender). “Seharusnya kehadiran Qanun Aceh 6/2014 adalah untuk upaya mengisi kekosongan ketentuan pada KUHP, namun dengan tidak bertentangan dengan ketentuan di atasnya. Akan tetapi Qanun telah menghadirkan aturan baru yang berbenturan dengan KUHP,” kata Supriyadi.
Ada beberapa tindak pidana dalam KUHP yang diatur ulang dalam Qanun. Situasi seperti ini, kata dia telah menimbulkan ketidakjelasan hukum.
Kedua, mengenai pemidanaanya yang bersifat merendahkan martabat manusia, termasuk penggunaan corporal punishment (pidana cambuk) yang dilakukan di depan umum. Selain itu, jenis pidana cambuk berbenturan dengan pengaturan dalam KUHP karena hukuman cambuk bukanlah suatu sanksi pidana yang dikenal di Indonesia. KUHP telah mengatur secara limitatif jenis sanksi pidana apa saja yang dapat dikenakan terhadap tindak pidana.
Pidana denda yang masuk dalam Uqubat Ta zir, juga terlalu besar (dihitung berdasarkan gram emas) sehingga menjadi beban ekonomi para pelaku pelanggar Qanun yang sebagian besar berada dalam kategori miskin.
Ketiga, berpotensi melanggar fair trial bagi tersangka dan terdakwa karena dalam praktiknya implementasi qanun bersifat selektif, diskriminasi, dan tidak diatur dengan hukum acara yang benar. Sesuai degan standar hukum acara pidana.
Atas dasar tersebut, ICJR menilai bahwa Qanun Jinayat akan berpotensi menjadi masalah dalam sistem hukum di Indonesia, khususnya dalam isu pidana dan HAM. Beberapa ketentun dalam Qanun Jinayat pada prinsipnya akan merusak kesatuan hukum di Indonesia, lebih jauh menghancurkan rencana besar pemerintah untuk melakukan revisi hukum pidana lewat RUU KUHP.
Oleh karena itu, ICJR, Solidaritas perempuan (SP) dan beberapa individu yang merasa hak haknya dilanggar akan segera menempuh upaya hukum untuk menguji validitas Qanun Aceh No 6/2014 ini. “Kami akan melakukan judicial review ke Mahkamah Agung terhadap ketentuan-ketentuan Qanun yang dianggap bertentangan dengan hukum positif di Indonesia, khususnya Undang-Undang,” kata dia.
Di akhir pengujung tahun 2014 lalu, DPRA mengesahkan Qanun Aceh No. 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat. Qanun Jinayat ini merupakan kesatuan hukum pidana syariat yang berlaku bagi masyarakat Aceh yang dibentuk berdasarkan nilai-nilai syari’at Islam.
Qanun ini juga mengatur tentang Jarimah atau perbuatan yang dilarang oleh syariat Islam, pelaku jarimah, dan uqubat atau hukuman yang dapat dijatuhkan oleh hakim terhadap pelaku jarimah.
Tindak pidana dalam qanun ini merupakan konsolidasi dari beberapa qanun jinayat sebelumnya di tambah dengan tindak pidana baru yakni Ikhtilath atau cumbu rayu, zina, pelecehan seksual, pemerkosaan, qadzaf atau tuduhan zina palsu, liwath atau sodomi dan mushahaqaf atau praktek lesbian.
Qanun ini diundangkan DPR Aceh pada akhir Oktober 2014, berdasarkan ketentuan peralihan, maka Qanun ini akan efektif berlaku pada Oktober 2015.
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) tidak menolak produk Qanun sebagai regulasi khusus di wilayah Aceh. Namun khusus terhadap Qanun Jinayat (pidana), ICJR memandang bahwa beberapa ketentuan yang ada dalam Qanun tersebut justru bertentangan dalam sistem hukum Indonesia dan bertentangan dengan produk regulasi diatasnya.
Sebelumnya , Pemerintah Aceh memastikan akan memberlakukan Qanun Nomor 6 Tahun 2015 tentang jinayat bagi seluruh masyarakat muslim di Aceh, terhitung mulai 23 Oktober 2015. Pemberlakuan ini sebagai perwujudan atas disahkannya Qanun Jinayat oleh DPRA, beberapa waktu lalu.
“Ketika Qanun Jinayat ini nantinya diberlakukan, kami berharap seluruh masyarakat sudah tahu, sehingga syariat Islam di Aceh diharapkan berjalan dengan baik,” kata Dr Munawar A Djalil MA, selaku Kepala Bidang Hukum Dinas Syariat Islam Provinsi Aceh kepada Serambi, Rabu (30/9), di sela-sela kegiatan sosialisasi Qanun Jinayat di Aula Kantor MPU Aceh Barat di kawasan Meureubo, Meulaboh.
Dikatakannya, dalam Qanun Jinayat tersebut, memuat sejumlah aturan untuk memeroses setiap pelaku pelanggar syariat Islam di Aceh, meliputi tindak pidana khamar (minum minuman keras), maisir (judi, toto gelap, dsb), khalwat (mesum), ikhtilat (bermesra-mesraan di dalam sepi dan dalam terang/di depan umum), zina, pelecehan seksual, pemerkosaan, qadzab (menuduh orang lain berzina), liwath (homo seksual), dan musahakah (lesbian).
Dalam metode penegakan hukum terkait Qanun Jinayah ini, Pemerintah Aceh melalui Dinas Syariat Islam akan melibatkan aparat penegak hukum, termasuk Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), jaksa, maupun hakim dalam memeroses setiap tindak pidana yang terjadi di masyarakat.
Semoga bermanfaat atas informasi ini, Apa tanggapan kawan2. tulis komentar dibawah..
Oleh: Yus Aceh
Sumb: Serambi Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar